Pesisir yang tercemar hanyalah satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi Kurisa dan desa-desa lain di sekitar industri nikel

Laut yang membentang di pesisir Kurisa, di Sulawesi Tenggara, telah berubah warna menjadi merah. Desa di Kabupaten Morowali ini hidup bertetangga dengan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), sebuah kompleks pengolahan nikel raksasa yang terus berekspansi.

Bagi Lukman, seorang tetua desa berusia 54 tahun, laut itu dulunya adalah kehidupan. Kini, ia menggambarkan bagaimana limbah yang panas dan berbau menyengat mengalir dari IMIP ke laut, menjadikannya zona mati yang tak bisa lagi diandalkan untuk mencari ikan.

Enam tahun lalu, Lukman menyerah pada budidaya kerapu yang telah lama ia tekuni. Polusi yang semakin pekat telah membunuh usahanya. “Ikan tidak bisa lagi dibudidayakan di sini [di keramba],” keluhnya seperti dilansir Dialogue Earth.

Perubahan itu merombak tatanan ekonomi lokal. Para nelayan di wilayah itu, yang kehilangan mata pencaharian utama mereka, kini terpaksa memulung botol plastik bekas untuk menyambung hidup. Siapapun yang masih nekat mencari ikan, kata Lukman, harus berlayar sekitar tiga kilometer lebih jauh ke lepas pantai.

Lukman sendiri banting setir. Dari seorang pembudidaya ikan, ia kini mengelola sebuah rumah kos, kemungkinan besar disewa oleh para pekerja yang ironisnya menghidupi industri yang telah merenggut lautnya.

Pesisir yang tercemar hanyalah satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi Kurisa dan desa-desa lain di sekitar IMIP. Kawasan industri ini adalah usaha patungan antara Tsingshan Group dari Tiongkok dan perusahaan Indonesia Bintang Delapan, yang menaungi lebih dari 50 pabrikan penghasil produk berbasis nikel, dari baja hingga material baterai kendaraan listrik.

Di daratan, warga hidup di bawah kepungan polusi udara dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang menjadi jantung energi operasi IMIP. Beberapa bulan lalu, pemerintah telah menjatuhkan sanksi atas pelanggaran lingkungan di IMIP. Namun, bagi warga dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memantau situasi, tindakan nyata belum terlihat. Dampak kesehatan dan lingkungan terus mengancam kehidupan mereka.

Udara yang meracuni kelas
Nurman Hidayat, 42 tahun, adalah warga Desa Bahomakmur, yang terletak persis di sebelah barat IMIP. Ia menceritakan bagaimana penduduk setempat didera batuk, pilek, dan demam yang tak kunjung reda. Ia meyakini penyakit ini berkaitan erat dengan emisi sulfur dioksida dan pembakaran batu bara dari kawasan industri.

Kekhawatiran Nurman bukanlah tanpa dasar. Sebuah studi tahun 2024 oleh Asosiasi untuk Transformasi Keadilan (TuK) Indonesia dan Universitas Tadulako menyoroti temuan mengkhawatirkan. Studi tersebut mencatat bahwa konsentrasi rata-rata PM 10, PM 2.5, dan sulfur dioksida dari sampel yang diambil pada tahun 2023 di tiga desa sekitar IMIP, termasuk Bahomakmur, telah melampaui baku mutu standar keamanan pemerintah.

Laporan itu menyimpulkan adanya “risiko kesehatan serius bagi penduduk lokal”. Data survei menguatkan kesaksian Nurman: lebih dari 70% dari 91 responden di tiga desa tersebut mengalami gejala batuk dan bersin.

Polusi ini tidak lagi mengenal batas. Pada Oktober 2024, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengklaim bahwa abu batu bara ditemukan telah mengendap di ruang-ruang kelas dua sekolah di Desa Labota. Lokasi sekolah itu hanya berjarak beberapa ratus meter dari pabrik IMIP. Akibatnya, Walhi mencatat, enam siswa menderita batuk dan sesak napas.

Ancaman polusi udara ini begitu nyata sehingga membuat warga seperti Lukman merasa terpojok. “Udara di sini sungguh tidak layak jika kami harus tetap tinggal,” katanya.

Bencana bernama tailing
Di luar polusi air dan udara, cara pengelolaan limbah tailing di dalam kompleks IMIP telah memicu kritik tajam dan ketakutan akan bencana yang lebih besar. Free Land Foundation (YTM), sebuah LSM yang berbasis di Sulawesi Tengah, telah menyoroti berbagai risiko yang terkait dengan perkiraan 11,5 juta ton tailing yang dihasilkan IMIP setiap tahunnya.

Angka ini, menurut Indonesia Business Post, diproyeksikan akan tumbuh lebih dari empat kali lipat pada tahun 2026, mencapai 47 juta ton per tahun.

Limbah ini bukanlah lumpur biasa. YTM memperingatkan bahwa tailing tersebut mengandung zat-zat berbahaya, termasuk asam sulfat dan hexavalent chromium. Zat kimia yang terakhir diketahui bersifat karsinogenik dan dapat menyebabkan kanker serta penyakit pernapasan.

YTM khawatir jika salah satu fasilitas penyimpanan tailing IMIP runtuh—yang jumlahnya terbatas dibandingkan dengan zona alokasi limbah—jutaan ton limbah beracun dapat tumpah ke Sungai Bahodopi di dekatnya, “mengancam ekosistem lokal dan komunitas di sekitarnya”.

Kekhawatiran itu telah menjadi kenyataan. YTM menyoroti bagaimana banjir besar pada 16 Maret menyebabkan struktur penahan limbah jebol, membuat hampir 1.100 orang di Labota terpapar limbah berbahaya. Hanya beberapa hari kemudian, pada 22 Maret, hujan deras menyebabkan tanggul di salah satu fasilitas penyimpanan tailing IMIP runtuh. Tiga pekerja tewas tertimbun dalam insiden tersebut.

YTM mengklaim bahwa bencana ini disebabkan oleh penggunaan fasilitas penyimpanan tailing di permukaan tanah (ground-level), sebuah metode yang mereka anggap berbahaya dan berisiko di daerah dengan curah hujan tinggi seperti Morowali.

Menanggapi hal ini, Dedy Kurniawan, kepala hubungan media PT IMIP, mengatakan kepada Kompas bahwa tanah longsor terjadi karena hujan deras selama berjam-jam, yang menyebabkan sungai meluap ke dalam kompleks.

Menari di atas Patahan Matano
Ancaman yang ditimbulkan oleh fasilitas tailing ini diperparah oleh fakta geologis yang menakutkan. YTM juga mengangkat isu gempa bumi di masa depan yang berpotensi merusak infrastruktur penyimpanan limbah rapuh ini. Seluruh kompleks IMIP, dengan puluhan juta ton limbah beracunnya, terletak persis di atas Patahan Matano (Matano Fault).

Peringatan ini didukung oleh Science Direct yang dipublikasikan pada tahun 2023 mengindikasikan bahwa gempa bumi yang merobek permukaan (surface-rupturing) dengan kekuatan magnitudo 7.4 di patahan tersebut “sudah waktunya terjadi” (already due).

Ini bukan lagi ancaman teoretis. Wilayah ini telah mengalami beberapa gempa signifikan. Gempa berkekuatan M 5.1 pada Mei 2024, misalnya, dilaporkan telah “merusak akomodasi pekerja dan infrastruktur perusahaan”. Peristiwa itu adalah sebuah “tembakan peringatan” yang membuktikan kerentanan infrastruktur industri terhadap guncangan.

Ancaman bencana berantai pun kini menghantui warga: gempa besar yang memicu kegagalan bendungan tailing, yang akan melepaskan tsunami lumpur karsinogenik ke sungai dan desa-desa di hilir.

“Ketika bencana alam terjadi, lagi-lagi masyarakat dan pekerjalah yang terdampak,” ujar direktur YTM, Richard Labiro.

Tim penyelamat mencari korban pasca ambruknya tanggul penahan limbah pabrik peleburan nikel di Kabupaten Morowali, Sulawesi, pada Maret 2025. Kecelakaan tersebut menewaskan tiga orang (Foto: KPP Palu / Associated Press / Alamy)

Sanksi di atas kertas, derita di dunia nyata
Menurut Lukman, masyarakat setempat telah melaporkan kondisi hidup mereka yang terus memburuk kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan bupati regional, Iksan Baharudin Abdul Rauf, pada Juni 2025. Namun, ia mengatakan tidak ada satu pun dari otoritas tersebut yang menindaklanjuti keluhan mereka.

Harapan sempat muncul ketika pemerintah pusat turun tangan. Pada bulan Juni, Kementerian Lingkungan Hidup mengumumkan bahwa mereka telah menemukan berbagai pelanggaran lingkungan di dalam kompleks IMIP.

Temuan kementerian itu mengonfirmasi apa yang telah lama dirasakan warga. Pelanggaran tersebut termasuk polusi udara, perkiraan 12 juta metrik ton deposit tailing ilegal, dan penggunaan 1.800 hektar lahan yang tidak termasuk dalam pernyataan dampak lingkungan (AMDAL) perusahaan untuk aktivitas yang tidak sah.

Kementerian mengumumkan akan menjatuhkan sanksi administratif pada PT IMIP. Reuters melaporkan bahwa kementerian akan mengenakan denda dan polisi akan menyelidiki pengelolaan tailing berbahaya dan beracun di area tersebut.

Menanggapi temuan pemerintah bahwa perusahaan telah menyerahkan laporan AMDAL untuk lahan 1.800 hektar yang dipersoalkan pada tahun 2023. Ia menambahkan bahwa perusahaan dan para penyewanya memantau kualitas udara secara real-time dan telah memasang teknologi untuk mengurangi emisi dari aktivitas peleburan.

Namun, berbulan-bulan setelah pengumuman sanksi itu, warga dan LSM yang memantau situasi mengatakan mereka belum melihat adanya tindakan nyata. Dampak kesehatan dan lingkungan terus berlanjut.

Dialogue Earth berusaha menghubungi Elyta Gawi, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Morowali, Irawan dari Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kurniawan dari PT IMIP untuk memberikan komentar mengenai tindakan lanjutannya. Tidak ada tanggapan yang diterima.

Kebuntuan ini, menurut Makala (seorang narasumber yang dikutip Antara News), hanya bisa dipecahkan jika ada pemantauan publik yang efektif. Ia berpendapat bahwa tim yang melakukan aktivitas pemantauan tidak boleh direkrut hanya dari kementerian pemerintah. Makala mengatakan publik hanya akan percaya pemerintah serius mengambil tindakan jika ada pengawasan publik yang efektif.

Martha Mendrofa, seorang peneliti di Institute for Essential Services Reform (IESR), sebuah lembaga think-tank, mengamini perlunya transparansi. Ia mendesak pemerintah Indonesia untuk membangun sistem digital yang transparan yang memungkinkan publik mengawasi tindakan hukum yang telah diterapkan, serta mengevaluasi regulasi dan keluhan publik.

Ia mengatakan tindak lanjut harus dilakukan oleh perusahaan yang terkena sanksi—”ini akan memastikan transparansi mengenai keluhan dan tanggapan dari pemangku kepentingan terkait,” katanya.

Lebih jauh, Mendrofa menambahkan bahwa Indonesia perlu mengadopsi standar keberlanjutan yang lebih ketat, seperti yang ditetapkan dalam IRMA. Standar ini akan memastikan aspek-aspek krusial seperti manajemen limbah, kesehatan dan keselamatan pekerja, hak asasi manusia, keterlibatan masyarakat, dan langkah-langkah anti-korupsi dievaluasi dengan benar.

Tanpa standar yang lebih tinggi, Mendrofa memperingatkan bahwa industri nikel Indonesia yang beroperasi seperti biasa dapat menghadapi penurunan permintaan. “Komunitas global pasti tidak akan menyukainya—mereka tidak akan tertarik pada investasi pertambangan di Indonesia,” ujarnya.

Sementara para ahli memperdebatkan standar dan investor global menimbang risiko, warga di desa-desa sekitar IMIP terus menderita dalam kesunyian.

Nurman Hidayat, warga Bahomakmur, menyuarakan perasaan ditinggalkan yang mendalam. “Tidak ada seorang pun dari instansi terkait [atau] dinas kesehatan, termasuk pemerintah pusat, daerah, atau provinsi, yang memperhatikan [kekhawatiran kami]. Kami meminta setidaknya sedikit perhatian pada masalah kesehatan kami. Sama sekali tidak ada… tidak ada apa-apa dari PT IMIP juga, jadi kami dibiarkan begitu saja,” katanya.

Di Kurisa, Lukman, yang lautnya telah direnggut, kini hanya memiliki satu permintaan tragis. Jika perusahaan tidak mau membantu mereka relokasi, katanya, mereka setidaknya harus memberikan kompensasi kepada masyarakat.

“Sehingga kami tahu kami menerima sesuatu setiap bulan,” kata Lukman, “meskipun kami mungkin menghirup udara yang tercemar.” [Johanes Hutabarat]

Artikel ini terbit dalam Bahasa Inggris di Dialogue Earth dengan judul Indonesian coastal villages in the dark over nickel pollution.  

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses