Di atas kertas, Indonesia telah memiliki Anti-SLAPP. Dalam praktik, jerat kriminalisasi tetap bekerja.
Di Poso, Ketapang, dan Sikka, jaraknya ribuan kilometer. Lanskapnya berbeda: hutan, kebun, pesisir, dan tanah adat yang diwariskan lintas generasi. Namun sepanjang 2025, ketiganya terhubung oleh satu pola yang sama, ketika masyarakat adat dan warga mempertahankan ruang hidup, hukum pidana datang lebih dulu daripada perlindungan negara. Di atas kertas, Indonesia telah memiliki Anti-SLAPP. Dalam praktik, jerat kriminalisasi tetap bekerja.
Kasus yang menimpa Fendi Sesupi di Poso menjadi salah satu contohnya. Ia dilaporkan dan diproses hukum setelah terlibat dalam upaya mempertahankan wilayah adat yang bersinggungan dengan kepentingan usaha. Di Ketapang, Kalimantan Barat, Christian Taibo menghadapi proses hukum dalam konflik serupa tanah adat berhadapan dengan klaim konsesi.
Sementara di Nangahale, Sikka, tujuh warga dikriminalisasi setelah mempertahankan tanah yang mereka yakini sebagai bagian dari wilayah adat dan ruang hidup komunitas. Ketiganya bukan kasus yang berdiri sendiri. Mereka merepresentasikan wajah konflik agraria kontemporer di Indonesia, di mana peta izin lebih berkuasa daripada peta ingatan kolektif. Tiga lokasi berbeda, satu pola yang sama.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat masih terjadi di ratusan komunitas setiap tahun. Dalam berbagai catatan resminya, AMAN menegaskan bahwa kriminalisasi merupakan dampak paling serius dari konflik tersebut, terutama di wilayah dengan ekspansi perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan proyek infrastruktur. Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, berulang kali menyebut kriminalisasi masyarakat adat sebagai konsekuensi langsung dari kegagalan negara mengakui hak-hak adat.
Data konflik agraria yang dirilis lembaga pemantau menunjukkan, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah konflik yang berujung kriminalisasi relatif konsisten tinggi, dengan masyarakat adat dan petani menjadi kelompok paling terdampak. Tahun 2025 memperlihatkan kecenderungan yang mengkhawatirkan: kriminalisasi tidak hanya menyasar tokoh adat, tetapi juga warga biasa yang terlibat dalam aksi kolektif. Tuduhan yang digunakan hampir selalu sama perusakan, penyerobotan, pencurian, atau menghalangi kegiatan usaha.
Di sinilah Anti-SLAPP seharusnya bekerja. Secara normatif, regulasi ini dimaksudkan melindungi setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari tuntutan hukum yang bersifat membungkam partisipasi publik. Dalam konteks konflik agraria, masyarakat adat dan warga yang mempertahankan tanahnya jelas berada dalam posisi pembela lingkungan. Namun pada banyak kasus 2025, termasuk di Poso, Ketapang, dan Sikka, Anti-SLAPP belum menjadi tameng yang efektif.
Sejauh ini, Anti-SLAPP belum dipahami sebagai instrumen penghentian perkara sejak awal tapi lebih sering dijadikan sebagai argumen pembelaan di pengadilan, bukan dasar untuk menolak laporan sejak tahap penyelidikan. Akibatnya, masyarakat tetap ditangkap, ditahan, dan menjalani proses hukum panjang meski substansi perkara berkaitan langsung dengan pembelaan ruang hidup.
Di Poso, Ketapang, dan Sikka, konflik tidak muncul tiba-tiba tapi lahir dari tumpang tindih tata ruang, minimnya pengakuan wilayah adat, dan model pembangunan yang menempatkan tanah sebagai komoditas. Ketika izin usaha diterbitkan di atas wilayah adat yang belum diakui secara formal, konflik menjadi tak terelakkan. Dalam struktur seperti ini, Anti-SLAPP bekerja di hilir, sementara masalah sesungguhnya berada di hulu.
Namun, kegagalan implementasi Anti-SLAPP tidak berarti regulasi ini sia-sia. Justru sebaliknya, membuka ruang intervensi bagi lembaga bantuan hukum, aktivis, dan jurnalis. Dalam sejumlah kasus, pendampingan hukum yang sejak awal menggunakan kerangka Anti-SLAPP mampu memperkuat posisi warga, setidaknya dalam membangun narasi bahwa perkara tersebut bukan kriminal murni, melainkan konflik lingkungan dan agraria.
Peran lembaga bantuan hukum menjadi krusial untuk mendorong penggunaan Anti-SLAPP sejak tahap awal proses hukum. Pendamping tidak hanya membela di pengadilan, tetapi juga melakukan pendidikan hukum kepada komunitas, menyusun kronologi berbasis data spasial, dan menunjukkan keterkaitan langsung antara aksi warga dengan perlindungan lingkungan.
Aktivis lingkungan berperan mengonsolidasikan dukungan publik dan memastikan kasus tidak tenggelam dalam kesunyian. Sementara jurnalis, melalui peliputan berbasis data dan ruang, dapat membuka konteks yang kerap diabaikan dalam berkas perkara: sejarah penguasaan tanah, peta wilayah adat, dan dampak ekologis dari proyek yang dipersoalkan.
Dari kasus-kasus 2025, satu pelajaran penting muncul: Anti-SLAPP tidak akan efektif tanpa perubahan paradigma di tubuh penegak hukum. Aparat perlu melihat konflik agraria sebagai persoalan struktural, bukan semata pelanggaran pidana. Selain itu, negara harus berhenti menunda pengesahan undang-undang masyarakat adat. Selama pengakuan adat masih bersifat administratif dan politis, kriminalisasi akan terus menemukan jalannya.
Di tingkat kebijakan, evaluasi izin di wilayah konflik harus dilakukan secara terbuka, dengan melibatkan masyarakat adat sebagai subjek, bukan objek. Mekanisme penyelesaian berbasis keadilan restoratif dan hukum adat perlu diarusutamakan. Dalam konteks ini, UU Anti-SLAPP dapat menjadi jembatan bukan solusi tunggal, tetapi alat penting untuk mencegah hukum pidana digunakan sebagai senjata pembungkam.
Kasus Fendi Sesupi di Poso, Christian Taibo di Ketapang, dan tujuh warga Nangahale di Sikka menunjukkan satu hal yang sama: kriminalisasi bukan sekadar kegagalan hukum, melainkan kegagalan cara pandang.
Selama negara masih membaca ruang hidup hanya dari peta izin, dan bukan dari relasi manusia dengan tanahnya, maka UU Anti-SLAPP akan terus diuji. Dan selama itu pula, masyarakat adat akan terus berjalan dari tanah leluhur mereka menuju ruang sidang membela sesuatu yang seharusnya tidak perlu dibela: hak untuk hidup di tanah sendiri.
*Ekuatorial tengah mengerjakan proyek liputan khusus tentang SLAPP—praktik pembungkaman melalui hukum yang kerap menjerat masyarakat adat, aktivis, dan warga pembela lingkungan. Liputan ini akan mengungkap pola, dampak, dan celah perlindungan hukum. Nantikan rangkaian laporannya.
- Kala generasi muda mendata nafas liar Tebet Eco Park
- Membela ruang hidup, berhadapan dengan pidana
- Hutan Kalimantan di bawah kuasa raksasa ekstraktif
- Prahara di hulu Batang Toru, bencananya mengalir hingga hilir
- Suara masyarakat adat terbungkam di rimba Mayawana
- Menjaga “taman” Sriwijaya, narasi ekologi dari Rumah Sri Ksetra
