More adaptive food management is becoming increasingly important to anticipate the impacts of the climate crisis that disrupt productivity.

More adaptive food management is becoming increasingly important to anticipate the impacts of the climate crisis. This is because the increase in global temperatures has disrupted food productivity in recent times.

Edvin Aldrian, Vice Chair of Working Group I, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) said that 2023 was the hottest year with a global temperature increase of up to 1.52 degrees Celsius.

Until March 2023, the Professor of Meteorology and Climatology from the National Research and Innovation Agency (BRIN) said that the increase in the earth’s temperature had exceeded the limit set by the Paris Agreement, which was 1.5 degrees Celsius.

“This condition occurred 10 years earlier than previous predictions,” said Edvin in an online discussion entitled Expensive Staple Foods: The Importance of Food Sustainability in the Midst of the Climate Crisis, Tuesday (5/3/24).

Supari, Coordinator of Climate Variability Analysis, Meteorology, Climatology, and Geophysics Agency (BMKG), said that throughout August to October 2023 the El Niño phenomenon was marked by very low rainfall in several regions.

For example, conditions without rain for more than two months occurred in the southern part of Sumatra, Java, Bali, NTB, NTT, Central and South Kalimantan, parts of Sulawesi, parts of Maluku and Papua.

In fact, Supari continued, the highest condition without rain for 222 days occurred in Lombok, NTB. “So it can be understood that many areas are experiencing suboptimal food production conditions,” explained Supari.

Seturut perhitungan Badan Pangan Nasional (Bapanas), total produksi beras periode Januari-April 2024 mencapai 10,70 juta ton. Sedangkan produksi total beras tahun 2023 pada periode yang sama mencapai 12,98 juta ton.

Budi Waryanto, Plt. Direktur Ketersediaan Bapanas mengatakan, data itu menunjukkan produksi beras tahun ini lebih rendah 2,28 juta ton atau 17,57 persen dibanding periode yang sama pada tahun 2023.

“Jadi, volume produksi beras dari Januari hingga Maret 2024 diprediksi lebih rendah dibanding produksi beras pada dua atau tiga tahun lalu. Sehingga, kondisi ini merupakan musim paceklik yang luar biasa,” ujar Budi.

Dia menyebut, Bapanas telah melakukan beberapa langkah untuk menjaga ketersediaan pangan. Misalnya, menyediakan 2,4 juta ton setiap tahunnya, menyalurkan bantuan pangan untuk 22 juta masyarakat yang rawan pangan, serta melakukan stabilisasi pasokan dan harga untuk retail modern.

Langkah lain yang ditempuh untuk mengendalikan inflasi di daerah yaitu melakukan sinergi dengan pemerintah daerah, melalui program gerai pangan murah di bawah program Kementerian Dalam Negeri.

“Selain itu, Bapanas juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian untuk melakukan percepatan tanam di semester II tahun 2024, yang diprediksi akan terjadi fenomena La Nina dan menyebabkan kondisi iklim lebih basah untuk pertumbuhan padi,” tambah Budi.

Maksimalkan keragaman potensi daerah

Pemerintah diminta memaksimalkan keragaman potensi di berbagai daerah, untuk menjaga ketersediaan pangan di tengah ancaman krisis iklim.

Angga Dwiartama, Dosen dan Peneliti Pangan di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, mengajukan tiga rekomendasi di sektor pertanian sebagai upaya adaptasi perubahan iklim.

Pertama, pemerintah harus membangun infrastruktur lokal yang sesuai dengan karakteristik sosio-ekologis setiap wilayah. “Sentralisasi produksi pertanian harus dihindari, dan infrastruktur yang tangguh harus dibangun sesuai dengan sistem ekologis-sosial setempat,” sebutnya.

Kedua, dengan mayoritas petani padi Indonesia termasuk dalam kategori petani gurem, pemerintah harus meningkatkan akses mereka terhadap sumber daya pertanian yang mencukupi, seperti lahan, air, dan sarana produksi.

Ketiga, masih diterangkan Angga, pemerintah harus memperkuat kapasitas masyarakat pedesaan melalui praktik adaptasi perubahan iklim. “Pemahaman tentang strategi penghidupan dan adaptasi perubahan iklim di pedesaan dapat memperkuat ketangguhan masyarakat terhadap perubahan iklim,” tuturnya.

Sementara itu, Ahmad Juang Setiawan, Climate Researcher dari Traction Energy Asia menilai, upaya mewujudkan pangan berkelanjutan seharusnya dapat berkaca dari kearifan lokal petani di berbagai daerah.

Ia mencontohkan, masyarakat adat di Kasepuhan, Banten Selatan, memiliki berbagai jenis varietas padi yang sudah disesuaikan dengan berbagai musim. Selain itu, mereka juga disebut memiliki sistem prediksi awal musim tanam yang cukup baik.

“Hal ini penting untuk memberikan masukan yang berharga bagi pemerintah,” kata Juang. Selain itu, dia juga menekankan pentingnya diversifikasi sistem pertanian. Sebab, setiap daerah di Indonesia, disebutnya memiliki keunikan dan kebutuhan tersendiri yang harus dipertimbangkan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.