Tidak lagi kesulitan air untuk bertani dan kebutuhan sehari-hari saat musim kemarau tiba, berikut kisah masyarakat Desa Sumbermujur, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, menghidupkan kembali hutan bambu sekaligus melindungi mata air mereka.

Oleh Ika Ningtyas

Lumajang, JAWA TIMUR. Saat kekeringan melanda desa-desa lainnya, warga Desa Sumbermujur, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, masih bisa bertani dan mendapatkan air untuk sehari-hari dari mata air yang tidak pernah berhenti mengalir. Kuncinya, merawat hutan bambu.  

Hingga tahun 1990an, masyarakat giat menebang bambu untuk membuat rumah, perkakas dapur dan kerajinan, hingga menjual tunas bambu untuk konsumsi. Kondisi ini membuat hutan bambu desa yang awalnya seluas sembilan hektar, menyusut hingga 30 persen dan menurunkan debit air mata air hingga 300 liter per detik. 

“Zaman dahulu, seluruh rumah masih terbuat dari bambu. Jadi, kalau mau bikin rumah atau pagar, bambunya tinggal ambil dari hutan bambu,” kata Kusman, Ketua Kelompok Tani Kali Jambe, Desa Sumbermujur kepada Ekuatorial. 

Menyadari menurunnya debit air mata air berkaitan dengan rusaknya hutan, sejumlah warga berinisiatif untuk melakukan penanaman kembali areal hutan yang rusak seluas tiga hektar sejak tahun 2000.  

Joko Triono, salah seorang pengelola hutan bambu, mengatakan mereka memilih bambu untuk konservasi sumber air dengan pertimbangan cara pembibitan dan perawatan yang mudah.   

“Perawatan bambu sangat mudah dan bisa dilakukan oleh siapa pun. Pertumbuhannya juga cukup cepat,” kata Joko. 

Pemerintah provinsi Jawa Timur pun memberikan izin pengusahaan untuk hutan desa di tahun 2005 seluas lima hektar sehingga luasan hutan bertambah menjadi 14 hektar. 

Perluasan hutan bambu itu berjarak dua hingga tiga kilometer dari desa dan berada dekat lereng Gunung Semeru. 

Pertanian padi di Desa Sumbermujur yang subur berkat air berlimpah dari mata air Deling. Foto oleh Ika Ningtyas.

Saat ini, rumpun bambu yang ditanam sebagian besar adalah jenis bambu apus (Gigantochloa apus) dan jenis lainnya seperti petung (Dendrocalamus asper), ori (Bambusa arundinacea) dan rampal (Schizostachyum branchyladum). 

Rumpun-rumpun bambu tersebut sudah tumbuh setinggi 18 hingga 20 meter dan rapat mengelilingi mata air membentuk kanopi hutan. Sumber air ini pun diberikan nama mata air Deling, sebutan lokal untuk bambu. 

Pulihnya hutan bambu, menurut Rudi Mulyono, salah satu pengelola hutan bambu, membuat mata air Deling mampu mengalirkan 600 liter air per detik untuk memenuhi kebutuhan air minum tujuh ribu penduduk dan mengairi 436 hektar lahan pertanian, — untuk bertanam padi sebanyak dua kali dalam setahun, palawija, kopi, kubis dan tomat – saat musim kemarau. Bahkan, debit air bisa mencapai 1.000 liter per detik pada musim penghujan.  

Suharsih (60), petani yang memiliki satu hektar lahan, mengatakan sejak debit air mata air bertambah, pasokan air selalu teratur setiap hari. “Kami tak pernah kekurangan air lagi,” katanya. 

Kusman, Ketua Kelompok Tani Kali Jambe Desa Sumbermujur, menyatakan bahwa produktivitas padi meningkat dari sebelumnya kurang dari sembilan ton per hektar menjadi sepuluh hingga 12 ton per hektar sekali panen.

Hutan bambu di Desa Sumbermujur seluas 14 ha kini dalam lindungan pemerintah setempat dan warga untuk konservasi mata air. Foto oleh Ika Ningtyas.

“Kebutuhan air [untuk pertanian] dibagi bergiliran mulai sawah bagian utara dan selatan,” katanya menambahkan bahwa petani harus berjaga setiap malam untuk mengantri giliran dan tidak jarang terlibat cekcok karena jatah air.

Sejak tahun 2012, pipa-pipa dibangun secara bertahap untuk mengalirkan mata air Deling ke rumah-rumah warga. Hingga tahun ini, akses air bersih lewat pipanisasi telah dinikmati hampir semua keluarga, sekitar 1.900 rumah tangga dengan biaya murah  sebesar Rp 5 ribu per bulan. Tersisa 20an keluarga yang belum tersambung oleh pipa karena topografi daerahnya yang tinggi. 

“Sekarang saya tidak memakai sumur lagi. Kebutuhan minum, mandi, dan cuci sudah bisa dipenuhi dari sumber Deling,” kata Ngatiyam (50), yang sebelumnya harus mengeluarkan Rp50 ribu sebulan untuk biaya sumur dengan pompa listrik. 

Tidak hanya kebutuhan desa sendiri, Wigit Yulianto, Kepala Seksi Pemerintahan Desa Sumbermujur, mengatakan bahwa mata air Deling juga mengairi sawah di desa-desa sekitar, antara lain Desa Penanggal seluas 335 hektar, Desa Tambahrejo 242 hektar, dan Desa Kloposawit seluas 72 hektar, yang berjarak lebih dari 30 kilometer.  

“Karena, sumber-sumber air di desa lain banyak yang mengering saat kemarau,” kata Wigit kepada Ekuatorial.

Desa Pananggal, salah satu desa sekitar Desa Sumbermujur yang menikmati limpahan air dari mata air Deling. Foto oleh Ika Ningtyas.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pemerintah Desa Sumbermujur telah mengeluarkan Peraturan Desa No. 6 Tahun 2007 tentang Pelestarian Lingkungan Sumbermujur Lestari untuk menjamin keberadaan hutan bambu. 

Melalui peraturan tersebut, jelasnya, pemerintah desa juga mewajibkan warga yang akan menikah untuk menyetorkan setidaknya dua hingga lima bibit bambu ke balai desa untuk kemudian ditanam di hutan bambu. 

Selain itu, siapapun dilarang menebang bambu di hutan bambu tanpa seizin dari pemerintah desa, bagi yang melanggar akan dikenai denda Rp50 ribu per batang. 

“Denda tersebut agar warga yang menebang merasa jera. Tapi, agar tak didenda, warga yang benar-benar membutuhkan bambu bisa melapor ke kantor desa. Nantinya, pihak desa menebang bambu yang tua,” katanya. 

Peraturan desa itu dilaksanakan sepenuhnya oleh seluruh penduduk. “Buktinya, sejak peraturan itu terbit tidak pernah ada penebangan ilegal. Warga pun memilih menanam bambu di pekarangan atau ladangnya untuk kebutuhan sendiri,” katanya.

 

Bambu Untuk Konservasi Air

Pakar taksonomi bambu Indonesia, Elizabeth Anita Widjaja, mengatakan langkah Desa Sumbermujur melakukan konservasi sumber air dengan merawat hutan bambu merupakan langkah tepat. 

Batang bambu, jelasnya, memiliki sifat seperti pipa kapiler yang dapat menyimpan air pada musim penghujan dan mengeluarkan kembali pada musim kemarau sehingga apabila ada hutan bambu di atas bukit maka muncul mata air di lembah seperti yang terjadi di Desa Sumbermujur. 

“Di daerah yang gundul terutama di puncak bukit yang rawan krisis air, sebaiknya ditanam bambu sebagai pengikat air,” kata Elizabeth, mantan peneliti senior di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), melalui surat elektronik. 

Selain berfungsi untuk mengkonservasi sumber air, kata Elizabeth, bambu juga cukup efektif untuk menahan erosi pada tanah sehingga dapat mencegah terjadinya longsor dan banjir. Hanya saja, kata dia, jenis bambu yang ditanam harus disesuaikan dengan topografi daerah.

Misalnya, untuk lereng-lereng yang terjal, sebaiknya memilih jenis bambu kecil dengan batang tidak terlalu tinggi, seperti jenis bambu ampel (Bambusa vulgaris), bambu pagar (Bambusa glaucescens) dan bambu suling (Schizostachyum silicatum/Bambusa jacobsii). 

“Bila lereng sangat terjal, jangan menggunakan jenis-jenis [bambu] yang mempunyai diameter besar dan panjang seperti bambu betung. Tujuannya, untuk mencegah rumpun jatuh saat hujan lebat atau saat terjadi longsor,” kata Elizabeth.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa pemanfaatan hutan bambu sebagai upaya konservasi sumber air dan pencegah longsor sudah banyak dilakukan baik oleh lembaga swadaya masyarakat maupun perusahaan swasta, seperti di Gunung Wilis, Gunung Penanggungan, Gunung Arjuno dan Gunung Welirang, semuanya berlokasi di Jawa Timur. 

Mata air Deling di Desa Sumbermujur dengan debit 600-1.000 liter per detik mengairi sekitar 7.000 warga dan lebih dari 436 ha lahan pertanian. Foto oleh Ika Ningtyas.

Sayangnya, menurut Elizabeth, pemerintah belum optimal untuk memanfaatkan bambu bagi konservasi sumber air maupun penahan erosi karena masih sulitnya masyarakat mendapatkan izin penanaman bambu di kawasan-kawasan hutan lindung dan lebih memilih membeton pinggiran sungai ketimbang penanaman kembali. 

“Padahal, pemerintah tidak perlu mengeluarkan uang untuk pengadaan bibit bambunya. Penanaman juga dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Tapi, memperoleh izinnya itu lama dan sulit,” katanya. “Padahal, kalau menanam bambu manfaatnya bisa dua sekaligus, yakni mencegah erosi dan bisa mengkonservasi sumber airnya. Tapi, keberadaan bambu masih dipinggirkan dan dianggap tidak penting.”

Sementara, Wawan Hadi Siswanto, Kepala Bidang Pencegahan, Kesiapsiagaan, dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang, mengatakan bahwa pemerintah kesulitan melakukan konservasi sumber air untuk desa rentan kekeringan karena ada penolakan dari masyarakat dari daerah lain. 

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lumajang mencatat di tahun 2018, ada 15 desa, yang berada di Lumajang bagian utara, mengalami kekeringan sejak awal Juni. 

Pemerintah Kabupaten Lumajang kesulitan untuk melakukan konservasi sumber air dengan bambu bagi 15 desa tersebut karena daerah tangkapan air berada di Kabupaten Probolinggo. 

“Kami sudah tawarkan untuk melakukan konservasi sumber air menggunakan bambu di desa-desa dataran tinggi di Probolinggo dengan syarat sumber air hasil konservasi bisa dialirkan untuk desa-desa kami yang kekeringan. Tapi, warga di sana menolak mengalirkan airnya ke Lumajang karena mereka khawatir akan kekurangan air. Jadi, kami sudah melakukan berbagai upaya, tapi belum ada jalan keluar,” kata Wawan.

Untuk mengatasi kekeringan yang sedang dialami sejak lima tahun terakhir, BPBD Lumajang pun menyalurkan air bersih sebanyak 120 ribu liter untuk 15 desa tersebut, mulai tanggal 8 Juni hingga lima bulan mendatang. “Kami belum punya solusi lain. [Saat ini] yang bisa dilakukan hanya mengirimkan air bersih,” katanya. 

 

Mitos Dalam Menjaga Hutan Bambu 

Sambil melakukan penanaman kembali, warga Desa Sumbermujur memanfaatkan kearifan lokal untuk merawat mata air mereka yaitu dengan mensakralkan ikan sidat (Anguilla spp) yang banyak hidup di mata air dan sungai di desa tersebut. 

Rudi Mulyono, salah satu pengurus hutan bambu, mengatakan bahwa masyarakat percaya adanya petaka apabila memburu dan mengkonsumsi ikan sidat yang dianggap sebagai hewan penjaga mata air Deling. 

Kisahnya bermula dari salah satu warga yang nekat mengambil dan mengkonsumsi ikan sidat di mata air Deling meski sudah diperingatkan. Keesokan harinya, beredar kabar pria tersebut meninggal dunia. Kisah ini membuat masyarakat semakin mempercayai mitos mengenai pantangan memburu dan memakan ikan sidat.

Menurut Rudi, di balik mitos, ikan sidat punya peran besar untuk melancarkan aliran mata air. “Ikan sidat senang hidup di mata air-mata air. Dalam masa reproduksinya, sidat akan bermigrasi melalui aliran sungai hingga ke laut. Sehingga ikan sidat bisa menembus urat-urat aliran air,” kata Rudi menjelaskan sifat ikan sidat tersebut dinamakan katadromus. 

Ia menambahkan bahwa perlindungan terhadap ikan sidat dan satwa lainnya sudah masuk dalam peraturan desa yang terbit pada tahun 2007. Peraturan desa tersebut, jelasnya, melarang aktivitas perburuan satwa, termasuk mengambil ikan di sungai dengan cara meracuni dan menyetrum. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.