Minimnya pengetahuan masyarakat dan masih lazimnya berburu anoa untuk konsumsi, membuat perlindungan terhadap spesies langka tersebut menjadi tantangan tersendiri.

Makassar, SULAWESI SELATAN. Kelahiran anoa (Buballus sp.) betina di Anoa Breeding Center, Manado, Sulawesi Utara, Juli lalu, membawa angin segar bagi keberadaan hewan langka tersebut. Namun, kebiasaan masyarakat memburu dan mengonsumsi daging anoa masih menjadi ancaman nyata.

International Union for Conservation of Nature (IUCN) sejak 2007 telah menempatkan anoa, — anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) –, sebagai hewan terancam punah (Endangered).

Belum ada data pasti berapa jumlah anoa yang tersisa di Indonesia. Namun, berdasarkan estimasi dari BP2LHK dan Anoa Breeding Center, populasi anoa kurang lebih tersisa 2500 ekor pada tahun 2008.

Peneliti anoa di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Manado, Ady Suryawan mengatakan, satwa langka yang dilindungi Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 ini terus mengalami pengurangan populasi 20 tahun terakhir.

“Dari hasil penelitian kami, terjadi pengurangan populasi anoa hingga 15 persen setiap tahunnya,” kata Ady.

Jumlah ini kata dia disebabkan banyak faktor. Namun, yang paling utama karena daging anoa diyakini memiliki sumber protein tinggi dan rendah lemak. Kelezatannya bahkan dikatakan lebih baik dari daging sapi hingga kijang.

Asumsi inilah yang membuat anoa terus diburu. Apalagi anoa bukan jenis mamalia yang diharamkan dalam satu keyakinan apapun.

Ady juga mengungkapkan bahwa beberapa keyakinan lokal di Sulawesi menjadikan anoa sebagai prasyarat ritual. Bahkan di beberapa tempat, tanduk anoa diyakini mampu menangkal santet.

Adhil (32), warga Desa Barangka, Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara membenarkan mitos terkait santet tersebut. Ia tidak asing lagi dengan keberadaan tanduk anoa di rumah-rumah warga. Bahkan, paman kandungnya sendiri merupakan pemburu anoa yang andal.

“Tidak pasti sejak kapan keyakinan itu muncul, tapi sebagian besar percaya tanduk anoa bisa menangkal santet,” katanya.

Akibat seringnya diburu, Adhil mengaku saat ini cukup sulit menemukan anoa berkeliaran.

“Saya masih ingat, tiga hingga lima tahun lalu anoa masih masuk ke pemukiman warga. Ketika itu terjadi orang-orang akan memburunya,” kata Adhil yang ditemui di Kendari, Juli lalu.

Di tempat lain, anoa juga masih menjadi sasaran perburuan dan konsumsi warga. Hal tersebut diakui oleh Tasman, warga Desa Tole, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, yang menceritakan bahwa mereka berburu dan membunuh seekor anoa setahun lalu.  Meski tidak mengakui telah membunuh anoa tersebut, ia menyatakan bahwa daging anoa lebih enak dari rusa.

Desa Tole yang baru dinyatakan sebagai desa pada Januari 2018 tersebut memang tercatat sebagai salah lokasi sebaran anoa. Sehingga, sering terjadi interaksi antara anoa dengan manusia.

“Anoa itu memakan hampir semua jenis tumbuhan, jadi ia semacam hama, makanya selalu diburu kalau ke pemukiman,” kata Tasman kepada Ekuatorial, Agustus lalu.

Meski demikian, baik Adhil dan Tasman sama-sama mengakui tidak lagi sengaja berburu anoa karena mengetahui adanya hukuman. Tapi, hal tersebut tidak berarti mereka akan berhenti membunuh anoa yang memang masuk ke pemukiman warga.

Kepala Resort Kehutanan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Buton Utara, Sulawesi Tenggara, Warian Djatmika, mengatakan bahwa memburu anoa telah menjadi budaya yang mengakar.

Warga, lanjut Warian, masih tetap memasang jerat anoa meskipun sosialisasi sudah berjalan. Ditambah lagi, jumlah petugas yang tidak sebanding dengan luas wilayah yang dilindungi membuat pekerjaan menjaga perburuan menjadi sulit.

“Kami tahu masih banyak masyarakat yang terus memburu. Tapi, ketika kedapatan [menjerat anoa] selalu berdalih karena alasan ekonomi. Petugas juga sulit menindak,” tuturnya. “Jika ada anoa yang didapat di rumah warga, mereka selalu berdalih hewan itu terjerat tidak sengaja.”

Para penegak hukum hampir melakukan proses hukum kepada dua warga Desa Lepanggeng, Kecamatan Pitu Riase, Kabupaten Sidrap, yang tertangkap melakukan transaksi jual beli anoa melalui laman Facebook, Januari lalu.

Anoa muda yang berhasil diamankan Brigade Anoa Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi di Desa Leppangeng, Kecamatan Pitu Riase, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Anoa ini dijual melalui Facebook. Foto oleh Ancha Hardiansya.

Anoa tersebut berhasil diamankan para petugas, namun kedua pelaku berhasil melarikan diri hingga kini.

Kepala Balai Penegakan Hukkum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi, Muhammad Nur, menyatakan bahwa kesulitan menindak pelaku pemburuan anoa karena tidak mendapat dukungan dari masyarakat.

Nur mengatakan masih banyak warga yang justru menyembunyikan kepemilikan anoa. “Jika ada yang disinyalir memburu atau menjual segera laporkan ke kami,” kata Nur.

Penanganan Oleh Kebun Binatang

Akibat tidak memiliki tempat konservasi yang memadai, para petugas pun cenderung mengirimkan anoa sitaan dari warga ke kebun binatang.

Contohnya, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Buton Utara yang mengirimkan setidaknya dua anoa sitaan ke kebun binatang di Jawa Timur.

Hal yang sama dilakukan oleh Bontonmaranu Education Park, taman marga satwa milik CV Citra Satwa Celebes, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Mukhlis Amans Hadi, Direktur Bontonmaranu Education Park mengatakan, mereka mengambil beberapa ekor anoa langsung dari warga dan melaporkannya ke BKSDA. Ia mengatakan hal tersebut merupakan keinginan warga sendiri.

“Mereka yang biasa melaporkan ke kami bahwa jerat yang dipasang di hutan menjaring anoa,” kata Mukhlis, Agustus lalu, menambahkan bahwa total sudah ada enam anoa yang menjadi koleksi mereka.

Anoa di Bontonmarannu Education Park yang masih terus dikembangbiakkan. Mereka tergolong hewan yang memakan banyak tumbuhan sehingga lokasi penangkarannya jadi tandus. Foto oleh Ancha Hardiansya.

Upaya pengalihan penanganan ke kebun binatang bisa terjadi karena organisasi Perhimpunan  Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBIS) merupakan salah satu anggota Forum Pemerhati Anoa yang terbentuk pada tahun 2015.

Forum tersebut sudah menghasilkan Roadmap Pusat Kajian Anoa Tahun 2016-2036 yang memiliki lima program konservasi. Namun, belum berjalan maksimal.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kebun binatang tidak boleh mengambil hewan langka dan terlindungi langsung dari masyarakat sebelum selesainya proses pengadilan.

Pihak BKSDA Sulawesi Selatan memaklumi praktik ini karena tidak semua masyarakat tahu balai tersebut.

“Kami memaklumi kalau tidak semua masyarakat tahu BKSDA, jadi biasanya masyarakat berhubungan langsung dengan kebun binatang,” kata Kepala Bidang Teknis BKSDA Sulawesi Selatan, Supriyanto.

Supriyanto menegaskan praktik tersebut hanya dibenarkan untuk kebun binatang yang berstatus lembaga konservasi.

Bontonmarannu Education Park, jelasnya, sudah mengantongi sertifikat konservasi, sehingga mereka harus melaporkan sitaannya kepada BKSDA.

Ia pun menekankan jangan sampai ada transaksi jual beli saat mengambil anoa karena mendorong masyarakat untuk berburu.

“Anoa yang di penangkaran milik lembaga konservasi statusnya dititipkan saja, suatu waktu bisa diambil kembali oleh negara, jika sudah siap akan dibebasliarkan,” tegas Supriyanto.

Upaya konservasi anoa

Menjaga anoa dari kepunahan dilakukan dengan dua cara, yaitu ex-situ (di luar habitat asli) dan in-situ (habitat asli).

Retno Iswarin Pujianingsih, ahli peternakan hewan dari Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, menyatakan bahwa konservasi anoa bisa dilakukan dengan mengamankan habitat dan populasi serta menyeimbangkan antara ex-situ dan in-situ.

Namun, Retno mengatakan kedua metode konservasi tersebut tidaklah mudah dilakukan. Misalnya, biaya mahal hingga keterbatasan dokter musti dihadapi oleh konservasi ex-situ, seperti Anoa Breeding Center. Sementara, konservasi in-situ terkendala oleh tergerusnya habitat asli anoa.

“Ekspansi manusia serta konversi hutan menjadi lahan agriculture mengurangi sumber pakan alami anoa,” kata Retno, Juli lalu.

Rahma Suryaningsih, manajer Anoa Breeding Center (ABC) Manado, menyatakan bahwa mereka hanya memiliki satu dokter hewan untuk mengurusi sepuluh anoa di pusat rehabiliasi tersebut.

Namun, ia menambahkan bahwa sudah ada tiga perusahaan menjadi penyokong dana.

Ia menyatakan meski berjalan pelan, ABC Manado telah mulai menampakan hasil dengan tiga kelahiran baru selama tiga tahun belakangan.

“Ini kelahiran ketiga sejak ABC diresmikan pertama kali 15 Februari 2015,” kata Rahma. “Upaya ini memang tidak sia-sia. Walau jumlah kelahiran baru dengan anoa yang mati setiap tahun tidak sebanding.”

Sebanyak sepuluh anoa, — tiga jantan dan tujuh betina –, yang kini berada di pusat konservasi anoa terbesar di dunia tersebut.

Sementara itu, Diah Irawati Dwi Arini, salah satu Tim Penyusun Roadmap Pusat Kajian Anoa Tahun 2016-2036 mengatakan konservasi anoa juga ditargetkan dengan program pelepasliaran untuk generasi ketiga.

“Targetnya jangka panjang, tapi kita berharap bisa pelepasliaran di tahun 2036,” jelas Diah menambahkan bahwa tiga anakan di Anoa Breeding Center Manado merupakan generasi pertama, sehinga tidak bisa dilepasliarkan. EKUATORIAL.

Ancha Hardiansya adalah jurnalis lepas yang berbasis di Makassar, Sulawesi Selatan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.