Kabupaten Tuban merupakan salah satu wilayah pesisir yang mengalami abrasi paling parah. Sejak tahun 2016, lebih dari 13.682 kilometer persegi garis pantai rusak, diterpa gelombang setinggi tiga meter didorong, embusan angin berkekuatan 32 kilometer per jam. Namun usaha penanggulangan, matig terhambat tumpang tindih wewenang.

Liputan ini telah terlebih dahulu diterbitkan oleh Tirto.id pada tanggal 23 Januari 2020.

Baca juga: Krisis Iklim Menelan Kehidupan di Pantau Utara Jawa

Oleh Ahmad Zaenudin dan Ronna Nirmala

Tarsan, nelayan kelahiran 1972 di pesisir pantai Tuban, Jawa Timur, mengingat air laut sering menggerus wilayah daratan di wilayahnya, Kecamatan Bancar, pada dekade 1980-an. Abrasi di wilayah ini tergolong parah. “Bukan hanya tanah yang habis digerus lautan, jalan raya (pantai utara) juga pernah putus,” katanya.

Kabupaten Tuban, khususnya di Desa Boncong, memang rawan abrasi. Pada 22 Oktober 2019, abrasi menerpa permukiman nelayan di pinggir pantai itu. Dalam surat yang dikirim Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Tuban pada Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo, ada 24 kepala keluarga terdampak abrasi, dengan kerugian material sekitar Rp20.500.000 per keluarga.

Bantuan yang dikucurkan pemerintah desa masih minim. Ketika itu BPBD Tuban merespons dengan mengirim 500 glangsing (pasir bungkus) guna dipakai warga mencegah hantaman ombak ke rumah mereka.

Abrasi itu terjadi manakala gelombang setinggi tiga meter didorong embusan angin berkekuatan 32 kilometer per jam, merusak pemukiman warga serta lahan pertanian seluas 200 meter persegi. Desa Bancar termasuk wilayah terparah terdampak abrasi, menurut Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Tuban.

Pada 2016, garis pantai sepanjang 13.682 kilometer persegi rusak. Setahun berikutnya, merusak garis pantai 12.882 kilometer persegi. Dua tahun berikutnya juga sama. Demi mengatasi abrasi tahun lalu, BPBD Tuban kembali meluncurkan bantuan berupa penyediaan 2.000 glangsing.

Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Perikanan dan Peternakan Tuban, Umi Kalsum, berkata institusinya telah menyalurkan 79.500 pohon cemara udang antara 2016 dan 2019. Pohon cemara udang adalah alternatif tumbuhan pesisir selain bakau yang berfungsi memecah gelombang laut dan terpaan pasir yang bergulung di sepanjang pantai.

Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Prof. Dr. Suhardi dalam penelitiannya menulis pembuatan lapisan cemara udang di sepanjang pantai bisa menjadi benteng pelindung dari abrasi dan tsunami.

Sayangnya, kata Kalsum, program-program penanggulangan abrasi sukar dilakukan karena tumpang-tindih kewenangan. Padahal, menurut data BNPB Tuban, khususnya di Kecamatan Bancar hingga Kecamatan Jenu, abrasi merupakan bencana inti yang mengancam warga setempat.

Ia mencontohkan, jika abrasi masuk ke arah barat (wilayah Kabupaten Tuban) itu kewenangan pemda kabupaten; sementara jika ke arah laut menjadi kewenangan (pemerintah) provinsi.

“(Sebenarnya) kami mau membangun plengsengan (tembok beton yang dibangun untuk memecah ombak). Tapi, enggak boleh (oleh pemerintah provinsi) karena bukan wewenang kami. Akhirnya, kami hanya sebatas menanam tanaman pantai,” katanya

Tak sekadar membangun pondasi

Penelitian Climate Central, institusi ilmu pengetahuan berpusat di New Jersey, Amerika Serikat, menemukan secara umum kerja analisis oleh berbagai institusi riset tentang kenaikan permukaan air laut terlalu optimistis. Optimistisme itu karena pembacaan data satelit tidak tepat, yang sukar membedakan level permukaan tanah akibat teknologi yang belum dapat membedakan tanah kosong, pepohonan, dan bangunan.

Namun, dengan teknologi terbaru yang memanfaatkan kecerdasan buatan, Climate Central memperkirakan tinggi air laut akan tetap lebih tinggi 0,5 meter dibandingkan perkiraan abad lalu, meski manusia berhasil mereduksi emisi karbon secara ekstrem.

Pada perkiraan terdahulu, misalnya, kenaikan air laut di pesisir Thailand hanya akan membahayakan 1 persen penduduk. Namun, dengan teknologi mutakhir, jumlah penduduk Thailand yang terancam menjadi 10 persen. Menurut Climate Central, dengan efek emisi karbon yang kian parah, juga kenyataan ada sekitar 1 miliar penduduk di atas tanah berada 10 meter di bawah air laut ketika gelombang laut pasang, air laut akan meninggi 20 hingga 30 sentimeter pada 2050.

Jika itu terjadi, wilayah pesisir Kabupaten Tuban, seperti Bancar, Tambakboyo, hingga Jenu, juga kawasan selatan dan pusat, akan hilang ditelan air laut.

Ancaman abrasi di Tuban tak hanya digaungkan Climate Central. Veranita Hadyanti Utami dalam makalah “Identifikasi Kawasan Rentan terhadap Abrasi di Pesisir Kabupaten Tuban, menulis setidaknya 3,6 juta meter persegi kawasan pesisir Tuban hilang ditelan abrasi dari 1993 hingga 2009. Rata-rata abrasi melenyapkan 5 hingga 6 meter wilayah pesisir Tuban.

Arif Zainul dalam “Pemantauan Perubahan Garis pantai Jangka Panjang dengan Teknologi Geospasial di Pesisir Bagian Barat Kabupaten Tuban” (PDF), menulis air laut menelan 72,43 meter dari bibir pantai di Desa Boncong antara 1964 hingga 1973. Kala itu rata-rata laju abrasi di Desa Boncong sekitar 9,05 meter per tahun. Namun, dalam penelitian M. Arif yang menggunakan teknik digital shoreline analysis system pada citra Landsat dari 1964 hingga 2017, sesungguhnya, akresi atau penambahan wilayah daratan lebih tinggi dibandingkan abrasi.

Ini terjadi lantaran di wilayah Tuban ada pembangunan infrastruktur yang cukup masif, khususnya pelabuhan (jetty pelabuhan) seperti Pelabuhan Khusus PT Semen Gresik, Pelabuhan Khusus PT Holcim, Pelabuhan Khusus PLTU Tanjung Awar-Awar, dan Pelabuhan Khusus Trans Pacific Petrochemical Indotama.

Sayangnya, meskipun akresi lebih unggul dibandingkan abrasi, lingkungan pesisir Tuban tetap rusak akibat masifnya pembangunan infrastruktur tersebut.

Tuban harus segera bergerak untuk menyelamatkan wilayahnya dari bencana lingkungan. Menurut Tarsan, kini di wilayahnya memang cukup aman. Ada pondasi kokoh sedalam 10 meter untuk membuat jalan raya tetap berdiri, melindungi wilayah daratan dari lautan.

Namun, beton tetap saja beton, yang perlahan-lahan bakal terkikis, katanya. Menghindar dari abrasi memang tidak sekadar membangun pondasi.

Proyek kolaborasi ini didukung dana hibah dari Internews’ Earth Journalism Network (EJN), organisasi nirlaba lingkungan hidup, dan Resource Watch, lembaga penelitian internasional yang berfokus pada isu-isu keberlangsungan masa depan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.