Permukaan air laut diprediksi akan meninggi hingga 30 sentimeter pada 2050, merendam permukiman-permukiman yang dihuni sekitar 23 juta penduduk di kawasan pesisir Indonesia.

Masa kejayaan tambak bandeng di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa sejak 1970-an perlahan musnah. Ombak yang mengikis garis pantai atau disebut abrasi menjadi musababnya. Di Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat, belasan hektare tambak bandeng kini rata air. Sumber pendapatan tergerus. Sekitar 2.000 kepala keluarga mengungsi ke daratan lebih tinggi. Perihal sama terjadi di Demak, Jawa Tengah. Satu dusun penghasil bandeng tinggal kenangan.

Tiada yang tersisa kecuali satu keluarga bersikeras bertahan di tengah abrasi. Sementara di Tuban, Jawa Timur, ombak perlahan menelan wilayah daratan di hadapannya. Pada 2016, garis pantai sepanjang 13.682 km persegi rusak. Setahun berikutnya, garis pantai sepanjang 12.882 km persegi menghadapi keadaan yang sama.

Kemusnahan tambak adalah akhir dari awal ancaman lebih serius dari abrasi. Hilangnya mata pencaharian, tempat tinggal, hingga rusaknya ekosistem di daerah pesisir menjadi catatan besar yang harus diwaspadai semua pihak. Bencana iklim yang memengaruhi suhu permukaan laut berkontribusi terhadap kekuatan angin yang dibawa ombak. Abrasi sangat bergantung pada proses sedimentasi wilayah pesisir. Selain faktor gelombang laut, manusia juga bisa menyebabkan abrasi.

Ketimpangan ekosistem laut akibat eksploitasi besar-besaran terhadap terumbu karang dan ikan laut serta penambangan pasir turut menciptakan efek buruk dari abrasi. Badan Informasi Geospasial tidak memiliki data konkret mengenai luas daratan di sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa yang terkikis ombak.

Begitu pula mengenai garis waktu abrasi yang mengikis daratan Pulau Jawa; ia hanya bertumpu perkiraan, sekitar tahun 2000-an.

Sementara para pakar enggan menyebut pesisir utara Jawa bakal tenggelam dalam periode waktu tertentu. Menurut mereka, abrasi di satu titik biasanya diikuti akresi atau penumpukan sedimen di satu tempat terdekat dari wilayah yang terkikis.

Meski begitu, peneliti biologi dari Universitas Diponegoro Semarang, Jafron Asiq Hidayat, menemukan fenomena bahwa akresi di pesisir Jawa Tengah belakangan terjadi lebih lambat ketimbang abrasi.

Storigraf_6 isu seputar abrasi pantai

Studi terbaru Climate Central memprediksi air laut akan meninggi 20 hingga 30 sentimeter pada 2050, menyebabkan permukiman-permukiman yang dihuni sekitar 23 juta penduduk di kawasan pesisir Indonesia, termasuk DKI Jakarta, tenggelam. Ancaman ini merupakan efek parah dari emisi karbon, juga kenyataan ada sekitar 1 miliar penduduk menghuni permukiman-permukiman berada 10 meter di bawah air laut ketika gelombang ombak pasang.

Adi Purwananda, peneliti oseanografi dan perubahan iklim global dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menyatakan dampak ganas dari abrasi akan berbeda di masing-masing wilayah pesisir karena ada perbedaan muka tanah di sepanjang garis pantai utara Jawa. “Tergantung topografi, ketinggian muka tanah di tiap kota. Tidak bisa digeneralisasi bahwa semua punya potensi tenggelam, misalkan pada 2050. Tidak segampang itu,” katanya.

Sebuah riset yang turut disusun oleh peneliti abrasi utara Jawa dari Badan Informasi Geospasial, Ratna Sari Dewi, menyebut tambak ikan maupun udang berkontribusi terhadap perubahan topografi tanah di sekitar pesisir. Salah satunya terkait pilihan masyarakat menebang pohon bakau demi membuat areal pertambakan.

Baca juga:

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan luasan hutan bakau di Jawa Barat mencapai 34.321 hektare pada 2016, tetapi hanya 2.830 hektare dalam kondisi baik. Hutan mangrove seluas 80 hektare ditanam secara swadaya oleh warga Semarang, Jawa Tengah. Di Jawa Timur, 1.309 desa di pesisir hanya memiliki 344 titik hutan bakau.

Idealnya, jika hutan bakau lestari, abrasi tak akan terjadi. Bagaimanapun, tumbuhan bakau seperti mangrove tak mungkin berjuang sendiri menghadapi ancaman ganas abrasi. Benteng mangrove harus diperkuat tembok penangkal ombak. Sayangnya, tembok penangkal ombak sejauh ini sebatas rencana, belum menjadi aksi nyata.

Pemerintah daerah maupun pusat perlu memperbaiki sistem pendataan area, termasuk mendata masyarakat-masyarakat pesisir terdampak abrasi. Semuanya dibutuhkan demi landasan menyusun kebijakan tepat sasaran.

Storigraf, kumpulan jurnalis eks-Beritagar.id, bersama Tirto.id menelusuri sepanjang pesisir pantai utara Jawa demi memotret kondisi terkini. Kami berbicara dengan masyarakat perihal situasi ruang hidup mereka yang berjuang dan berteman dengan abrasi.

Mereka menyimpan memori atas dampak nyata dari bencana iklim global. Kami menelusuri enam titik pesisir di tiga provinsi di Jawa, dari Muara Gembong di Bekasi (Jawa Barat); Demak dan Semarang (Jawa Tengah); dan Tuban dan Pasuruan (Jawa Timur).

Fokus utama peliputan ini adalah memotret abrasi dan dampaknya serta langkah apa yang sudah dilakukan oleh pemangku kepentingan di sekitar wilayah tersebut.

Oleh Alfian Putra Abdi, Ahmad Zaenudin, Andya Dhyaksa, Bonardo Maulana Wahono, Fajar Wahyu Hermawan, Muammar Fikrie, Ronna Nirmala, Rommy Roosyana.

Liputan ini telah terlebih dahulu diterbitkan oleh Tirto.id pada tanggal 21 January 2020 dan didukung dana hibah dari Internews’ Earth Journalism Network (EJN), organisasi nirlaba lingkungan hidup, dan Resource Watch, lembaga penelitian internasional yang berfokus pada isu-isu keberlangsungan masa depan.

Berikut adalah daftar liputan tulisan lain dari proyek ini:

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.