Selain virus Covid-19, limbah medis juga menjadi ancaman di masa pandemi ini. Limbah medis terus bertambah sementara pengelolaannya masih banyak menghadapi masalah.

Oleh May Rahmadi

JAKARTA. Pandemi Covid-19 membuka fakta buruknya sistem pengelolaan limbah medis di Indonesia. Di tengah peningkatan kasus positif Covid-19, jumlah limbah medis juga terus bertambah. Sementara, pemerintah sendiri mengakui pengelolaannya masih mengalami banyak kendala.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) bahkan sampai menggelar rapat koordinasi regional sebanyak empat kali bersama Kementerian Kesehatan, Bareskrim, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi serta Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan beberapa perwakilan Rumah Sakit Rujukan untuk membahas masalah limbah medis ini.

Rapat pada 14, 15, 18, dan 20 Mei 20 tersebut membahas pengelolaan limbah B3 dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan (fasyankes: termasuk Rumah Sakit (RS), klinik, dan puskesmas) berkaitan dengan dampak penanganan Covid-19.

Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 KLHK Sinta Saptarina mengatakan, masalah limbah medis ini penting untuk segera diatasi. Sebab, limbah medis dari fasyankes memiliki karakteristik infeksius dan beracun.

Limbah infeksius adalah limbah yang terkontaminasi organisme pathogen dalam jumlah dan virulensi yang cukup untuk menularkan penyakit pada manusia rentan. Limbah dengan karakteristik infeksius sangat berbahaya bagi tenaga kesehatan maupun pengunjung, dan petugas yang menangani limbah.

“Karena dapat tertular penyakit. Limbah beracun mengandung bahan-bahan kimia yang dapat menimbulkan dampak bagi kesehatan dan juga dapat mengakibatkan pencemaran air, pencemaran lahan, serta udara,” kata Sinta kepada Ekuatorial, Selasa (23/6).

Pemetaan fasilitas layanan kesehatan serta jenis-jenis limbah B3 di Indonesia. Sumber: Indonesia Environmental Scientist Aassociation (IESA) 2020

Secara garis besar, Sinta mengungkapkan, ada beberapa masalah dalam pengelolaan limbah medis dampak Covid-19. Pertama, masih banyak RS yang memiliki insinerator namun tidak memiliki izin. Banyak pula RS yang izin insineratornya (alat pembakar sampah) masih berproses, namun tidak sedikit RS yang memang tidak memiliki fasilitas tersebut.

Kedua, jasa pengangkut dan pengolah limbah medis masih belum menjangkau seluruh wilayah Indonesia.

Ketiga, keterbatasan pengelolaan abu insinerator. Keempat, pabrik semen di daerah, yang memiliki incinerator bersuhu tinggi hingga 800 derajat celcius sesuai yang dipersyaratkan KLHK untuk membakar limbah medis, tidak memiliki izin untuk memusnahkan limbah medis.

Sejauh ini, Sinta menjelaskan, KLHK berupaya mengatasi kendala-kendala pengelolaan sampah tersebut di antaranya, dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 02 tahun 2020 pada tanggal 24 Maret 2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19).

Surat tersebut ditujukan kepada Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana/Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Gubernur di seluruh Indonesia, dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia.

Isi surat tersebut setidaknya memuat empat poin:

  • RS yang memiliki insinerator namun belum berizin, diperbolehkan melakukan pemusnahan limbah selama masa pandemi Covid-19 dengan suhu minimal 800o
  • Pemusnahan limbah Covid-19 juga dapat dilakukan di RS terdekat yang memiliki Insinerator.
  • Abu Insinerator dapat disimpan di TPS limbah B3 dengan memperhatikan kapasitas.
  • Memberikan izin kepada pabrik semen untuk memusnahkan limbah Covid-19.

“Pabrik semen dapat menyampaikan surat ke KLHK, dalam hal ini Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3, untuk meminta persetujuan pemusnahan limbah COVID-19,” kata Sinta.

KLHK sempat bekerja sama dengan pabrik semen untuk mengatasi masalah limbah ini. Dalam pandangan KLHK, kerja sama tersebut penting untuk menanggulangi limbah medis yang menumpuk dan harus segera diolah karena memiliki karakter infeksius. Dengan memusnahkan limbah medis menggunakan tanur milik pabrik semen, resiko penyebaran penyakit akibat limbah medis yang tidak terkelola bisa berkurang.

Sebelum pandemi Covid-19, data Kementerian Kesehatan pada Februari 2019 menunjukkan, volume limbah medis secara nasional per harinya mencapai 294,66 ton. Sedangkan, kapasitas pengolahan limbah medis perusahaan pengolah limbah hanya 187,90 ton per hari, sedangkan insinerator RS hanya mampu mengolah 53,12 ton per hari. Ada selisih sekitar 70,432 ton per hari.

Sumber: Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2019

 

Menurut Sekretaris Jenderal Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia atau Indonesian Environmental Scientist Association (IESA) Lina Tri Mugi Astuti ada empat jenis limbah medis, yaitu, limbah dari laboratorium, limbah farmasi, limbah patologi, dan limbah Alat Pelindung Diri.

Penelitian yang dilakukan IESA bekerja sama dengan Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) menunjukkan, terjadi peningkatan 46 persen dalam jumlah limbah medis dari sebelum pandemi hingga Mei 2020. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei kepada 133 RS di Indonesia dengan rincian, 72 RS rujukan Covid-19, dan 61 nonrujukan.

Sebelum Covid-19, Lina menjelaskan, rata-rata satu RS menghasilkan 135 kg per hari. Jumlah itu meningkat menjadi 198 kg per hari selama pandemi.

DKI Jakarta sendiri memiliki 190 unit RS pemerintah maupun swasta – tidak termasuk fasyankes primer (fasyankes khusus spesialis penyakit tertentu). Dengan demikian, Lina memprediksi timbulan limbah medis di Jakarta selama pandemi bertambah menjadi lebih dari 37 ton per hari, dari 25 ton per hari sebelum pandemi.

Berdasarkan riset yang sama, seorang pasien Covid-19 di Indonesia akan menghasilkan 6 kg limbah per hari. “Limbah medis B3 era Covid-19 itu termasuk barang-barang pasien dan sisa makanan pasien,” kata Lina. “Dikhawatirkan, itu menjadi sumber penularan.”

Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 KLHK Sinta Saptarina mengamini riset tersebut. Namun, Sinta menyampaikan, sampai saat ini data tersebut masih terus diperbarui.

Masalah dan penanganan limbah medis

Melalui surat edaran Direktur Jenderal PSLB3 Nomor S-194/PSLB3/PLB.2/4/2020 tanggal 20 April 2020 perihal Pelaksanaan Pengelolaan Limbah B3 Medis dari Kegiatan Penanganan Covid-19 kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi seluruh Indonesia, KLHK memerintahkan untuk terus memproses pelaporan dan pemutakhiran data timbulan (volume) dan pengelolaan limbah Covid-19 untuk tiap propinsi.

Berdasarkan Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SE.2/ MENLHK/ PSLB3/ PLB.3 /3 /2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penangangan Corona Virus Disease (Covid-19), limbah infeksius yang berasal dari fasyankes harus disimpan dalam kemasan tertutup paling lama dua hari sejak dihasilkan.

Kemudian, limbah tersebut diangkut atau dimusnahkan dengan insinerator mengunakan suhu pembakaran minimal 800 derajat celcius. Fasyankes juga bisa memusnahkan limbah tersebut dengan autoclave (alat pemanas yang menghasilkan uap bersuhu dan bertekanan tinggi) yang memiliki pencacah (shredder) jika memiliki teknologi tersebut.

Residu abu hasil pembakaran atau cacahan dari autoclave lalu dikemas dan ditandai dengan simbol beracun serta label ‘Limbah B3’. Selanjutnya, limbah tersebut diserahkan kepada perusahaan pengelola limbah medis (B3), atau RS yang memiliki insinerator sendiri. Sementara limbah medis rumah tangga dikelola di fasilitas pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).

Sumber: Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, 2020

 

Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso adalah salah satu RS yang memiliki insinerator sendiri. Data dari Tim Kesehatan Lingkungan RSPI, ada peningkatan jumlah limbah infeksius maupun jumlah residu abu sisa pembakaran limbah dari bulan ke bulan sejak November 2019 sampai Maret 2020.

Peningkatan drastis terjadi saat pandemi mulai merebak, yaitu Maret 2020.

Limbah APD dan medis yang dikategorikan sebagai limbah infeksius oleh RSPI meningkat hampir 50% kala itu, dari 2,7 ton pada Februari menjadi 4,5 ton pada Maret 2020. Sedangkan jumlah residu abu pembakaran limbah itu meningkat dari 387 kilogram pada Februari menjadi 585 kilogram pada Maret 2020. Pada saat itu, sampai 31 Maret 2020, RSPI merawat 95 pasien Covid-19.

Sumber-sumber limbah di RSPI adalah Ruang Laboratorium, Ruang Radiologi, Ruang Perawatan, Ruang Isolasi, Posko Pemantauan Covid-19, Instalasi Kesehatan Lingkungan, Instalasi Pemulasaraan Jenazah, Instalasi Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit, serta Ambulance.

Adapun jenis-jenisnya antara lain adalah masker, sarung tangan, gaun medis, penutup kepala, jarum suntik, kapas, botol kaca, kasa, dan sisa makanan pasien. Semua dikategorikan sebagai limbah infeksius.

Untuk limbah infeksius rumah tangga yang berasal dari Orang Dalam Pemantauan (ODP), Surat Edaran (SE) Menteri LHK mengarahkan agar Pemerintah Daerah mengumpulkan limbah infeksius seperti masker dan sarung tangan dengan menggunakan wadah tertutup. Kemudian, diangkut dan dimusnahkan pada pengolahan limbah B3.

DLH adalah pihak yang bertanggungjawab melakukan pengangkutan limbah infeksius dari rumah tangga. Kemudian, dinas menyerahkan limbah tersebut kepada pihak ketiga – dalam hal ini perusahaan pengolah limbah untuk dimusnahkan atau diangkut ke Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

DLH DKI Jakarta mencatat pada Juni 2020, ada 409 kilogram yang telah diangkut untuk dimusnakah di PLTSa Bantargebang. Kepala DLH DKI Jakarta Andono Warih mengatakan, peningkatan kesadaran masyarakat untuk memakai alat pelindung diri, seperti masker dan sarung tangan sekali pakai, telah menyebabkan peningkatan limbah bahan beracun berbahaya (B3) di ibukota.

“Sebelumnya, limbah jenis ini terkonsentrasi di fasilitas pelayanan kesehatan, namun sekarang sampah jenis ini juga banyak timbul dari rumah tangga,” kata dia.

Tanggungjawab siapa?

Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 KLHK Sinta Saptarina mengatakan, pada situasi darurat Covid-19 ini, pemerintah mengarahkan penanganan limbah medis agar menjadi tanggungjawab semua pihak, bukan hanya RS/fasyankes.

“Namun harus dipahami juga bahwa fasyankes harus lebih dahulu mengelola tuntas limbah Covid-19 di premis kerjanya,” kata dia. Artinya, fasyankes yang tidak memiliki insinerator perlu bekerja sama dengan pihak ketiga.

Data Direktorat Jenderal PSLB3 KLHK menunjukkan RS di Indonesia yang memiliki izin insinerator sejumlah 112. Sinta menambahkan, RS memang tidak diwajibkan untuk memiliki insinerator sendiri.

“Peraturan perundangan menyebutkan bahwa penghasil limbah B3 dapat menyerahkan upaya pemusnahannya kepada pihak lain yang memiliki izin pengelolaan limbah B3,” kata Sinta.

Menurutnya, inti dari tanggungjawab bersama penanganan limbah Covid-19 ini adalah untuk mencegah tumpukan, mencegah pembuangan ilegal, hingga pencegahan adanya pihak yang tidak bertanggungjawab yang menggunakan kembali limbah-limbah bahkan menjualnya.

KLHK berharap, Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota dapat berkontribusi melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk melakukan atau mendampingi kegiatan pengangkutan, pengumpulan hingga pemusnahannya. Termasuk juga pembiayaan, baik pada fasilitas pemusnahan yang ada pada fasyankes (RS Umum Daerah dan swasta) ataupun pada jasa pengelola limbah B3 terdekat

Menurut data Direktorat Jenderal PSLB3 KLHK, hingga Juni 2020 hanya ada 16 perusahaan pengolahan limbah medis di Indonesia yang memiliki izin. Satu perusahaan ada di Kepualaun Riau, dua di Banten, tujuh di Jawa Barat, dua di Jawa Tengah, satu di Jawa Timur, dua di Kalimantan Timur. dan satu di Sulawesi Selatan.

Edukasi dan teknologi

Untuk mengatasi masalah pengelolaan limbah, IESA memberikan sejumlah rekomendasi. Sekjen IESA Lina Tri Mugi Astuti menyarankan pemerintah membuat pengolah on-site di salah satu RS Rujukan Covid-19 di setiap provinsi yang mampu menampung limbah infeksius dari RS Rujukan Covid-19 lainnya selama pandemi.

“Waktu itu kita sarankan RS Wisma Atlet, Kemayoran. Itu kan masih cukup luas. Insinerator tersebut (yang bisa menampung limbah dari RS Rujukan Covid-19 lainnya) bisa ada di situ,” kata Lina. “Sambil membangun, sambil mengarahkan para pengolah limbah menerima dan meningkatkan kapasitasnya.”

Saran lainnya, RS yang memiliki insinerator dan punya kapasitas yang tidak dipergunakan, atau idle capacity, membantu RS lainnya. Lina mencontohkan, seandainya Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat memiliki idle capacity sebanyak 2 ton per hari, RS lain bisa memusnahkan limbah medisnya di sana dengan memanfaatkan sisa kapasitas tersebut.

“Untuk RS yang sudah memiliki insinerator dan memiliki idle capacity sebaiknya membantu RS lain mengolah limbahnya,” kata dia.

Sementara itu, pemerintah juga diminta aktif memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai limbah medis rumah tangga. Ini diperlukan karena agar masyarakat, khususnya Orang Dalam Pengawasan (ODP) dan Orang Tanpa Gejala (OTG), sadar bahaya limbah medis tersebut.

Berbeda dengan IESA, Peneliti di Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah mengatakan, penanganan limbah medis dengan menggunakan insinerator justru dapat menimbulkan masalah baru.

Sebab, Fajri menjelaskan, emisi berupa abu hasil pembakaran insinerator tersebut mengandung senyawa berbahaya yaitu dioksin. Senyawa dioksin dikenal sebagai senyawa paling beracun yang dapat menjadi pemicu kanker, kerusakan sistem imunitas, dan gangguan hormonal.

“Kegiatan pembakaran itu tentu akan membuang emisi partikel halus yang akan memberikan dampak signifikan terhadap kesehatan masyarakat,” kata Fajri. “Hubungannya dengan penyakit pernafasan dan jantung, serta kematian dini, itu sudah cukup jelas.”

Menurut Fajri, upaya penanganan limbah medis dengan insinerator adalah kebijakan yang berlebihan. Sebab, dalam studi yang dia baca, virus corona dapat musnah dengan dipanaskan di suhu 75 derajat celcius. Dengan demikian tidak membutuhkan pembakaran 800 derajat celcius menggunakan insinerator.

Fajri merekomendasikan, pemerintah cukup memperbanyak teknologi auto clave untuk menangani limbah medis dampak Covid-19 ini. “Teknologi yang bisa menghasilkan panas 75 sampai 100 derajat celcius sudah cukup untuk menangani limbah medis tersebut,” katanya.

“Jadi dampak lingkungannya bisa dicegah dan kepentingan untuk menangani limbah medis Covid-19 juga bisa terpenuhi.”

Sejalan dengan ICEL, WALHI pun tidak mendukung penanganan limbah medis dengan insinerator. Menurut Juru Kampanye WALHI Dwi Sawung abu insinerator berdampak pada warga sekitar. Pembuatan insinerator baru tentunya akan semakin memperluas dampak tersebut.

Senada dengan Fajri, Sawung pun merekomendasikan pemerintah untuk lebih meningkatkan pengadaan dan penggunaan teknologi auto clave atau pembuatan Tempat Pembuatan Akhir (TPA) baru. Limbah medis yang bisa didaur ulang, bisa digunakan kembali. Jika tidak bisa, diletakkan di TPA tersebut sambil menunggu teknologi baru yang bisa melakukan penguraian tersebut dengan baik dan ramah lingkungan.

“Sisanya di TPA, ditimbun,” kata Sawung. “Teknologi yang sekarang belum mampu untuk mengolahnya agar bisa terurai dengan baik. Kalau dibakar dengan insinerator, akan menyebabkan polutan udara.” Ekuatorial.

1 comment found. See comment
Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

1 comment

  1. Rumah sakit sebaiknya selalu memperhatikan pengelolaan limbah medis secara tepat supaya menghindari kejadian pencemaran lingkungan dan penularan penyakit infeksius. Sering ditemui kasus dimana limbah medis tidak dikelola secara baik dan dibuang begitu saja bersamaan dan tercampur dengan limbah non medis. Saya memiliki artikel terkait silakan kunjungi web berikut
    http://repository.unair.ac.id/70218/

Leave a comment