Sudah satu dekade lebih masyarakat Riau dikepung asap kebakaran hutan dan lahan. Mengapa bencana itu tak usai juga dan bagaimana keluar dari musibah tahunan itu?
SELASA (17/2) pagi menjelang siang, di sela-sela peringatan pencapaian produksi 11 miliar barel produksi minyak PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Minas, terdengar sedikit kasak-kusuk. Sejumlah tamu undangan dan wartawan dari Jakarta yang sedianya hadir pada acara itu ternyata tidak bisa mendaratkan kakinya di Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II. Bandara SSK II pagi itu diselimuti asap tebal sehingga jarak pandang di bandara itu mulai dari pukul 07.00 WIB menurun, berkisar 300-500 meter. Mengingat kondisi itu membahayakan, maka Bandara SSK pun ditutup.
Pagi itu, semua penerbangan menuju SSK II dialihkan. Ratusan penumpang yang berada di dalam pesawat Garuda Indonesia, Lion Air, Pelita Air, Riau Airlines, dan Air Asia diterbangkan ke sejumlah bandara di luar Riau, yakni Polinia Medan, Hang Nadim Batam, dan Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. Pesawat yang hendak terbang dari Bandara SSK II juga terpaksa ditunda, satu di antaranya Riau Airlines menuju Malaka.
Hari itu, ratusan penumpang pesawat harus mengalami kerugian moril dan materil. Semua rencana dan janji yang telah mereka atur sedemikian rupa terpaksa mengalami keterlambatan dan ada yang dibatalkan. Sejumlah maskapai penerbangan juga mengalami kerugian karena harus mengalihkan penerbangan dan ada pula yang membatalkan penerbangan hari itu.
Gara-gara asap tebal itu, tidak saja industri penerbangan yang mengalami kerugian, tetapi juga industri pelayaran, wisata, dan lainnya. Masyarakat juga harus mengalami kerugian menderita penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Dalam sepekan ini saja untuk Kota Pekanbaru berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru disebutkan ada 1.141 warga yang menderita ISPA.
Ini bukan kejadian pertama di Riau. Sudah satu dekade lebih kejadian ini berulang. Kisah masyarakat Riau terkepung asap sudah mulai ada pada tahun 1994. Namun kejadian terparah pertama pada 1997. Pada tahun itu, bahkan sekolah sempat diliburkan. Para ekspatriat dari PT CPI sempat diungsikan ke Singapura karena kondisi asap sudah berada pada bendera hitam pada pengukuran kualitas udara di tempat mereka yang berarti sangat berbahaya.
Ekspansi Sawit Instan
Di era 90-an untuk mendongkrak perekonomian Indonesia, Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan untuk mengembangan perkebunan sawit secara cepat dan dalam jangka waktu yang pendek. Itulah awal musibah asap, menurut Nabiel Makarim, mantan Menteri Lingkungan Hidup era Presiden Megawati.
“Awal Januari 1997, Presiden Soeharto menyadari perkembangan sawit secara instan itu telah membuat terjadinya kebakaran hutan dan lahan karena pembukaan lahan. Akhirnya dia mengeluarkan imbauan untuk melakukan penghentian pembakaran. Namun orang-orang sudah terlanjur merasa enak dengan pengembangan sawit dan membuka lahan dengan membakar. Himbauan itu tidak digubris,” ujar Nabiel, Jumat (20/2).
Ekspansi sawit itulah yang hingga kini belum juga berhenti. Pembakaran lahan bahkan hutan tetap terus dilakukan untuk mengembangkan tanaman monokultur itu. Bukan hanya perusahaan, masyarakat bahkan pemerintahan provinsi dan kabupaten juga terus melakukan ekspansi sawit dalam sejumlah programnya.
Pembukaan lahan secara besar-besaran itu membuat kondisi tanah menjadi kering. Apalagi untuk kawasan tanah gambut yang kalau sudah mengalami kekeringan gampang terbakar. “Jadi kebakaran sekarang ini bukan saja karena ulah manusia tetapi juga secara alami. Dua-duanya memberikan kontribusi,” ungkap Nabiel.
Ekspansi sawit sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan itu, dibenarkan oleh Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Rachman Sidik dan Kepala Daerah Operasional Siak BBKSDA Riau Ismail Hasibuan. Rachman menemukan lahan kebun K2I (kebun sawit program pemerintah provinsi Riau) yang terbakar. “Ini fotonya. Tangan saya sendiri yang menjepret kamera ke plank lahan kebun K2I yang belum ditanami itu,” ujar Rachman.
Sementara itu Ismail Hasibuan Februari ini menemukan kebakaran di Desa Dayun, Kecamatan Dayun tepatnya perbatasan lahan masyarakat dan kebun sawit program Pemerintah Daerah Kabupaten Siak.
“Membakar lahan untuk pembukaan lahan memang cara yang paling instans. Biayanya murah. Dianggap menyuburkan lahan. Diawal-awal memang iya, namun seterusnya malah tandus,” ujar Rachman.
Sekali Terbakar jadi Langganan
Persoalan ekspansi sawit di Riau diperparah dengan sebagian besar lahan di Riau adalah lahan gambut. “Kalau gambut ini sudah terbakar, maka akan menjadi langganan,” ungkap Ismail Hasibuan. Pria berusia 39 tahun ini, telah lama bergabung dalam tim Manggala Agni, yakni tim pemadaman kebakaran hutan milik Departemen Kehutanan.
Prihal menjadi langganan itu dikarenakan sifat gambut irreversible (tak bisa kembali). Pada dasarnya lahan gambut, menurut Haris Gunawan, dosen biologi FMIPA Universitas Riau merupakan kawasan yang memiliki sifat seperti spon. Mampu menyerap air dengan perbandingan sekitar satu banding delapan. Artinya satu kubik gambut bisa menyerap air delapan kubik. Namun, saat gambut telah kering, maka sifat menyerap airnya tidak ada lagi. Maka kawasan gambut yang telah kering, maka akan kering selamanya. Itulah sebabnya kawasan gambut yang sudah terbakar, akan membuat kawasan di sekelilingnya yang telah kering ikut terbakar pada kebakaran berikutnya.
“Kalau ada informasi kebakaran, biasanya kami sering bilang, oh… tempat langganan yang biasa,” ungkap Ismail, awal pekan ini, usai melakukan pemadaman di Mempura, KM 3 dekat arah Pelabuhan Buton.
Berurusan dengan kebakaran di kawasan gambut menurut Ismail Hasibuan bukan perkara mudah. Pasalnya kawasan itu kerap kali apinya menjalar di bawah. “Apinya makan bawah,” ungkap Ismail mengistilahkan kebakaran yang terjadi di kawasan gambut.
Tentang kebakaran makan bawah itu, juga dikemukakan oleh General Manager Public Affair PT IKPP dan PT Arara Abadi Nazaruddin. Menurutnya seringkali kebakaran dari luar areal konsensi mereka merembet dari dalam tanah hingga sampai ke areal mereka. Pernah suatu kali, katanya, regu pemadaman kebakaran dari PT Arara Abadi dibuat lari ketakutan. Pasalnya api menjalar dari dalam tanah, melewati kanal yang mereka bangun.
“Kalau fenomena api meloncat di atas melewati kanal sudah biasa terjadi. Namun ini apinya menjalar di bawah melewati kanal. Dan yang lebih mengerikan lagi, air di kanal itu seperti mendidih. Jadi bisa dibayangkan berapa hebatnya kebakaran di dalam tanah tersebut. Melihat itu anggota langsung kabur,” ungkap Nazaruddin.
Begitulah fenomena kebakaran di kawasan gambut, parahnya sebagian besar kawasan Riau adalah kawasan gambut. Selain harus menghadapi api makan bawah, Ismail menyebutkan bahwa mereka kerap kesulitan menemukan sumber air di kawasan gambut yang telah terbakar itu karena kering. Selain itu banyak akses yang sangat sulit dijangkau karena jauh dari kendaraan mereka.
Kalau sudah begitu, menurut Rachman Siddik, satu-satunya cara memadamkan adalah dengan cara menyiram dengan helikopter. Biaya yang dikeluarkan untuk penyiraman itu boleh dibilang tidak sedikit. Pasalnya untuk satu jam biaya penyewaan helikopter dengan kaapasitas tangki lima ribu liter diperlukan biaya perjamnya 2.000 Dollar Amerika (sekitar Rp22 juta).
Asap, Kekeringan, dan Banjir
Bencana asap, kekeringan dan banjir adalah setali tiga uang. Artinya ketiga bencana itu seperti rangkaian bencana yang susul menyusul. Fenomena itu disebabkan lagi-lagi karena kawasan Riau umumnya gambut.
Pada kawasan gambut, ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan maka terjadi kebakaran di dalam tanah. Itulah yang menyebabkan kebakaran sering hanya terlihat asapnya. “Kalau kebakarannya baru-baru apinya memang kelihatan. Karena yang terbakar lapisan gambut bagian atas. Tetapi kalau sudah bakar bawah, maka yang muncul hanya asap,” ungkap Ismail Hasibuan.
Ketika bencana asap sudah usai, karena hujan yang terus menerus terjadi, maka yang terjadi kemudian adalah bencana banjir. Pasalnya bila semula kawasan gambut memiliki kemampuan untuk menyerap air delapan kali lipat dari beratnya, kini yang terjadi kawasam gambut tidak memiliki kapasitas untuk menyerap air sama sekali. “Inilah yang kemudian membuat Riau menjadi makin rentan dengan bencana banjir,” ungkap Haris.
Jika musim banjir sudah usai, maka musibah berikutnya adalah kekeringan. Pasalnya air hujan yang sedianya mengendap di dalam tubuh gambut tadi, tidak tertampung sama sekali. Bahkan parahnya, air yang terdapat di kawasan gambut yang seharusnya mengalir ke anak-anak sungai dan sungai juga tidak ada lagi. Maka sungai-sungai pun menjadi kering. Itulah, tambah Haris, yang membuat fenomena debit air sungai antara musim kemarau dan musim hujan jauh sekali. Keseimbangan benar-benar terganggu.
Bencana asap, kekeringan, dan banjir disempurnakan lagi, tambah Haris dengan adanya pemanasan global yang menyebabkan suhu meningkat. “Kawasan gambut yang terbakar melepaskan emisi karbon, salah satu gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Dengan suhu yang meningkat maka kebakaran hutan dan lahan makin mudah terjadi,” papar Haris.
Jadi dibalik bencana asap, ada serangkaian bencana lagi yang akan menimpah Riau. Dari hari ke hari, bila tidak segera dicegah kondisi bencana itu kian lama akan kian parah. Rachman Sidik dan Ismail Husin mengungkapkan tidak ada cara yang paling efektif menghentikan kebakaran hutan dan lahan, kecuali dengan melakukan penghentian pembukaan lahan dengan cara membakar. Menurut mereka itulah awal dari segala bencana kebakaran dan asap tersebut.
Manajemen Gambut
Masnellyarti Hilman, Deputi III Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), beberapa waktu lalu, mengungkapkan bahwa untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di Riau harus dilakukan manajemen gambut. Pasalnya kawasan gambut Riau seluas 4,044 juta hektar itu saat ini hanya 38 persen yang belum tereksploitasi.
“Riau bisa meniru Kalteng (Kalimantan Tengah) dalam manajemen gambut. Mereka membangun kanal blocking agar kawasan gambut tidak kering. Masing-masing kabupaten/ kota juga menganggarkan uang Rp1 miliar untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan. Dengan dana itu juga digunakan bagi masyarakat untuk membuka lahan tanpa bakar,” ujar Masnellyarti yang biasa disapa dengan Nelly.
Selain itu, Canecio Munoz, executive director for environment at Sinar Mas Forestry menyebutkan juga penting sekali untuk menertibkan penduduk terutama para imigran. Menurut pria asal Philipina yang sudah bertugas di Riau pada era 90-an ini, hampir semua pelaku pembukaan lahan di Riau adalah para imigran. “Sekitar 70 persen adalah imigran, sementara penduduk asli sedikit sekali,” ujarnya.
Terkait dengan rentannya kebakaran di daerah kawasan gambut, Munoz, memastikan bahwa solusinya harus diikuti dengan mengharamkan pembakaran pada pembukaan lahan. Jika pembakaran untuk membuka lahan tidak dihentikan ditambah tidak ada manajemen gambut, dipastikan dekade-dekade selanjutnya Riau masih terkepung asap.***
(Andi Noviriyanti, diterbitkan di Riau Pos, 22 Februari 2009)