Penambangan ilegal merupakan salah satu sumber utama pencemaran dan erosi pada Sungai Limun yang mengancam kesehatan warga desa sekitarnya. Dari Uji labor yang dilakukan di 13 titik, enam titik tercatat melebihi standar World Health Organization (WHO) yang menetapkan batas kandungan merkuri dalam air.

Liputan ini pertama kali diterbitkan di Mongabay Indonesia pada tanggal 30 Maret 2019.

Oleh Teguh Suprayitno

Malam itu, Dusun Mengkadai, Desa Temenggung, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, Jambi, sedang terguyur hujan, sudah dua hari dua malam. Lubang-lubang bekas galian dompeng menganga penuh air mirip kolam-kolam tak terurus, berlumut, ditumbuhi lalang.

Di seberang Bukit Batu Gajah, perbatasan Rantau Alai, dengan Desa Ranggo, orang-orang nebeng–numpang cari emas di lokasi dompeng–masih sibuk mendulang emas dalam lubang tambang ilegal itu. Tak jauh dari mereka, satu eksavator sibuk membenamkan sekop mengeruk tanah dan menumpuk di bagian lain.

Gerimis masih turun Senin, malam tengah Januari itu. Sebagian air hujan masuk ke rongga-rongga tanah yang menggunung, hingga rapuh, rawan runtuh.

Baca juga: Lima Tahun Pasca Tragedi Penertiban Tambang Emas Limun (Bagian 1)

Di tengah kesibukan orang-orang nebeng mendulang emas, seorang warga nebeng, Tausy, terlihat masuk ke bansean (terowongan) dengan penerangan lampu santer terikat di kepala.

Tangan bergegas mengeruk tanah berbatu mengumpulkan dalam ember. Indra, rekannya, hanya berjarak beberapa meter di belakang Tausy. Keduanya, tak sadar gerimis berkepanjangan merongrong tumpukan tanah di atasnya.

Gunungan tanah itu tiba-tiba retak. Orang-orang nebeng yang sadar berteriak, berulang-ulang mereka memanggil Tausy, agar cepat keluar. Dia tak mendengar teriakan. “Bruukk.” Tanah runtuh, mengubur dia hidup-hidup.

Dalam kepanikan orang-orang nebeng, sang operator segera mengarahkan sekop eksavator mengeruk tumpukan tanah runtuh. Indra, berhasil diseret keluar. Satu jam eksavator menggali tanah berusaha menyelamatkan Tausy.

Sisi lain, orang-orang nebeng berebut mengeruk tanah, berjibaku menyelamatkan pemuda 18 tahun itu.

“Hujan itu rawan. Banyak yang mati tertimbun,” kata Dikin, pemuda Ranggo.

Kematian Tausy, bukan yang pertama. Aluang, warga Pelawan, juga tewas terkubur galian tambang emas. Akhir Maret 2013, Fatimah juga kehilangan suaminya, Samsul Bahri. Dua hari Samsul, belum pulang sejak pergi nebeng di Desa Manggis, Batang Asai.

Pas tigo malam, orang balek langsung bawa mayat. Baru duo malam dio (Samsul) berangkat. Malam ketigo mayatnya dibawa balek,” kata Fatimah.

Dikin bilang, ada sekitar 10-an orang di Limun, mati tertimbun galian tembang emas. “Tapi dak ado diberitain.”

Komunitas Konservasi Indonesia Warsi mencatat, sepanjang tujuh tahun terakhir, sekitar 78 orang meninggal gara-gara tambang emas ilegal di Jambi. Data itu dikumpulkan dari berita media massa. “Ini seperti fenomena gunung es, sebenarnya banyak kasus tak diketahui,” kata Rudi Syaf, Direktur KKI Warsi.

Orang-orang di Limun, tahu betul kematian begitu dekat saat mereka dalam galian tambang. Desakan ekonomi dan kilau emas membuat mereka seperti terbius ikut nebeng atau jadi kuli dompeng.

 

Dompeng air yang ditengarai menjadi penyebab air sungai tercemar merkuri. Foto: Teguh Suprayitno

 

Fatimah menjanda, setelah sang suami meninggal di lubang tambang. Dia harus banting tulang menghidupi dua anak yang kini duduk di bangku SMA sejak si sulung kelas 6 SD. Perempuan 40 tahun itu sempat pontang-panting cari kerja sejak kematian Samsul.

Setahun kerja jadi tukang masak kuli dompeng, akhirnya berhenti. Sekarang, Fatimah jadi buruh di perkebunan sawit milik PT Sinar Agung Persada Mas, sehari dibayar Rp 64.000. Dia kerja sejak pukul 06.00 hingga 12.00. Kadang dia nebas kebun atau bersihkan rumput.

Aturan di perusahaan membuat Fatimah, tak bisa bekerja setiap hari. Rata-rata sebulan hanya dua minggu, paling banter 20 hari.

“Kadang makan sebulan bae gantung (kurang),” katanya.

Di Limun, mulai senja, Fatimah duduk di pinggiran pintu di temani dua anaknya.

Fatimah bilang sering utang di koperasi perusahaan untuk memenuhi keperluan anak-anaknya. Dia bertekad menyekolahkan kedua anaknya hingga lulus SMA.

Nak (mau) dibilang berat dak jugo, kalau dibilang ringan dimano ngambiknyo ringan, sebab kito sendiri yang kerjo. Kalau kito dak kerjo yo dak makan anak-anak ini. Sekolah. Mau tak maulah kerjo, dapat dikit-dikit untuk makan, jadilah.”

Anak-anak banyak nebeng, salah satu Sugeng. Sejak lulus SD, Sugeng, tak lagi sekolah. Setiap sore pergi nebeng untuk menyambung hidup. Sang ibu, Rohaya, janda kerja pengumpul brondolan sawit milik PT Sinar Agung Persada Mas. Hasilnya, cukup buat makan berdua anaknya, Sugeng.

Saya ketemu Sugeng, di ujung Pulau Pandan. Sudah tiga jam dia berendam dalam lubang tambang, tangan terlihat berkerut membiru. Sejak bapaknya meninggal dua tahun lewat, bocah itu banyak menghabiskan waktu mengais sisa-sisa emas di lubang tambang.

“Bapak sudah meninggal, buat apa sekolah? Pengen bantu mamak aja, kasian!”

 

Sugeng harus kerja nebeng untuk membantu ibunya yang kini janda. Foto: Teguh Suprayitno

 

Tambang emas ilegal

Operasi penertiban tambang emas ilegal di Limun, pada 1 Oktober 2013, berujung tragedi berdarah. Terjadi bentrok warga dan aparat yang patroli di Limun, menyebabkan, tiga orang tewas,–dua warga dan satu aparat polisi. Lima tahun pasca kejadian berdarah di Mengkadai itu, nyaris tak ada yang berubah di Limun. Penambangan emas ilegal terus jalan dan menyeret banyak pelaku. Warga banyak bekerja jadi kuli, tukang nebeng dan pemasok bahan bakar minyak (BBM).

Dari Pulau Pandan, saya mengunjungi daerah mudik di Limun. Sepanjang jalan suara mesin dompeng terdengar sayup sesekali mengeras, meraung-raung di belantara kebun, ladang, sungai, mengorek emas dari galian tanah.

Teman saya di Pulau Pandan, bilang, mesin dompeng sekarang sudah jarang, meski suara masih kerap terdengar. Sejak 2014, penambangan emas di Limun, mulai pakai alat berat.

Satu kilometer dari jembatan Inum, di pinggir jalan Dusun Mengkadai, sebuah eksavator terlihat perkasa merobohkan ratusan pohon karet. Hanya hitungan jam kebun satu hektaran itu rata dengan tanah.

Sekop eksavator itu mengeruk tanah dalam lubang berair dan menumpahkan di bok kayu. Sebuah pipa plastik seukuran betis terikat pada balok kayu. Lubang-lubang kecil terus menyemprotkan air menghancurkan tanah hingga jadi lumpur encer mirip susu. Mengalir dari atas bok turun melewati karpet-karpet dan keset serabut kelapa yang disusun sepanjang kira enam meter.

Saya lihat, beberapa orang mengawasi aliran air agar tak keluar dari bok. Ini adalah pola penambangan yang banyak digunakan di Limun, kini, orang menyebutnya “bok”.

Emas nanti menempel di karpet. Kala mencuci emas baru pakai merkuri. Ia diaduk dalam ember.

Di dalam lubang bekas galian, beberapa orang nebeng berendam dalam kubangan air, tangan sibuk mengeruk tanah dengan batok kelapa, lalu menyaring emas dengan dulang.

Kami menghampiri seorang lelaki dengan dada telanjang, berkulit hitam sedang duduk di pinggir lubang tambang. Dia mengaku kerabat pemilik kebun karet.

Beberapa warga yang saya temui bilang, sejak tiga orang tewas di Mengkadai, lima tahun silam situasi di Limun, lebih aman. Tak ada lagi operasi tambang ilegal. Para bos tetap perlu beking.

Sekitar 100 meter dari tempat kami duduk, seorang pria seumuran 40-an tahun mengenakan celana loreng keliling lubang tambang. Dia lalu berjalan menuju eksavator yang menumpahkan tanah ke atas bok.

“Itu untuk pengamanan bae,” kata seorang lelaki.

Tak jauh dari lubang galian tambang, ada tenda terpal biru. Di dalamnya, perempuan berjilbab merah muda, tampak sedang menimbang emas dengan pemberat beberapa butir beras. Setiap dua butir beras punya hitungan satu seting—satuan berat yang umum digunakan warga Limun untuk menimbang emas. Satu seting emas dihargai Rp19.000.

Melihat beras-beras berebut tempat dalam timbangan, Lusi, seorang perempuan nebeng, tampak pucat kedinginan walau tersenyum sumringah. Ini isyarat dia dapat banyak uang.

Hari ini, Lusi, beruntung dapat 10 seting. Perempuan berjilbab merah muda itu kemudian memberi dia selembar uang pecahan Rp100.000, satu Rp50.000, dan dua lembar pecahan Rp20.000.

Emas hasil tambang ilegal di Limun, banyak dijual ke Padang, Sumatera Barat. Pedagang emas besar di Padang, banyak yang tanam modal pada pengepul kampung agar bisa terus memasok emas setiap dua hari. Satu gram emas dihargai sama dengan emas PT Aneka Tambang, badan usaha milik negara.

“Setiap hari kami online terus mantau harga. Jual beli emas ini perputarannya cepat, kalau ngak pinter-pinter bisa bangkrut.”

 

BBM dalam jerigen siap diangkut ke lokasi pertambangan emas ilegal. Foto: Teguh Suprayitno

 

Di lokasi bekas tambang, mulai dari Muara Limun, Pulau Pandan, Temenggung, Monti, Muara Mensao, Ranggo, hingga Demang, sepanjang perjalanan, banyak kubangan-kubangan bekas dompeng. Menganga. Bukit-bukit gundul, sungai-sungai dangkal penuh batu.

Di beberapa tempat, eksavator terlihat bebas merobohkan kebun karet, sebagian mulai mengaduk tanah, mencari serpihan emas. Orang banyak lalu-lalang membawa pipa empat inch untuk mesin dompeng. Sesekali penjual minyak lewat menuju lokasi tambang membawa sembilan jerigen berisi solar ditumpuk di motor.

Di jalan berbeda, beberapa perempuan berjalan beriringan membawa dulang, kalung botol bekas minyak kayu putih menggelantung di dada, menunjukkan merekalah tukang nebeng. Ini pemandangan sehari-hari di Limun.

Penambangan emas dengan bok perlu modal besar. Informasi dari seorang pemodal, biaya sewa alat berat Rp120-Rp150 juta sebulan, ditambah Rp100 juta untuk solar. Belum termasuk beli lokasi. Pemilik tanah kebanyakan minta bagi hasil. Pembagiannya, pemilik tanah 10%, pekerja 12%, sisanya pemilik modal. Hasil penjualan emas dibagi setelah potong biaya sewa eksavator, solar dan gaji operator satu jam Rp35.000.

Hasil emas biasa per hari 30 gram, sebulan pendapatan bersih bisa Rp100-Rp150 juta.

Periode 2014-2015, tambang emas di Limun, sedang bagus. Banyak warga di Ranggo, bangun rumah, beli mobil, umroh, haji, sebagian ada yang buat kontrakan di ibukota kabupaten.

 

Tak hanya di Kecamatan Limun, lokasi tambang ilegal di Sarolangun, juga ada di Kecamatan Cermin Nan Gedang, Kecamatan Batang Asai dan Kecamatan Bathin VIII.

Para pemain tambang emas ilegal Sarolangun, ada di berbagai lini, dengan peran masing-masing, dari level desa, kabupaten, sampai aparat dan lain-lain. Ada jadi pemodal, bisnis BBM, pemilik alat berat, sampai jadi beking.

Selama di Limun, orang-orang yang saya temui mengakui ada setoran atau pungutan. Seorang pemilik dompeng di Temenggung, bilang,  sejak tahun 2000-an, pemilik dompeng di Limun, dimintai sekitar Rp300.000-Rp500.000 setiap bulan.

Operasi penertiban tambang emas ilegal pun disebut-sebut sempat tak berhasil karena diduga rencana sudah bocor. Agus Saleh, Kabag Ops. Kompol, sudah berkali-kali ikut operasi penertiban tambang emas ilegal di Sarolangun. Agus bilang, setiap operasi Polres Sarolangun, sesuai rencana operasi dan perhitungan matang.

“Misal, satu perahu muatan enam orang, berarti kita harus dari arah mana supaya dia tertangkap, itu kita pikirkan beberapa kali, kita petakan di sana itu, bukan ujuk-ujuk operasi.”

Akhir 2017, operasi gabungan Polres Sarolangun bersama Kodim 0420/Sarko dan Pemkab Sarolangun di aliran Sungai Bathin VIII, tak berhasil menangkap pelaku. Empat kapal dompeng ditinggal pemilik kemudian dibakar.

“Waktu kita datang, mereka lari duluan. Langsung nyebur ke sungai, kita terlambat karena kondisi semak,” kata seorang polisi.

Awal 2018, dua penambang emas tanpa izin di Lembah Salembu, diamankan. Polisi juga mengamankan seorang penjual solar.

AKP Pujiarso, kala jadi Kapolsek Limun, pernah amankan 80 ton solar dari para pengangkut untuk eksavator dan mesin dompeng.

AKBP Dadan Waira Laksana, Kapolres Sarolangun, mengatakan, tak ada aparat Polres Sarolangun terlibat dalam bisnis tambang ilegal. Kini, katanya, kepolisian berkomitmen kuat tangani.

“Kalau kamu mau ngecek, liat nama saya ada ngak di sana? Kami sudah komitmen, sudah saya sampaikan ke kapolsek…Kami komitmen tak main-main dalam hal itu,” katanya.

Namun, dia benarkan, ada anggota Polres disidang terkait tambang emas ilegal bahkan seorang polisi kena sanksi disiplin. Dadan tak mau menyebut identitas anggota itu.

Letkol Kav Rohyat, Dandim 0420/Sarko bilang, belum pernah menerima laporan ada anggota TNI terlibat tambang emas ilegal. “Kalau ada informasi, silakan masyarakat melapor, pasti akan kami telusuri, jika terbukti akan kami tindak.”

 

Alat berat bekerja mengeruk tanah untuk mencari kandungan emas di Limun. Foto: Teguh Suprayitno

 

Penanganan

Hillalatil Bandri, Wakil Bupati Sarolangun mengatakan, kegiatan ilegal dan merusak lingkungan harus ditindak. Tahun ini, Pemkab Sarolangun, kembali menganggarkan Rp300 juta lewat Kesbangpol untuk sosialisasi penutupan tambang emas ilegal.

Dia meminta, kepala desa di Sarolangun, mencontoh, Lubuk Bedorong, yang menolak tambang ilegal masuk ke desa mereka. “Jika ada kades bermain, kita akan tindak,” katanya, menanggapi kemungkinan ada kades terlibat tambang ilegal.

Januari 2018, Camat Dahlan menggelar, pertemuan dengan Polsek Limun, Koramil, dan seluruh kades di Kantor Camat Limun. Pertemuan itu tindak lanjut dari seminar “PETI dan Upaya Solusinya,” yang digelar Polres Sarolangun akhir 2017.

Kepala desa di Limun, sepakat menutup tambang emas ilegal., mereka minta waktu enam bulan untuk sosialisasi pada warga. Putusan tak jalan.

“Sekarang ini, tidak perlu ditutup, sudah tutup dewek. Lokasi itu sudah nak habis,” kata Husni Tamrin, Kades Ranggo, saya temui awal Januari 2019. Husni tak pernah mengimbau warga tutup tambang emas.

Sejak tambang emas di Limun, marak, ekonomi warga Pulau Pandan, meningkat. “Kalau sekarang morat-marit, karet turun, sawit turun, lokasi (tambang emas) tak ada lagi, banyak lahan sudah dijual ke perusahaan, ditanami sawit,” kata Jon Jasmen, Kades Pulau Pandan.

Hamid, mantan Kades Ranggo, bilang, sudah setahun berhenti menambang. Pemilu 2019, dia mencalonkan diri sebagai caleg DPRD Sarolangun dari Partai PKS. Kalau terpilih, dia ingin lokasi bekas dompeng direklamasi dan tanam sawit atau tebu, sebagai sumber penghasilan warga pasca tambang. Bila perlu, dia menggandeng perusahaan sebagai mitra.

Iptu Purwanto, Kapolsek Limun, dikenal sebagai penceramah agama. Dia kerap mengisi ceramah di mesjid maupun rumah warga. Purwanto tahu, di Limun, banyak bergantung tambang emas, dia tak mau gegabah menangkap.

Dia bilang, sering mengingatkan bahaya tambang emas ilegal kepada warga. “Orang di Limun, ini karakter beda, Polsek yang tidak tahu menahu dibakar,” katanya.

“Razia, terus kito mati di lapangan untuk apo? Mati naik pangkat AKP Anumerta Kapolsek Limun. Ini urusan perut. Itulah sebabnya kita pakai hati nurani,” katanya.

Hampir setiap Jumat, Purwanto, selalu keliling mesjid ceramah. Dia menunjukkan sebuah buku bersampul dominan merah berjudul Dai Kamtibmas, dengan kata pengantar ditulis Kapolri, Jendral Tito Karnavian. Agama, katanya, mengajarkan umat mencintai alam semesta.

“Boleh kita mengambil hasil bumi, jangan merusak. Kalau tidak dirusak sungai kita ini seperti taman surga.”

 

Kebun karet yang saat ini sudah jadi tambang emas. Foto: Teguh Suprayitno

 

Rusli Efendi, Sekretaris Camat Limun, mengatakan, kendala penutupan tambang emas ilegal di Limun, karena itu mata pencaharian warga. Sekitar 80% warga Limun menambang emas. “Kalau ada solusi lain, mungkin masyarakat bisa memahami.”

Usulan wilayah tambang rakyat (WPR) dan izin usaha penambangan rakyat (IUPR) untuk melegalkan penambangan liar di Limun, tak kunjung ada kejelasan. Dalam pemberitaan media menyebutkan, Bupati Sarolangun Cek Endra, telah menemui Presiden Joko Widodo, meminta usulan WPR disetujui.

Cek Endra, yang saya temui bilang, tak tahu perkembangan usulan WPR sekitar 2015 itu. “Kita monitor di Jambi, tak ada DPRD provinsi membahas mengenai perda izin tambang rakyat.”

WPR dan IUPR, katanya, solusi mengatasi pertambangan emas ilegal di Sarolangun. “Ini harus diorong, karena di Jambi, banyak potensi tambang bukan hanya emas, juga minyak, banyak illegal drilling sekarang.”

Pemerintah Jambi, katanya, harus mengambil inisiatif membuat aturan agar warga tak menambang liar.

 

Daya rusak

Penambangan emas di Limun, begitu terbuka. Kini, banyak gunakan alat berat yang begitu cepat menghabiskan lahan. Satu hektar lahan hanya perlu sebulan.

Asnawi, Kepala Dinas Perikanan dan Peternakan Sarolangun, mencatat, ada 40 lubuk larangan di Sarolangun, tersebar di Batang Asai, Limun, Bathin VIII, separuhnya terancam rusak. “Di Pekan Gedang ilir, itu tercemar semua,” katanya.

Kehidupan biota sungai di Limun, terancam karena air sungai keruh. “Kita pernah nangkap ikan di Sungai Batang Limun, insangnya penuh lumpur.”

Asnawi menyebut, sungai di Limun, sudah sakit, termasuk ikan di dalamnya. “Dari 1.000 telur menetas, 30% mati.”

Kerusakan sungai tak sebatas erosi, tetapi limbah merkuri dari aktivitas tambang emas di sungai menjadi ancaman serius. Masyarakat sekitar sungai, paling menderita. Logam berbahaya menyebar ke aliran sungai hingga bagian dasar, dan meracuni.

 

Warga Limun mencari emas dengan dulang di Sungai Limun. Foto: Teguh Suprayitno

 

Hasil uji labor Mongabay pada 13 titik sepanjang aliran Sungai Limun, menunjukkan, enam titik tercatat melebihi standar World Healt Organization (WHO) yang menetapkan batas kandungan merkuri dalam air 0.0001 ppm.

Pada 17 Juli 2017, Dinas Lingkungan Hidup Sarolangun, melayangkan surat edaran bernomor 666/235/DLH/2017, pada Camat Limun, Camat Batang Asai dan Camat Cerminan Gedang.

Surat edaran ini berisi imbauan agar masyarakat di tiga kecamatan itu tidak lagi minum, mandi dan mencuci pakai air Sungai Batang Limun dan Batang Asai.

Hasil uji laboratorium merkuri Dinas Lingkungan Hidup di Jambi menunjukkan, muka air sungai di Batang Asai Hulu dan Hilir, mengandung merkuri 0,003 Mg, dan Sungai Batang Limun Hulu 0,005 Mg, Sungai Batang Limun Hilir 0,004 Mg.

Anggka ini melebihi standar baku butu Gubernur Jambi pada 2007, sebesar 0,002 Mg per liter dan peraturan pemerintah No.82/2001 tentang batas baku mutu merkuri dalam air sungai kurang dari 0,001 ppm.

Dokter Sukmal Fahri, akademisi Kesehatan Lingkungan Stikes HI Jambi menjelaskan, kandungan merkuri di permukaan air bisa berpindah karena terbawa arus air. Yang perlu diwaspadai, katanya. kandungan merkuri pada sedimen sungai.

“Jika di air permukaan mengandung merkuri, di sedimen mungkin mengandung lebih banyak merkuri, karena yang di permukaan air ini hanya bagin kecil yang terlarut saja,” katanya.

Logam berat merkuri akan terus terakumulasi di dasar sungai dan tak bisa hilang. “Tapi kalau berkurang bisa, karena dimakan ikan,” katanya.

Kala ikan terkontaminasi merkuri lalu dikonsumsi, risiko pada manusia lewat rantai makanan makin terbuka. Merkuri sangat buruk bagi kesehatan.

“Dampaknya penurunan IQ hingga kecacatan, karena merkuri itu menyerang sistem saraf.”

Analisis Citra Lansat TM 8 tahun 2017 oleh unit GIS Warsi, menemukan, kerusakan hebat di sepanjang alur sungai, sawah, kebun, hutan, hutan adat hingga taman nasional, sekitar 27.822 hektar. Kerusakan paling terjadi di Sarolangun, 13.762 hektar, Merangin 9.966 hektar dan Bungo, 4.094 haktar.

Rudi Syaf, Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi mengatakan, kerusakan lahan dampak penambangan emas ilegal naik 100% pada 2017. Pada 2016, areal rusak 10.926 hektar, 6.370 hektar di Sarolangun dan 4.556 hektar di Merangin. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah hingga 2019.

Di Sarolangun, kerusakan lahan terparah karena tambang emas di Kecamatan Limun, Batang Asai, Cermin Nan Gedang dan Bathin VIII. Di Kabupaten Merangin, kerusakan di delapan wilayah, yakni, Tabir Barat, Pangkalan Jambu, Sungai Manau, Tabir Hulu, Tabir Lintang, Margo Tabir, Tabir dan Tabir Ilir.

Di Limun, ada 16 desa, hampir semua rusak karena tambang emas ilegal. Kerusakan hebat terjadi di Desa Ranggo, Muara Mensao, dan Moenti.

“Dari analisis, pengerukan tambang ilegal sudah masuk ke dalam lindung Bukit Limau di Sarolangun,” kata Rudi.

Muksin dari Desa Lubuk Bedorong, was-was. Lahan tambang emas ilegal di Limun, mulai habis, tinggal hutan yang belum terjarah. Dia khawatir, hutan Desa Lubuk Bedorong akan jadi ‘korban’ penambangan emas ilegal. Awal 2017, eksavator milik penambang emas masuk, namun berhasil ditangkap warga dan dibakar.

“Sekitar 10 hektar hutan rusak. Dulu kabarnya ada enam eksavator masuk.”

Mereka punya hutan desa seluas 3.303 hektar dengan penetapan Kementerian Lingkungan Hidup melalui Keputusan Nomor: SK.660 tertanggal 23 Februari 2017. Hutan itu akan jadi warisan bagi anak cucu warga Lubuk Bedorong. Kalau hutan hancur, warisan mereka juga sirna.

“Pantauan kami, apabila sungai tak keruh di hulu, di muara ilir tetap aman.”

Hutan Lubuk Bedorong, banyak memberi manfaat bagi warga. Di dalam banyak rotan, jernang, bambu yang selama ini jadi sumber ekonomi warga.

“Kalau dibiarkan akan hancur, anak-anak ke depan akan lebih sulit, tidak ada yang diwariskan,” kata Muksin.

Misriadi, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Limau Unit VII Hulu mengatakan, hampir semua wilayah hutan di hulu Sarolangun terancam tambang emas ilegal. Banyak desa sudah hancur.

Dia contohkan, Dusun Manggis di Desa Napal Melintang, Limun. Dusun dalam kawasan hutan lindung itu hancur oleh tambang.

“Lahan usaha tani mereka sudah porak-poranda, sawah sudah tidak ada lagi, lubuk larangan juga hancur.”

Dia menilai, tambang emas ilegal di Jambi, terutama Sarolangun, perlu penanganan serius. “Jangan sampai desa-desa di Sarolangun, hancur seperti Dusun Manggis.”

 

Laporan ini didanai dari dana hibah dari Internews’ Earth Journalism Network dan Southeast Asian Press Alliance (SEAPA).

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.