Posted in

KESEPAKATAN GLOBAL REDD+ DIRAGUKAN TERWUJUD DI CANCUN

thumbnailJakarta – Pembahasan mengenai pengurangan emisi melalui deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emission from forest Deforestation and Degradation/REDD+) diragukan mencapai kata sepakat dalam Konferensi Para Pihak mengenai Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke-16 di Cancun, Meksiko. Hal ini karena masih terdapat perbedaan pendapat di antara negara-negara peserta yang akan terlibat dalam konferensi tersebut.

“Jika mengamati perkembangan terakhir dari perundingan perubahan iklim PBB di Tianjin, Cina pada bulan Oktober yang lalu, maka masih ada keraguan akan tercapainya kesepakatan yang bulat mengenai REDD+ di Cancun. Saat di Tianjin, ada beberapa hal yang menghambat kemajuan pembahasan REDD+, sehingga dapat dikatakan mengalami sedikit kemunduran,” ungkap anggota Delegasi RI (Delri) dari World Wild Fund (WWF) Indonesia, Nyoman Iswarayoga, Kamis (25/11/2010), saat dihubungi SIEJ.

Dijelaskannya bahwa keraguan ini muncul terutama dari sikap apatis negara Bolivia dan Arab Saudi mengenai ruang lingkup penerapan REDD+. “Bolivia mengajukan proposal untuk mengakomodasi tiga persoalan tentang perluasan ruang lingkup REDD+ dengan memasukkan kegiatan adaptasi, definisi baru untuk hak indigineous people (masyarakat adat – red.) yang sudah disepakati sebelumnya tercakup dalam komponen Safeguards, dan menolak REDD+ dapat dimanfaatkan sebagai upaya ‘Offset Carbon’ dari negara maju, serta tidak menggunakan mekanisme pasar. Sementara itu, proposal Arab Saudi ingin membatasi ruang lingkup REDD+ pada pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainable Forest Management) saja,” sambung Direktur Program Iklim dan Energi WWF Indonesia tersebut.

Lebih lanjut, menurutnya, Delri sendiri akan tetap mengusung kesepakatan sebelumnya yang berdasarkan kepada Bali Action Plan dan posisi terakhir di Tianjin. Namun jika posisi Bolivia dan Arab Saudi dapat digiring untuk berubah, maka akan muncul harapan yang besar di Cancun mengenai kesepakatan para pihak akan paket penuh REDD+, dari fase satu hingga fase tiga.

“Jika memang ini tidak tercapai, maka paling tidak para pihak mencapai kesepakatan untuk fase satu hingga fase dua, yang dikenal dengan REDD+ Readiness. Selain itu, Indonesia juga berharap dapat disepakatinya mekanisme Pendanaan Hibrid untuk REDD+, yaitu dimungkinkannya pendanaan kegiatan REDD+ datang dari Public Fund dan Market Based Fund, termasuk Voluntary Market Mechanism,” tambahnya.

Rencananya, pertemuan di Cancun akan berlangsung pada tanggal 29 November hingga 10 Desember mendatang. Dalam pertemuan yang diikuti oleh 180 negara tersebut, Indonesia membawa 30 orang negosiator. Delri akan dipimpin oleh Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Rachmat Witoelar, yang pernah menjadi Presiden COP UNFCCC ke-13 di Bali pada tahun 2007 yang lalu.

Moratorium Indonesia – Norwegia

Sementara itu, kemungkinan tidak tercapainya kesepakatan global mengenai REDD+ di Cancun ternyata diduga tidak akan terlalu berpengaruh terhadap moratorium mengenai REDD+ antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Norwegia. “Perlu diingat bahwa LoI (Letter of Intent – red.) RI-Norway dapat dilaksanakan terlepas dari tercapai atau tidaknya kesepakatan global mengenai REDD+ di Cancun. Sehingga, apapun hasil dari proses negosiasi di Cancun, Indonesia masih harus tetap menaruh konsentrasi penuh pada penerapan poin-poin kesepakatan LoI RI-Norway,” jelas Nyoman.

Lebih jauh lagi, dalam pelaksanaan moratorium nanti, Indonesia juga dihimbau untuk tetap memperhatikan dampak sosial dari proyek-proyek REDD+ yang selama ini tidak terukur dengan baik karena belum adanya pedoman pengukuran yang akurat. Padahal aspek sosial, yakni dampak proyek REDD+ untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, sangatlah penting. Jika proyek REDD+ tidak terbukti dapat lebih membuat masyarakat sejahtera, maka tentu akan sangat sulit diadopsi oleh masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan metode evaluasi yang akurat.

“Kita memiliki peluang kecil namun sangat penting untuk memasukkan berbagai pelajaran sebagai hasil dari suatu evaluasi dampak yang akurat dari apa yang sudah dilaksanakan ke dalam proyek-proyek REDD+ saat ini dan masa mendatang,” papar peneliti dari The Center for International Forestry Research (CIFOR), Pamela Jagger, seperti dimuat dalam siaran pers yang diedarkan, Kamis (25/11/2010).

Mengenai hal ini, CIFOR sendiri telah mempublikasikan sebuah pedoman tentang bagaimana mengukur dampak dari proyek-proyek tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan melalui buku yang berjudul “A Guide to Learning about Livelihood Impacts of REDD+ Projects” (Sebuah Pedoman Pembelajaran tentang Dampak Proyek-Proyek REDD+ terhadap Penghidupan). Buku ini dipublikasikan sebagai bagian dari Studi Perbandingan Global tentang REDD+ (GCS-REDD) yang bertujuan untuk memberikan informasi bagi para pembuat kebijakan, para praktisi, dan negara pendonor mengenai hal-hal apa saja yang dapat diaplikasikan dalam REDD+.

Berkaitan dengan pedoman tersebut, sejauh ini para peneliti memang banyak yang lebih berfokus pada pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (Monitoring, Reporting, and Verification/MRV) atas karbon hutan. Tetapi hanya sedikit yang memberikan perhatian untuk menentukan bagaimana menganalisa dampak sosial dari proyek REDD+ secara tepat dan untuk memahami mekanisme sebab akibat yang mengaitkan antara apa yang dilakukan dengan hasil atau akibatnya. “Model evaluasi yang akurat akan memungkinkan kita untuk menilai hal-hal apa sajakah yang berhasil dan yang tidak, serta untuk memahami bagaimana berbagai aktivitas proyek kita dapat berdampak terhadap kesejahteraan sosial,” tegas Pamela.

Lebih lanjut, menurutnya, meski sejumlah pedoman mengenai bagaimana menyusun komponen monitoring dan evaluasi pada proyek REDD+ berikut dengan berbagai kelengkapan untuk mengukur perubahan kesejahteraan hidup masyarakat pedalaman telah cukup banyak tersedia, namun pedoman-pedoman yang ada tersebut sayangnya tidak disesuaikan dengan konteks konservasi hutan dan kebanyakan dari alat-alat indikator kesejahteraan tersebut tidak mencakup pemikiran yang didasari atas analisis perbandingan antar fakta-fakta yang berlawanan (Counterfactual Thinking) yang dibutuhkan untuk menghubungkan hasil yang diamati kepada proyek atau program yang diminati.

Pedoman yang diluncurkan CIFOR tersebut menjadi sangat penting mengingat moratorium antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Norwegia untuk mengurangi emisi melalui deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia akan dimulai pada tahun 2011 nanti. Dana sebesar US$ 1 milyar yang disiapkan oleh pemerintah Norwegia sudah mulai dikucurkan secara bertahap. Saat ini, dana sebesar US$ 30 juta sudah ada di tangan Indonesia dan ditujukan untuk tahap persiapan moratorium tersebut. (prihandoko)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.