Posted inLaut dan maritim

thumbnail

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak kepada pemerintah untuk menghentikan ekspor ikan gelondongan atau beku dan segar dalam bentuk utuh, karena tidak memiliki nilai tambah bagi nelayan bahkan memicu tingginya ikan impor ke Indonesia.

Menurut penilaian KIARA, kebijakan ekspor perikanan menjadi salah satu faktor utama penyebab tingginya impor ikan ke Indonesia.  Orientasi ekspor pada kebijakan perikanan nasional telah menggerus bahan baku, pada akhirnya memaksa perusahaan dan konsumen domestik untuk bergantung pada produk perikanan impor.

“Hal ini dibuktikan dengan tingginya permintaan izin impor ikan dalam 2 bulan terakhir, yang mencapai 3 juta ton atau 60 persen dari produksi perikanan tangkap nasional. Volume yang sangat besar, sehingga dapat dipastikan menghancurkan perekonomian nasional, khususnya nelayan tradisional,”ungkap Riza Damanik Sekretaris Jenderal KIARA.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat nilai ekspor hasil perikanan terus meningkat. Dalam periode Januari-Juli 2010, nilainya mencapai US$ 1,62 milyar atau naik 16,68% dibandingkan periode yang sama tahun 2009. Volume ekspor hasil perikanan periode yang sama sebesar 657.793 ton, meningkat 31,95% dibandingkan tahun 2009. Beberapa komoditas yang nilai ekspornya meningkat seperti tuna, kepiting dalam kaleng, rumput laut kering, kepiting beku, mutiara, dan udang beku.

Di sisi lain, bahan baku ikan masih merupakan persoalan yang diminta untuk segera dipenuhi. Saat ini ada 114 Unit Pengolahan Ikan (UPI), dengan utilisasi kapasitas hanya 50 persen akibat kekurangan pasokan ikan. Dalam satu UPI, terdiri dari 500-1.000 tenaga kerja, dan bila dioptimalkan dapat memenuhi kebutuhan nasional atas ikan olahan, sekaligus menyerap tenaga kerja nasional.

Persoalan serupa dihadapi oleh industri pengalengan. Berdasarkan Laporan Kementerian Perindustrian (2009), industri pengalengan ikan yang masih melakukan kegiatan produksi sekitar 41 perusahaan. Di antaranya 31 perusahaan lokal dan 10 perusahaan pemegang merk impor. Selain kekurangan bahan baku ikan, industri-industri tersebut mengimpor kemasan kaleng (tin plate).

Di sisi lain, bahan baku ikan masih merupakan persoalan yang diminta untuk segera dipenuhi. Saat ini ada 114 Unit Pengolahan Ikan (UPI), dengan utilisasi kapasitas hanya 50 persen akibat kekurangan pasokan ikan. Dalam satu UPI, terdiri dari 500-1.000 tenaga kerja, dan bila dioptimalkan dapat memenuhi kebutuhan nasional atas ikan olahan, sekaligus menyerap tenaga kerja nasional.

Menurut Riza, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak perlu mengambil langkah kontraproduktif. “Optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan yang ada, dan pembatalan ekspor ikan gelondongan dalam 10 tahun ke depan dapat mendamaikan situasi hari ini,”ujarnya.

Inisiatif pertama yang harus segera dilakukan lanjut Riza, adalah menetapkan dan mengamankan kuota kebutuhan ikan nasional, termasuk dengan mempertimbangkan peningkatan konsumsi ikan untuk 5 tahun ke depan. Sehingga, kebutuhan domestik akan tetap terjaga pemenuhannya.

Hal ini sedari awal telah diamanahkan oleh UU Perikanan No. 45 Tahun 2009 pada Pasal 25 B Ayat 2, di mana pengeluaran hasil produksi usaha perikanan ke luar negeri dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi nasional.“Ekspor terus-menerus tanpa melaksanakan amanah UU Perikanan justru berakibat fatal. Keputusan pemerintah meningkatkan pengawasan impor ikan baru-baru ini, hanya akan memberikan manfaat jika diikuti dengan kebijakan pengendalian ekspor ikan gelondongan”tandasnya. (Marwan Azis).

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.