Posted in

KALI INI PRESIDEN BICARA HUTAN DAN KEADILAN

thumbnailSIEJ-Bogor. Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sudah sering pidato soal lingkungan hidup dan kehutanan. Kali ini ia bicara “Hutan di Masa Depan yang Kita Inginkan” di Center International Forest Research (CIFOR), Bogor pada Rabu siang (13/6), menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio +20

Dalam pidatonya, Presiden SBY mengungkapkan cara baru dalam pembangunan berkelanjutan. “Sekarang adalah waktu yang tepat mempromosikan pembangunan berkelanjutan dengan ekuitas”, tuturnya, “tanpa keadilan, kita berakhir dengan kegelisahan dan kecemasan. Tanpa keadilan, kita berakhir dengan marginisasi. Tanpa keadilan, kita berakhir dengan keputusasaan dan tanpa rasa takdir bersama”

Bagian penting dari pembangunan berkelanjutan dengan ekuitas adalah mengakui iklim dan masalah lingkungan yang serius. Indonesia harus bisa menangkap tren di seluruh dunia mengenai jejak ekologi defisit di seluruh dunia. Menurut perkiraan, di antara 20 ekonomi terbesar di dunia, 15 berada dalam posisi defisit jejak ekologis. Diantaranya, Brasil, Argentina, Kanada, Rusia, dan Indonesia berada dalam keadaan surplus jejak ekologi. Hanya dengan mengubah defisit menjadi surplus jejak ekologi, Indonesia dapat mencapai suatu kehidupan yang berkelanjutan.

Hal ini juga harus didorong oleh aktivis lingkungan antara pemerintah, organisasi internasional dan LSM dalam beberapa tahun terakhir. Pada akhirnya, bagaimanapun, perlu partisipasi dari unit terkecil dalam masyarakat, yang merupakan individu.
Di Indonesia, sebagian besar pulau dan penduduknya sudah terancam oleh naiknya permukaan air laut. Serta peningkatan suhu dan pola cuaca ekstrim telah mempengaruhi hasil panen, sebuah fenomena yang diperkirakan akan terus berlanjut di tahun-tahun yang akan datang. Hal ini, tentu saja, terjadi di seluruh Asia Pasifik. “Itulah sebabnya kehutanan yang berkelanjutan sangat penting bagi upaya pembangunan berkelanjutan serta upaya mitigasi iklim”, ungkap SBY.
Hal ini tidak seperti era tahun 1970 hingga 1980-an dimana pengelolaan hutan yang berkelanjutan belum menjadi kebijakan. Kebijakan saat itu memungkinkan siapa saja untuk menembang hutan selama memberikan manfaat bagi pembangunan.
“Tampaknya hal tersebut logis dilakukan saat itu. Kami memiliki banyak hutan, kita harus mengurangi kemiskinan, dan kami butuhkan untuk pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, ada saat kita mengalami deforestasi yang sangat serius,” papar SBY.
Menyadari kebijakan tersebut, dalam pidatonya, SBY menyatakan kebijakan seperti itu tidak lagi bisa diterima. Kehilangan hutan tropis Indonesia akan menjadi konsekuensi ekologis luar biasa bagi global dan bumi. Itu sebabnya Indonesia telah berbalik arah dengan berkomitmen untuk kehutanan yang berkelanjutan.
“Kami melewati sebuah hukum yang permanen akan menghemat 35 % hutan tropis hujan”, imbuh SBY.
“Untuk mempromosikan kehutanan yang berkelanjutan, kami mengambil stok situasi, menemukan masalah serius, membuat penyesuaian cepat, memperkenalkan kebijakan baru, dan reformasi model pembangunan. Kami tidak menyalahkan masa lalu, tetapi kami mengambil tindakan untuk memperbaiki masa depan,” jelasnya.
Dalam pidatonya, SBY juga mengharapkan dapat memimpin dalam kerangka kerja institusi, yang akan dibawa ke dalam meja perundingan di Rio de Janeiro. “Saya akan menggunakan kesempatan untuk mengirim pesan dan panggilan untuk tindakan dalam rangka pembangunan berkelanjutan pada masa pasca Rio +20”, papar SBY.
Disisi lain, Koordinator Civil Society Forum for Climate Justice (CSF), Siti Maemunah mengatakan pada media massa, pertemuan Rio +20 tidak menjawab permasalahan utama kerusakan bumi, tetapi justru akan melanggengkan perampokan sumber daya alam korporasi besar melalui pembangunan yang eksploitatif, serta tak akan menjawab persoalan kerusakan bumi. Indonesia dinilai cenderung mengikuti arus besar perusakan alam tersebut.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio +20 merupakan agenda tingkat dunia untuk masalah pembangunan berkelanjutan. Sejak 13 Juni 2012, kalangan masyarakat sipil sudah melakukan pertemuan terkait masalah itu, sedangkan di tingkat negara akan berlangsung pada 20-22 Juni 2012.
Siti juga memaparkan pemerintah Indonesia telah mempersiapkan dua dokumen laporan terkait dengan hal tersebut, yakni Indonesia and Rio +20 serta Submission by the Government of the Republic of Indonesia to the Zero Draft of UNCSD 2012 Outcome Document. Melalui laporan tersebut, Siti menuturkan pemerintah Indonesia justru dianggap mempromosikan berbagai kegiatan korporasi perusak lingkungan dan pelanggar HAM dalam konferensi tersebut. Cita Ariani/SIEJ

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.