Posted in

PARA AKTIVIS TUNTUT PEMERINTAH BERSIKAP KRITIS DI RIO+20

thumbnailSIEJ, Jakarta-Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF) mengatakan, bahwa agenda yang di diskusikan dalam Konferensi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro, Brasil,  tidak menjawab problem utama kerusakan bumi, justru akan melanggengkan sistem ekonomi neo-liberal dengan sekedar menempelkan kata hijau tanpa mengubah orientasi eksploitatif.

Dalam paparan menuju konferensi Rio+20,   Teguh Surya, salah seorang anggota CSF , “Ekonomi hijau yang didengungkan pemerintah justru mendorong perluasan privatisasi, komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam, dan konsep pembangunan berkelanjutan tidak membawa apa-apa untuk pelestarian lingkungan karena prinsip tersebut tidak bisa mengkoreksi sejumlah kerusakan lingkungan akibat industri.”

Kepada wartawan di Jakarta Selasa lalu (12/6), CSF menyayangkan langkah Indonesia yang cenderung mengikuti arus besar kekuasaan modal korporasi. Dalam perundingan nanti, pemerintah justru membuka pintu selebar-lebarnya bagi investasi untuk mengeruk kekayaan alamnya melalui kampanye “Indonesia Harta Karun Dunia”.

Atas dasar pemikiran tersebut, CSF menyampaikan beberapa tuntutan antara lain, adanya perubahan orientasi pembangunan yang memastikan terjadinya pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, dan hak asasi perempuan. Mereka juga menolak konsep Green Economy yang dibangun dalam kerangka sistem ekonomi neoliberal, dan akan mendorong perluasan privatisasi, komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam yang merampas sumber-sumber kehidupan rakyat.

Tuntutan berikutnya adalah agar pemerintah tidak bekerjasama dengan perusahaan perusak lingkungan dan pelanggar HAM, serta lembaga keuangan internasional untuk pendanaan negosiasi dan pencitraan yang mengatasnamakan keberlanjutan ekosistem, pelestarian lingkungan dan pengentasan kemiskinan.

Dalam konferensi Rio+20, CSF juga akan mendesak Pemerintah secara konsisten menjalankan Agenda 21 berdasarkan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Deklarasi Rio, terutama keadilan gender dan pengakuan terhadap masyarakat adat, kehati-hatian dini, respon dan tanggung jawab sama tapi berbeda, “pelunasan utang ekologis” sebagai sebuah bentuk tanggungjawab atas yang telah dilakukan oleh negara-negara industri dan korporasi dan lembaga keuangan internasional terhadap negara miskin dan berkembang.

Tuntutan terakhir mereka, desakan kepada pemerintah Indonesia merealisasikan komitmen pembentukan konvensi mengenai Prinsip 10, prinsip 20, prinsip 22 Deklarasi Rio dan mendorong implementasi Pasal 65 ayat (2) UU No. 32 tahun 2009v tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kepada SIEJ, Teguh mengatakan semoga saja dalam konfrensi nanti pemerintah Indonesia bisa lebih tegas dan mempunyai sikap serta tidak mengikuti arus besar kekuasaan modal korporasi. yang malah membuka jalan terhadap kerusakan lingkungan dan lebih mementingkan arah dan tujuan untuk usaha penyelamatan lingkungan dan kesejahteraan semua manusia. Binsar Marulitua/SIEJ

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.