Posted in

Lembaga Sipil Somasi PT. KEM

Perusahaan Tambang Emas PT. Kelian Equatorial Mining (PT. KEM), yang sudah beroperasi sejak 1992 di Kalimantan Timur dan sudah menjalani proses pengakhiran tambang pada 2004, diberikan somasi oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Tambang dan Lingkungan. Somasi yang dikirimkan pada hari ini (11/10) kepada Bupati Kutai Barat dan Presiden Direktur PT. KEM, menuntut pertanggung jawaban PT. KEM terkait pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dibuat pada 2012, serta pelanggaran kemanusiaan lainnya, sebelum kawasan dikembalikan kepada pemerintah pada akhir tahun ini. Isi somasi diumumkan pada Konferensi Pers oleh Jaringan Advokat Tambang –JATAM hari ini, Jumat (11/10) salah satunya di Sekretariat JATAM Nasional di Jakarta Selatan.

Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Tambang dan Lingkungan (LKMTL) merupakan salah satu anggota Komite Pengarah Pengakhiran Tambang (KPPT) bersama dengan Pemerintah Daerah Kutai Barat, Kalimantan Timur, dan PT. KEM sendiri. Sebelumnya mereka telah membuat kesepakatan mengenai bagaimana seharusnya PT. KEM ditutup, pada 2012. Namun, LKMTL sebagai perwakilan masyarakat, menilai banyak pelanggaran yang dilakukan PT. KEM terhadap kesepakatan tersebut, ditambah ketidaktegasan pemerintah menghadapinya. Hal ini membuat LKMTL khawatir akan penutupan tambang yang meninggalkan banyak masalah tanpa ada yang bertanggung jawab.

Masalah pertama adalah pelanggaran lingkungan. Reklamasi pertambangan dinilai tidak selesai. Lubang DAM Nakan dan DAM Namuk seluas 455 ha di ketinggian 425 meter di atas permukaan laut menampung 77 juta ton tailing limbah pertambangan. Hal ini menjadi teror bagi 31 desa dan 4 kecamatan di bawahnya. Lubang DAM juga berhubungan dengan DAS Kelian dan DAS Mahakam, sehingga mengancam ketersediaan air bersih warga.

“Kekhawatiran kita adalah ketika (pertambangan) diserahkan, siapa yang mengelola DAM itu? Bagaimana kalau (DAM) itu jebol. PT. KEM tidak pernah sosialisasi bahayanya,” ujar Abdullah Naem dari JATAM Kalimantan Timur, saat mengungkapkan kekhawatirannya akan ancaman keracunan tailing pada warga sekitar DAM.

Pelanggaran kedua adalah perubahan status pinjam pakai lokasi menjadi hutan lindung seluas 6750 ha masih tidak jelas sampai saat ini. Tidak ada pelibatan masyarakat dalam proses perubahan status kawasan. Padahal kesepakatan KPPT mewajibkan bahwa penutupan kawasan tambang di bawah tanggung jawab KPPT, sehingga seharusnya melibatkan masyarakat.

Pelanggaran ketiga adalah tidak transparannya sistem yang dilakukan oleh PT. KEM selama sebelas tahun beroperasi dan dalam upaya menjalankan tugas tanggung jawabnya sebagai anggota KPPT. Salah satunya adalah tidak adanya kejelasan Dana Abadi sebagaimana tertuang dalam kesepakatan KPPT Nomor 5, tanggal 27 Februari-1 Maret 2012, serta ketidakjelasan pengelolaan dana sebesar 11,2 juta USD yang digunakan PT. Hutan Lindung Kelian Lestari.

Sayangnya, sejak awal tidak disepakati sanksi terhadap pelanggaran kesepakatan KPPT secara tertulis. Jika ada pelanggaran terjadi, seluruh pihak KPPT hanya berhak menuntut dan protes terhadap pihak yang dianggap melanggar. Naem mengungkapkan bahwa perumusan kesepakatan KPPT secara tertulis, lebih banyak dikerjakan oleh PT. KEM.

Selain pelanggaran terhadap kesepakatan itu, PT. KEM juga dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap HAM dan melakukan tindak kekerasan dan asusila terhadap warga. Pertama, pada tahun 1990-an PT. KEM melakukan pemaksaan warga untuk keluar dari kampungnya. Tercatat 7 kampung digusur, sekitar 500 rumah-rumah dan pondok kerja warga dibakar. Contoh wilayah yang mengalami hal ini adalah Tutung. Warga Dayak sebagai penghuni aslinya sebanyak 80% pergi dari wilayah itu. Kini, desa itu bak kota hantu, ujar Pius Nyompe, pimpinan LKMTL.

Kedua, KOMNAS HAM pernah melaporkan 17 kasus pemerkosaan terhadap warga sekitar tambang oleh para petinggi PT. KEM pada tahun 1997/1998. Namun, laporan dari KOMNAS HAM tidak ada tindak lanjutnya. Wargapun tak pernah melaporkan tindakan tersebut ke pengadilan karena mengaku takut dan mendapat tekanan. “Saya mendapat ganti rugi. Karena ditekan saya merasa takut,” ungkap Natasha Rireq, salah seorang korban pemerkosaan yang dikemukakan JATAM. Ketiga, kekerasan juga kerap terjadi terhadap warga oleh PT. KEM. Catatan JATAM menunjukkan terdapat paling tidak 18 kasus pemukulan dan intimidasi terhadap warga Kutai Barat oleh PT. KEM.

“Sejak 1992 sampai 2004, tidak ada kasus yang selesai. Warga tidak pernah lapor ke pengadilan karena ada tekanan. Lapor ke polisi saja tidak ditanggapi,” ujar Naem.

Selanjutnya, pihak LKMTL bersama dengan kuasa hukum Chairil Syah & Partners melalui surat somasinya, meminta penjelasan terhadap ketidakjelasan yang telah disebutkan dan tugas tanggung jawab PT. KEM yang telah dan belum dilaksanakan. Pihak LKMTL akan menunggu selama dua minggu sejak hari ini untuk mendapat respon dari PT. KEM dan Bupati, jika tidak ada tanggapan jalur hukum pun akan diambil LKMTL untuk menuntut pelanggaran-pelanggaran, terutama terhadap kesepakatan KPPT, yang dilakukan oleh PT. KEM dan atas ketidaktegasan pemerintah.

“Hari ini somasi secara serentak di-launch di tiga titik, yaitu JATAM Jakarta, JATAM Kalimantan Timur, dan di Kampung Tutung, Kutai Barat,” kata Bagus dari JATAM Nasional. “Intinya kita menuntut transparasi dan tanggung jawab terhadap kasus-kasus sebelumnya,” lanjutnya.

Naem menutup pertemuan dengan ungkapan kekecewaannya terhadap PT. KEM yang dinilai oleh dunia internasional sebagai rujukan perusahaan tambang dengan pengelolaan tambang terbaik, dari segi eksplorasi, eksploitasi, dan reklamasi. Katanya, “ Kalau PT. KEM dilihat sebagai contoh (perusahaan tambang) terbaik, bagi saya ini justru contoh terburuk. Perusahaan ini merusak ekologi, sosial, peradaban, dan kebudayaan warga sekitar.” (Ratih Rimayanti)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.