Cerita sebuah desa yang dulu dilanda kekeringan, penyakit, dan kesulitan air, bersalin rupa menjadi desa sehat dengan air bersih yang melimpah. Air telah membuat mereka mencapai banyak hal. Dan ternyata anak-anak menjadi pelopornya.

Musim hujan seharusnya sudah lewat di Lembata dan matahari yang terik semestinya menusuk kulit. Tetapi Dikesare, desa kecil 27 kilometer di utara Kota Lewoleba, Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), tetap rindang oleh lebat trembesi dan hijaunya pohon nimba yang memerangkap angin laut. Tanah tampak basah walaupun sudah sebulan hujan tak turun, dan di antara pohon-pohon udara terasa sejuk. Tak dinyana, meski di tengah padang sabana dan di lembah bukit yang tandus, desa ini menjadi yang pertama di Kabupaten Lembata mencapai target Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), sebuah program nasional untuk penyehatan komunitas.

Sepuluh tahun lalu, hampir tak terbayangkan ada pohon hijau yang masih berdiri tegak saat musim kemarau di Dikesare. Setiap musim panas datang mulai awal bulan kedelapan, desa itu kering korantang dan meranggas, seperti desa sekitarnya. Semua menjadi hamparan semak di sela-sela padang sabana yang terbentang sepanjang mata memandang, dan hanya pohon-pohon lontar yang bertahan tumbuh menjulang tinggi. “Pekarangan rumah berdebu dan tanaman menjadi kuning kecoklatan,” kata Paulus Demo, seorang warga. Saking tingginya suhu, atap rumah dari rumbia kerap terbakar sendiri. Kemarau panjang tiap tahun juga mengeringkan ladang dan mematikan jagung yang menjadi sumber pendapatan penduduk.

Kondisi alam yang keras itu diperkuat pula oleh hasil penelitian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Insitut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2012, yang menggolongkan Lembata sebagai kawasan rawan bencana kekeringan tahunan, dengan karakteristik wilayah yang sulit mendapatkan air bersih, terjadi bencana musiman berupa kebakaran hutan dan ladang, serta banjir bandang ketika musim hujan menerjang dan erosi yang mengikutinya.

Namun, Dikesare tampaknya akan menjadi perkecualian untuk Lembata. Desa yang luasnya sekitar 15 km persegi dan berpenduduk 447 jiwa ini, mulai berubah sejak tahun 2006 ketika mereka bertekad mengikuti program STBM. Ada lima target yang harus dipenuhi setiap desa, yaitu stop buang air besar sembarangan, cuci tangan pakai sabun, pengelolaan air minum/makanan rumah tangga, pengelolaan sampah rumah tangga, dan pengelolaan limbah cair rumah tangga. Dan kelimanya rasanya mustahil dilakukan Dikesare.

Kuncinya adalah Air
Ambisi Dikesare menjadi desa bersanitasi baik, terhalang oleh satu syarat yang sangat penting yaitu ketersediaan air bersih. Desa ini memang dekat pantai, tetapi air asin sudah jelas tak bisa menggantikan air bersih. Desa ini justru dilanda kekeringan setiap tahun, dan bila berlangsung agak panjang maka kebakaran lahan dan semak akan mengikuti. Sulitnya air bersih menyebabkan warga desa jarang mencuci pakaian, buang air besar sembarangan, seperti diceritakan Kepala Desa Dikesare Rafael Suban Ikun.

Sulitnya air telah memakan korban ketika lima anak-anak meninggal karena diare di tahun 2005, tahun yang dipenuhi oleh ratusan penderita diare dan muntaber yang rawat inap di berbagai puskesmas dan rumah sakit.

Mata air menyurut dengan cepat sehingga hampir tidak ada lagi persediaan air bersih kecuali untuk minum. “Kami harus bersaing minum dengan ternak karena air sangat sedikit,” kata Ignasius Nuho atau Igen, warga lainnya. “ Kami ingin mencapai target sanitasi supaya penduduk kita sehat, tapi tidak ada air bersih,” kata Suban Ikun menimpali percakapan di beranda rumahnya. “Hasil jagung kami sangat kurang kalau musim kering, hanya kami makan, atau ditumbuk saja dan digoreng untuk keripik,”ujarnya dengan mata menarawang ke puncak bukit yang jauh. Siang itu kami memang berbincang ditemani sepiring keripik jagung dan dua gelas teh hangat.

Satu-satunya cara mendapatkan air bersih adalah mengangkutnya langsung dari mata air di atas perbukitan Atadei di timur desa yang curam dan kering. Ada tiga mata air di puncak bukit yang berjarak dua jam dari desa itu, tetapi hanya dua yang berair, itupun tidak bisa memenuhi kebutuhan seisi desa, karena semuanya hampir mengering saat kemarau. “Seingat saya, menjelang bulan keenam atau ketujuh, air mulai mengering dan hampir tidak ada lagi saat musim kemarau, ”kata Suban Ikun. Minum saja sulit, apalagi air untuk mencuci pakaian dan peralatan dapur.

Pada awal tahun 2000-an, penduduk Dikesare sepakat menerima ide untuk mengalirkan air ke desa dengan bambu. Lalu, dari bambu kecil itulah air dialirkan ke rumah-rumah dengan selang plastik.

Masalah kedua yang harus dipecahkan warga Dikesare bagaimana membuat mata air itu penuh sepanjang tahun. Kesulitan itu rupanya sampai ke telinga Plan Indonesia, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu berbasis anak-anak, yang saat itu baru masuk ke Lembata. Mereka mengulurkan bantuan 8.000 batang bibit pohon berkayu keras untuk reboisasi, dengan syarat seluruh penduduk ikut menanam.

Pertengahan tahun 2006, penghijauan mata air dimulai dan dikontrol secara teratur oleh warga desa. “Program pertama kami adalah mengajak anak-anak mencintai lingkungan hidup, dan itu dimulai dengan menghijaukan mata air dan desa mereka sendiri yang sering kekeringan,” kata Koordinator Plan Lembata, Vransisiku Saverius.

Anak-anak sekolah dasar dan menengah pertama memang diajak sejak pertama kali program menghijaukan mata air digelar. Selain di dekat mata air, anak-anak juga melakukan reboisasi berbagai lokasi seperti di dekat sekolah dan pinggir pantai dengan pohon nimba, trembesi, kelapa, dan bakau untuk mencegah abrasi pantai. “Kami sengaja menanam pohon umur panjang, agar tahan terhadap kekeringan dan menjadi peneduh untuk desa,” kata Vrans.

Tak sampai satu tahun, bibit pohon kayu keras seperti cemara, trembesi, durian, dan rambutan, mulai tumbuh di sekitar mata air dan ternyata mampu menahan laju air ketika musim hujan. Tiga tahun berikutnya, semua mata air itu ternyata tetap penuh bahkan ketika musim kemarau. Masyarakat lalu mengganti bambu dan selang plastik dengan pipa besi, agar tahan lebih lama.

Warga desa Dikesare kemudian melanjutkan dengan berswadaya membangun bak penampung air, satu bak berkapasitas sekitar 1.500-2.000 liter untuk tiap 5-10 rumah tangga. Pemerintah datang kemudian dan membantu membangun tambahan beberapa bak air melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), yang sampai hari ini masih dipakai dan dirawat dengan baik. Dari bak-bak inilah, air lalu didistribusikan kepada setiap rumah tangga. Tugas pertama pun paripurna.

Iuran untuk Mandiri
Agar air bersih tetap dinikmati warga, maka setiap orang harus membayar iuran Rp 5.000 per bulan sebagai uang pemeliharaan. Iuran yang terkumpul biasanya sekitar Rp 2,7 juta setiap bulan dan dikelola oleh Organisasi Pengelola Air Minum (OPAM) yang ditunjuk melalui rapat desa. “Kalau kami ingin menutup pipa bocor atau membangun bak air, semua pakai uang OPAM, tidak ada lagi bantuan pemerintah,” kata Kepala Desa.

Air pun mulai mengalir sepanjang hari, tetapi bak penampung hanya dibuka pagi dan sore, supaya menghemat pemakaiannya. Masyarakat lalu berembuk lagi untuk mencapai target STBM. Langkah pertama yang disepakati rapat desa adalah menghijaukan seluruh pekarangan rumah dan jalan desa. Alasannya, supaya desa lebih teduh saat kemarau, tidak berdebu, dan mengambat laju api ketika kebakaran.

Lembata memang unik, karena justru di kabupaten yang rawan kekeringan itu, terdapat kawasan wisata buru Hadekawa-Labelakang. Di kawasan inilah para pemburu tradisional datang setiap bulan September berburu rusa atau babi hutan dengan panah dan tombak. Kebiasaan mereka adalah membakar semak agar binatang buruan keluar dari persembunyian. Akibatnya, Dikesare dan desa-desa lainnya di kaki perbukitan kebagian apinya, dan saban tahun selalu ada saja rumah yang habis dilalap si jago merah. Penghijauan dengan berbagai jenis tanaman akan mampu menghambat laju api, bahkan mematikannya karena tanaman yang hijau dan basah lebih lama termakan api.

“Penghijauan juga dapat menyerap karbon dioksida dari udara, dan nilai tambahnya adalah tanaman buah dan sayur di pekarangan bisa dipakai sebagai bumbu di dapur, sehingga mengurangi pengeluaran,” kata Igen. Bicara soal dampak perubahan iklim, Igen memang lancar, karena ia pernah juara lomba pidato tentang perubahan iklim tingkat kabupaten. Cabai, jeruk, jambu, terong, kunyit, sirih, adalah jenis-jenis bahan bumbu dapur dan buah yang sekarang biasa ditemui di halaman rumah penduduk Dikesare. Pohon berkayu keras seperti rambutan dan durian sudah banyak menghiasi halaman.

Tahun 2008 mereka mulai membangun got dan gorong-gorong di samping jalan desa untuk mengalirkan banjir yang kerap meluap saat musim hujan. Sekali lagi awalnya semua dikerjakan secara swadaya, lalu di tengah proyek, datang bantuan PNPM. Sekarang, seluruh jalan utama desa itu sudah dilengkapi got sedalam satu meter.

Setelah berhasil mendatangkan air bersih dan mengurangi ancaman kebakaran serta banjir, saatnya menyudahi kebiasaan warga desa buang air besar (BAB) di halaman atau kebun, karena menjadi sumber penyakit seperti diare dan muntaber. “Dulu sering ada wabah muntaber di desa, karena banyak orang buang air besar sembarangan, lalu kotoran dibawa lalat,” kata Igen. Akibat BAB sembarangan itu, Puskesmas Kecamatan Labatukan selalu mencatat kejadian muntaber luar biasa setiap tahun, dan selalu pula diikuti dengan dua sampai tiga orang pasien rawat inap setiap hari.

Air bersih yang tersedia membuat warga desa bersemangat membangun jamban untuk BAB. Plan Lembata dan pemerintah daerah setempat membantu mereka bagaimana cara memilih lokasi yang tepat dan mendesain jamban sederhana. “Kami menyumbangkan tenaga dan bambu, kayu, dan batu yang biasa didapat di desa, sedangkan semen, pasir, dan bahan lain dibantu Plan Indonesia,”kata Suban Ikun. Jamban yang dibangun itu ditutup gedek bambu atau papan tripleks dengan model jamban cemplung yang ditutup bilah kayu, untuk mengurangi bau dan masuknya binatang seperti lalat atau kecoa. Seember penuh air bersih selalu disediakan di tiap jamban.

Jamban punya korelasi positif dengan kesehatan penduduk Dikesare. Data dari situs STBM-Indonesia menunjukkan, terjadi pengurangan drastis penderita muntaber di Kecamatan Lebatukan, Lembata, dari 175 orang tahun 2009, turun menjadi 77 pada 2010 dan hanya 21 orang pada tahun 2011. Menurut situs Plan Indonesia, jumlah itu menurun dari 300 orang penderita diare pada 2010 menjadi 100 orang pada 2011. Bahkan Suban Ikun kepada Ekuatorial berani memastikan bahwa tahun ini hanya dua anak dari Dikesare yang kena muntaber. “Itu juga tidak perlu rawat inap,”ujarnya.

Konselor Sebaya
Ketika Dikesare memutuskan mulai memperbaiki kualitas sanitasinya, mereka memanggil anak-anak. Rupanya, Plan Indonesa telah berhasil melatih anak-anak dengan berbagai kegiatan untuk mencintai lingkungan dan mengurangi dampak perubahan iklim. Bahkan, beberapa anak dikirim ke Bali untuk berlatih membuat pupuk organik, pupuk cair, infus tanaman, dan daur ulang kertas. Kembali dari Bali, anak-anak itu menjadi pelopor Konselor Sebaya, yaitu kelompok yang terdiri dari 15 anak tingkat Sekolah Dasar dan Menengah Pertama yang telah dibekali ketrampilan sederhana soal sanitasi. Tiap dusun di Desa Dikesare diwakili satu Konselor Sebaya atau sekitar 45 anak sekolah ikut bergabung dari tiga dusun.

Kegiatan utama Konselor adalah berkeliling desa membantu orang-orang tua seperti para janda dan jompo, membuat jemuran pakaian, got kecil di sekitar rumah untuk mengalirkan air limbah, alas cuci piring dari bambu agar tak becek dan kotor oleh tanah, atau sekedar tempat jemuran pakaian terbuat dari tali plastik yang dihubungkan di antara dua pohon atau membuat tiang bambu. Soal membiasakan cuci tangan dengan sabun, rupanya tak sulit disampaikan kepada warga desa, karena mereka menyadari tangan yang tercuci dengan bersih sangat penting. Namun, “Orang-orang tua masih sering lupa cuci tangan sebelum makan, mungkin karena kebiasaan,“ kata Elisabeth Jawa, 14 tahun, anak kelas tujuh SMP 1 Lebatukan yang anggota Konselor.

Elisabeth juga menuturkan, ia dan kelompoknya sampai sekarang terus membantu beberapa orang tua membuat jemuran pakaian dan tempat cuci piring. “Kami bisa memakai tali rafia atau kawat, sehingga pakaian bisa kering saat dipakai. Kalau baju basah kan bisa jadi sarang nyamuk dan bau,” katanya. Kelompok konselornya juga kerap menanam bunga dan berbagai tanaman di pekarangan, serta membantu membersihkan sampah. “Kami menimbun sampah daun dan membuat lubang biopori,” katanya. Karena urusannya soal air dan sanitasi, konselor ini juga dipanggil Konselor Air atau Konselor Sanitasi. Saat Ekuatorial bertandang, rumah Elisabeth dan beberapa tetangganya, memang rimbun dengan bunga-bunga yang asri.

Cerita konselor sebaya dibenarkan oleh Tatriela Mura, 15 tahun, anak kelas sepuluh di SMA Lewoleba yang mantan konselor. Menurut pengakuannya, saat dulu duduk di kelas tujuh SMP Lebatukan, ia bersama kelompoknya membantu beberapa orang tua dan jompo di desa untuk membuat saluran air limbah, terutama air dari dapur dan tempat cuci. Caranya sederhana, “Dicangkul sedikit saja, lalu dialirkan ke dalam got, setelah itu kan nanti mengalir ke laut,” katanya. Got dan gorong-gorong desa memang dibangun cukup dekat dengan perumahan, dan ditambah kemiringan tanah di Dikesare, maka air akan mengalir menuju ke laut yang jaraknya dari pusat desa tak lebih dari 50 meter.

Namun, masih ada masalah. Sampah plastik tetap ditimbun di belakang rumah dan jarang yang didaur ulang karena volumenya sangat kecil, tambahan pula tidak ada mobil sampah yang datang ke Dikesare untuk mengangkutnya. “Kami jarang sekali membakar sampah karena bisa mengeluarkan karbon dioksida ke udara,” kata Elisabeth, ”Kalau musim kering dan anginnya besar, apinya bisa besar juga,”tambahnya. Sampah daun sebagian dipakai mengisi lubang biopori yang juga dibuat para konselor sebaya, dan berguna sebagai lubang serapan air.

Melampaui Target
Jika program sanitasi punya lima pilar, maka Dikesare menambahkannya menjadi enam, yaitu program mengandangkan ternak. Dulu, semua ternak seperti babi dan sapi dibiarkan berkeliaran di pekarangan rumah atau diikat sekedarnya ke pohon, sehingga kotorannya teronggok di sana-sini menimbulkan bau tak sedap dan membawa penyakit.

Sekarang tak satupun binatang berkeliaran di halaman, semua sudah dikandangkan di batas desa, kecuali anjing dan beberapa ekor ayam yang memang menjadi peliharaan di sekitar rumah. Semua ternak dikandangkan di kebun milik pribadi, tetapi ada juga yang meminjam ladang tetangga tanpa membayar.

Dulu ternak dibiarkan lepas di sekitar rumah, kata Suban Ikun, agar lebih mudah memberinya minum saat musim panas. “Sekarang kita kandangkan di luar karena air selalu ada dan bisa diangkut ke kandang. Ternak itu juga bisa merumput di ladang,”katanya.

Bila datang ke Dikesare hari ini, jangan lagi melangkah ragu-ragu ketika masuk halaman rumah penduduk, karena takut menginjak kotoran hewan. “Sekarang rumah kami jadi bersih, tidak ada lalat yang beterbangan membawa kotoran dan penyakit kemana-mana,”kata Tatriela. Semua usaha itu ternyata berbuah manis. Dalam sebuah upacara di ibukota kabupaten bulan Maret 2009, Bupati Lembata menetapkan Dikesare sebagai salah satu desa pertama tuntas sanitasi di kabupaten itu, bahkan melampauinya. “Kami bangga sekali, terutama karena anak-anak yang ikut menjadi pelopor sanitasi,” kata Suban Ikun. IGG Maha Adi (Lembata)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.