Laut Sawu tampak tidak bersahabat saat musim barat datang tahun ini. Pasang tinggi, lengkap dengan gelombang besar, ikut melanda Pantai Eno Loles, Desa Kuanheun, Kecamatan Kupang Barat, NTT, Jumat (17/1) siang.
Seharusnya ini bulan-bulan panen di perairan Kuanheun, berdasarkan kearifan lokal lilifuk yang dianut masyarakat setempat sejak dekade 1970. Secara harfiah, lilifuk berarti kolam besar. Menurut aturan lilifuk, masyarakat hanya diperbolehkan mengambil hasil laut dua kali dalam setahun. Yakni pada awal atau akhir tahun dan saat pertengahan tahun.
“Kearifan lokal ini penurunan Suku Baineo, penduduk asli Kuanheun,” demikian Median Senu, sekretaris Desa Kuanheun, di tengah kunjungan lapangan Workshop Jurnalisme Kelautan SIEJ dan The Nature Conservancy (TNC).
Setahun belakangan, lilifuk naik menjadi salah satu pasal dalam Perdes Kuanheun Nomor 1/2012 tentang perlindungan sumber daya laut. Ketika pemanfaatan laut mulai tidak ramah lagi – penggunaan bom, pukat garu, racun ikan, dan penambangan pasir tanpa izin marak di pesisir Kuanheun – masyarakat menilai kearifan lokal warisan Suku Baineo dapat menyelamatkan perairan mereka.
Perdes mengartikan lilifuk sebagai kolam besar yang dipenuhi lamun, perairan yang sarat ikan lada dan ikan dusung. Kalau surut, kolam besar tersebut tampak, dengan kedalaman maksimum 5 meter. Jenis sumber daya laut yang dilindungi Perdes mencakup seluruh biota dalam area lilifuk – zona kearifan lokal seluas 2 hektare di sekitar Pantai Eno Loles. Mencakup terumbu karang, padang lamun, mangrove, teripang, dan pasir laut. Masyarakat diperbolehkan melakukan budidaya dengan rumput laut dan alga, asal sudah memperoleh izin dan taat pada kesepakatan ukuran keramba.
Panen pertama
Panen raya pertama sejak berlaku Perdes telah dilakukan pada 4 Januari. Hari itu, setiap warga yang masuk ke area lilifuk dan mengambil hasil laut dikenai tarif masuk Rp 5.000. Uang yang terkumpul selanjutnya disisihkan untuk pendapatan desa, penduduk suku Baineo, dan untuk membayar pengawas di area lilifuk.
Kepala Suku Baineo, Edward Baineo, mengaku gembira dengan hasil panen raya pertama itu. “Masyarakat juga, mereka puas. Artinya kita panen.” Edward mengatakan, sejak lilifuk ditetapkan dalam Perdes, masyarakat lebih berhati-hati dalam mengambil hasil laut. Sanksi terhadap pelanggaran perdes berupa denda uang, beras, ternak babi, dan sanksi sosial. Denda untuk penggunaan pukat garu di area lilifuk sebesar Rp 500.000. Sedangkan, pemakain racun di perairan desa dendanya sebesar Rp 50 juta.
“Kemarin masih banyak yang bolong-bolong. Warga melakukan pelanggaran, tapi belum ada yang dikenakan sanksi karena Perdes baru berlaku,” kata Tarsius. Sanksi tegas, kata dia, akan benar-benar diterapkan mulai Juni, setelah sosialisasi Perdes selesai.
Kembali merawat laut dengan kearifan lokal lilifuk di Desa Kuanheun tak cuma menandai tradisi yang naik menjadi Perdes. Pemberlakuan lilifuk juga menandai diberlakukannya sistem zonasi dalam kawasan Taman Nasional Laut Sawu. Sistem tersebut membagi perairan Sawu di NTT ke dalam zona inti, pemanfaatan pariwisata perairan, perikanan berkelanjutan umum, perikanan berkelanjutan tradisional, kearifan lokal, dan perlindungan setasea. Ratih Rimayanti