ANCAMAN itu datang dari seorang warga Kutablang, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Naga Raya, Aceh. ”Akan saya bunuh orang utan itu kalau datang kembali dan memakan pangkal pucuk pohon sawit saya,” katanya kepada Suratman dan aktivis Yayasan Ekosistem Lestari (YEL).

Menurut Suratman, warga yang selama ini membantu YEL, kepada Tempo, warga tersebut dongkol lantaran beberapa pohon sawitnya yang berusia delapan tahun mati. Karena itu, Rabu pekan lalu, ia memanggil aktivis YEL untuk mengusir dan menangkap satwa dilindungi yang selama ini tinggal di hutan gambut Rawa Tripa itu.

Menurut Suratman, orang utan memang kerap datang ke permukiman dan perkebunan sawit. Sehari sebelumnya, dia melihat hewan itu di Desa Merkati. Bersama petugas dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, YEL terus memberikan penyuluhan untuk warga agar tidak membunuh hewan tersebut.

Pada Februari tahun lalu, YEL menemukan bayi orang utan dalam kondisi kritis di Desa Sidojadi. Rupanya, induknya dibunuh warga. Untuk menyelamatkan satwa yang mereka temukan itu, sepanjang 2011-2012 YEL dan Badan Konservasi telah memindahkan enam ekor orang utan dari wilayah ini ke hutan yang masih utuh di kawasan Aceh Tengah.

Hutan gambut Rawa Tripa, yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser dan berbatasan dengan Taman Nasional Leuser, memang semakin menyusut setelah pemerintah memberikan izin kepada perusahaan kelapa sawit membuka lahan. Pada awal 1980-an, hutan gambut di sisi barat daya pantai Aceh itu luasnya tak kurang dari 62 ribu hektare. Sekarang luasnya tak lebih dari 17 ribu hektare. Penggerusan terakhir adalah pembukaan lahan 1.605 hektare oleh perusahaan kelapa sawit PT Kallista Alam.

Kondisi itu jelas sangat memprihatinkan. Sebab, ekosistem Leuser merupakan habitat harimau, gajah, badak, dan orang utan, yang masuk daftar hewan terancam oleh World Conservation Union (IUCN). Jurnal Science edisi November 2013 menyebut tempat ini sebagai salah satu kawasan dilindungi yang tak ada gantinya di dunia. ”Ekosistem Leuser menyediakan jasa lingkungan yang tak terhitung jumlahnya, yang penting secara global dan lokal,” kata Graham Usher, Landscape Protection Specialist di PanEco Foundation.

Ian Singleton, Direktur Sumatran Orangutan Conservation Programme, menjelaskan, Rawa Tripa merupakan salah satu dari tiga hutan rawa gambut Sumatera yang tersisa yang dihuni orang utan. ”Kepadatan orang utan bisa mencapai 8 per kilometer persegi di wilayah ini, dibandingkan dengan rata-rata di hutan tempat lain yang hanya 1-2 per kilometer persegi,” katanya.

Tempo, yang pada Juli 2012 mendatangi lahan gambut yang sudah dibuka PT Kallista Alam dan PT Surya Panen Subur II, menyaksikan sisa bekas pembakaran hutan. PT Kallista membuat blok-blok pada setengah dari lahan 1.605 hektare itu. Dengan alat berat, mereka membuat kanal-kanal untuk menyalurkan air ke sungai. Pola semacam itu dilakukan oleh tujuh perusahaan lain yang memegang hak guna usaha di kawasan Rawa Tripa.

Dampak pembabatan hutan itu kini mulai dirasakan warga Darul Makmur dan kecamatan lain. ”Turun hujan sebentar saja, banjir menggenangi permukiman kami,” kata Suratman, yang tinggal di Desa Sukarame. Pada September lalu, air masuk setinggi 10 sentimeter di rumahnya. Sebelumnya, menurut dia, banjir hanya terjadi setahun sekali pada puncak musim hujan. Itu pun tidak sampai masuk rumah.

Sebaliknya, pada musim kemarau, air bersih sulit diperoleh. Pompa air dengan daya isap 7 meter yang umumnya digunakan warga sudah tak mampu lagi menyedot air. Mau tak mau, kata Suratman, mereka harus menggunakan jet pump, karena kedalaman sumur sudah sekitar 15 meter. Dampak lain yang merugikan warga adalah hilangnya mata pencarian. ”Lele Rawa Tripa yang dulunya terkenal kini sulit diperoleh,” kata Suratman, yang lahir 46 tahun lalu di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya.

Menurut Suratman, sebagian lahan yang sudah dibuka PT Kallista Alam—dan menjadi lahan bermasalah—kini dikuasai warga lima desa di Darul Makmur. Tiap warga mendapat maksimal 2 hektare untuk ditanami pohon sawit. Sebenarnya YEL dan aktivis lingkungan pernah mengusulkan agar lahan itu dijadikan area konservasi. Namun pemerintah daerah tak merespons. Padahal, jika tidak ada penyelamatan sejak sekarang, lahan gambut dan orang utan di Rawa Tripa diperkirakan binasa beberapa tahun mendatang. Untung Widyanto