Majelis Ulama Indonesia terbitkan fatwa mengharamkan perburuan dan perdagangan satwa. Bukan fatwa pertama. Parisadha Hindu telah memfatwakan yang serupa tentang penyu, dan Dalai Lama tentang harimau. Bagaimana hasil implementasi ekoteologi ini?

Suara dari Kandang Schmutzer

“Dikeluarkannya fatwa ini merupakan tonggak sejarah penting untuk mengawal langkah perbaikan, penyelamatan dan pelestarian lingkungan yang kian kritis,” ujar Ketua Umum MUI Din Syamsuddin dalam peluncuran Fatwa MUI tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem di Schmutzer Media Center, Ragunan, Jakarta, pada Rabu (12/3). Hadir dalam acara itu Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan perwakilan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Fatwa MUI No.4 tahun 2014 itu sesungguhnya telah ditandatangani pada 22 Januari 2014 , dan  memuat empat aturan utama bagi pemeluk agama Islam terkait perlindungan satwa langka. Pertama, bahwa memperlakukan satwa langka dengan baik, dengan jalan melindungi dan melestarikannya guna menjamin keberlangsungan hidupnya hukumnya wajib. Kedua, satwa langka boleh dimanfaatkan untuk kemaslahatan sesuai dengan ketentuan agama Islam dan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, bahwa membunuh, menyakiti, menganiaya, memburu, dan/atau melakukan tindakan yang mengancam kepunahan satwa langka hukumnya haram (dilarang) kecuali ada alasan seperti melindungi dan menyelamatkan jiwa manusia. Keempat, bahwa melakukan perburuan dan/atau perdagangan ilegal satwa langka hukumnya haram.

“Fatwa harusnya menyadarkan kita bahwa manusia dan satwa merupakan kesatuan yang harus saling melindungi,” ujar Zulkifli Hasan yang juga menyampaikan sambutannya dalam acara peluncuran fatwa tersebut.

Majelis Ulama Indonesia didukung Kementrian Kehutanan meluncurkan fatwa No 14 tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka Untuk Keseimbangan Ekosistem di Schmutzer Media Centre Ragunan, Jakarta (12/3). Foto: Azhari Fauzi
Majelis Ulama Indonesia didukung Kementrian Kehutanan meluncurkan fatwa No 14 tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka Untuk Keseimbangan Ekosistem di Schmutzer Media Centre Ragunan, Jakarta (12/3). Foto: Azhari Fauzi

Hadirnya fatwa ini, menurut Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan Novianto akan memperkuat UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, serta PP No.7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Mifta Huda, staf MUI yang terlibat dalam tim perumusan menjelaskan bahwa terbitnya fatwa ini telah melalui proses kajian dan pertimbangan selama lebih kurang enam bulan. “Fatwa ini keluar menyusul adanya masukan dari LSM lingkungan yang menginformasikan tentang intensnya konflik antara satwa dan manusia,” ujarnya saat diwawancara Ekuatorial (7/3).

Bersama dengan Universitas Nasional (UNAS), World Wide Fund fo Nature (WWF), Fauna & Flora International dan Forum Harimau Kita, dorongan diberikan kepada MUI bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam dalam bentuk informasi mengenai kondisi satwa langka saat ini dan mengapa perlu dilestarikan.

Tinjauan lapangan pun dilakukan pada Oktober-November 2013 lalu ke Taman Nasional Tesso Nillo dan Suaka Margasatwa Rimbang Baling di Provinsi Riau. Diskusi dilakukan dengan pemangku daerah dan masyarakat mengenai konflik antara gajah dan manusia dan sosialisasi mengenai penelitian Harimau Sumatera.

Tim Fatwa MUI mendengarkan penjelasan dari peneliti WWF Indonesia mengenai penelitian Harimau Sumatera. Foto: CSaleh/WWF Indonesia
Tim Fatwa MUI mendengarkan penjelasan dari peneliti WWF Indonesia mengenai penelitian Harimau Sumatera. Foto: CSaleh/WWF Indonesia

Mifta memaparkan bahwa dari lapangan itu merupakan hasil pengamatan  yang memilukan dari perdagangan satwa liar, lalu dikaitkan dengan dalil di dalam Al-Qur’an dan Hadist, sehingga dirumuskanlah fatwa yang menjadi panduan perilaku bagi umat Islam.

“Kami sebagai pihak yang turut mendorong melihat perlu juga upaya konservasi dilakukan melalui pendekatan agama sebagai aspek moral, Indonesia kan mayoritas muslim,” ujar Chaerul Saleh, Koordinator Spesies WWF yang turut terlibat sejak awal dalam perumusan fatwa ini, kepada Ekuatorial (11/3).

Fachrudin Mangunjaya, salah satu perumus fatwa dari Pusat Pengkajian Islam UNAS, memberikan keterangan bahwa yang menjadi titik berat fatwa ini ialah perlindungan terhadap spesies ikon (flagship) seperti gajah, harimau, badak dan orangutan. Spesies flagship adalah jenis-jenis satwa yang berlaku sebagai ikon suatu habitat tertentu, dimana dengan mudah menarik perhatian untuk menjadi isu kampanye konservasi.

“Ini sebuah terobosan, sebuah upaya dalam rangka untuk membantu melestarikan satwa langka,” ujar Chaerul Saleh menanggapi fatwa MUI mengenai pelestarian satwa langka ini. “Sementara undang-undang terus ditegakan, munculnya fatwa ini bisa menjadi dukungan dari segi moral untuk berjalan secara paralel,” lanjutnya.

Surga Perdagangan Satwa

Menurut Kementerian Kehutanan, Indonesia memiliki sekitar 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17 persen satwa di dunia terdapat di Indonesia, dan merupakan habitat bagi satwa langka dunia.

Seperti yang telah disebutkan oleh Fachruddin, implementasi fatwa sementara ini difokuskan pada spesies flagship yang telah langka, seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Orangutan, Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), dan Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus). Satwa-satwa itu kini menanggung status Kritis atau critically endangered, kategori dengan risiko punah paling tinggi dalam Daftar Merah IUCN.

Perdagangan ilegal satwa liar bernilai antara USD 8 miliar sampai USD 10 miliar per tahunnya. Di Asia Timur dan Pasifik, “bisnis haram” kelima teratas—setelah perdagangan barang-barang palsu, illegal logging, obat terlarang dan palsu, dan limbah elektronik—ini, memainkan nilai peredaran uang hingga USD 2.5 miliar dan nilai di Indonesia mencapai Rp 9 miliar per tahun.

Data UNODC tahun 2011 menunjukkan bahwa nilai tertinggi perdagangan produk satwa liar di Asia Timur dan Pasifik ditempati oleh gading gajah, sekitar USD 200 juta. Menyusul trenggiling dengan nilai sekitar USD 130 juta, cula badak sekitar USD 40 juta, dan bagian tubuh harimau sekitar USD 10 juta.

Perdagangan satwa liar di Indonesia terjadi mulai dari pasar hewan, daerah-daerah pinggiran, penyelundupan aparat tak bertanggung jawab, sampai situs jual beli online. Menurut Profauna, di forum Kaskus saja pada Januari 2014 ada 220 iklan satwa atau bagian tubuh satwa dilindungi.

Ada sedikitnya 22 jenis satwa langka yang diiklankan antara lain gading gajah, penyu sisik, kukang, lutung jawa, elang jawa, kulit harimau, cendrawasih, kucing hutan, surili, kakaktua raja dan trenggiling. Satwa langka yang sudah dilindungi tersebut ditawarkan dengan harga bervariasi. kukang ditawarkan seharga Rp 200 ribu, siamang Rp 3 juta, Elang Jawa Rp 2 hingga 5 juta dan nuri kepala hitam Rp 1 juta.

Penelusuran tim Ekuatorial sendiri terhadap situs jual beli online menemukan bahwa produk satwa liar yang paling banyak diiklankan adalah gading gajah. Tim bahkan menemukan sebuah situs penjualan kulit harimau utuh secara terbuka pada blog harimauawetan.

Untuk jenis satwa yang paling diminati dalam perdagangan, Chaerul Saleh menanggapi, “Makin langka, makin dicari orang dan punya gengsi yang besar, harga makin tinggi.” Kemudian ia menyebutkan bahwa kulit harimau utuh beberapa tahun lalu di Indonesia dihargai Rp 15 juta; burung rangkong gading Rp 3-5 juta per kepala; sedangkan gading gajah dihargai per kilo. Menurut data Profauna, gading gajah utuh dijual seharga Rp 14 juta per kilogram, sedangkan yang dalam bentuk pipa rokok dijual seharga antara Rp 150.000 hingga Rp 2,5 juta.

Penyitaan kulit harimau pada operasi BKSDA di Payakumbuh, Sumatera Barat dengan dukungan Unit Perlindungan Harimau WWF Indonesia. Foto: WWF Indonesia
Penyitaan kulit harimau pada operasi BKSDA di Payakumbuh, Sumatera Barat dengan dukungan Unit Perlindungan Harimau WWF Indonesia. Foto: WWF Indonesia

Selain beredar lokal, satwa liar Indonesia juga diimpor ke negeri-negeri seberang. “Yang sekarang banyak diekspor itu trenggiling, karena baik sisik dan daging punya nilai jual yang cukup besar,” ujar Chaerul Saleh. Trenggiling paling sering diselundupkan ke Cina, kemudian Korea Selatan, dan Singapura. Ia menambahkan informasi pasar baru di Asia untuk gading gajah adalah Vietnam.

Sedangkan untuk harimau, sebuah kajian oleh Oswell tahun 2010, menunjukkan bahwa persebaran Harimau Sumatera dimulai dari Sumatera ke Malaysia, kemudian Myanmar. Dari Myanmar ada yang langsung ke Cina, ada juga yang dibawa melalui laos, Vietnam, baru ke Cina.

Berhenti dalam Semalam

Berawal dari pernyataan Pangeran Charles pada London Conference on the Illegal Wildlife Trade tanggal 13 Februari 2014 lalu mengenai perdagangan satwa liar di dunia telah menjadi isu dunia yang krusial. Bahkan agama-agama besar dunia—Buddhisme, Kristian, Yahudi, Islam, dan Tao—telah menyatakan perlawanan terhadap perdagangan satwa liar.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan juga telah menyampaikan fatwa ini dalam forum internasional itu. Sejak itu, sorotan terus berdatangan kepada fatwa pertama di dunia yang mengatur perlindungan satwa liar ini. Sebagai aturan resmi dari otoritas keagamaan di suatu negara hal itu benar adanya, namun sebagai pendekatan religius yang mendorong pergerakan konservasi, fatwa MUI itu bukanlah yang pertama di dunia.

Menurut informasi Alliance of Religions and Conservation (ARC)—aliansi keyakinan dan konservasi lingkungan hidup dunia yang berpengaruh—pada situsnya, pendekatan agama untuk perlindungan satwa telah dimulai di beberapa tempat jauh sebelum ini. Pada tahun 1990 di Yaman, telah ada aturan agama (mufti) setempat yang mencegah perburuan cula badak yang pada masa itu banyak digunakan sebagai gagang pisau.

Dalai Lama pada tahun 2005 pun tegas memerangi perburuan harimau di Tibet yang biasanya diambil kulitnya untuk baju hangat. Orang-orang Tibet pun menghentikan perburuan dalam semalam setelah Dalai Lama menyatakan bahwa membunuh spesies terancam punah merupakan pelanggaran terhadap ajaran Buddha.

Istimewanya, fatwa MUI ini  menjadi sorotan dunia selain karena sifatnya yang resmi di bawah otoritas negara, juga karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam dan Indonesia merupakan “tambang” perburuan satwa liar untuk perdagangan dunia. Pergerakan perlindungan satwa liar di Indonesia dapat memengaruhi dunia.

 Bhisama Penyu dari Bali

Fatwa serupa juga dikeluarkan Parisadha Hindu Indonesia untuk mengatur penggunaan Penyu Hijau (Chelonia mydas) dalam upacara keagamaan. Fatwa atau dalam Hindu disebut Bhisama itu  adalah Bhisama PHDI Pusat Nomor 05/Bhisama/Sabha Pandita PHDIP/VIII/2005 tentang Tata Penggunaan Sumber Daya Hayati Langka dan/atau Terancam Punah dalam Upakara Keagamaan Hindu.

Sejak Bhisama itu diterbitkan, jumlah pemakaian penyu dalam upacara Hindu khususnya di Bali, turun sangat drastis, hampir 90 persen.

“Sejak diatur dalam bhisama itu, perdagangan penyu turun drastis, perdagangan tinggal 5 persen dibandingkan sebelum Bhisama,” ujar I Wayan Geria, Kepala Pusat Pendidikan dan Konservasi Penyu (Turtle Conservation and Education Center-TCEC) di Bali, saat diwawancara oleh Ekuatorial (12/3).

Geria juga menyebutkan bahwa data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) tahun 1990-an menunjukkan bahwa perdagangan ilegal penyu Indonesia di Bali dulu mencapai 25-30 ribu pertahunnya. Sekarang, Geria memperkirakan jumlah maksimum perdagangan penyu di Bali sekitar 500 ekor. Ia mengaku tidak memiliki catatan mengenai hal ini, namun perkiraannya diacu pada jumlah kasus yang ia perhatikan setiap tahunnya. “Dari Januari 2014 saja hanya 17 ekor yang tertangkap diperdagangkan,” lanjutnya.

Pada dasarnya bhisama ini lahir untuk mengatur secara resmi penggunaan penyu untuk upacara adat di Bali. Penggunaan penyu untuk upacara adat di Bali diizinkan 1-2 ekor, tanpa memperhatikan besar atau kecil, dengan mendapatkan rekomendasi dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai badan otoritas agama Hindu di Indonesia, dan diajukan kepada BKSDA Bali.

“Penyu harus diambil dari penangkaran, hasil pembesaran, dan dengan rekomendasi PHDI. Kalau tak ada blanko resmi itu, BKSDA tidak akan kasih, mereka tegas,” ujar I Gusti Ngurah Sudiana, Ketua PHDI Provinsi Bali, kepada Ekuatorial (11/3).

Tahun 1980-1990an, permintaan penyu di Indonesia membludak untuk diimpor ke negara-negara lain. Bali dinilai sebagai sentra perdagangan penyu saat itu karena memiliki kebutuhan sendiri terhadap penyu untuk upacara adat. Penyu Hijau sendiri sudah punah di Bali pada tahun 1990-an. Penyu didatangkan dari pulau-pulau lain: Kalimantan, Sulawesi, Flores, dan lainnya.

“Saat itu undang-undang sudah ada, UU No.5 tahun 1990 kan, tapi tidak ada tindakan dari aparat penegakan hukum,” ucap Geria seraya menceritakan banyaknya aparat keamanan yang justru mengambil keuntungan dari perdagangan penyu saat itu.

Diterapkannya bhisama ini memperjelas jumlah penyu yang digunakan untuk upacara adat di Bali. Berdasarkan data TCEC, penggunaan penyu untuk upacara adat di Bali tidak sampai 100 ekor pertahunnya, selama ini paling banyak menggunakan 86 ekor. Padahal data BKSDA menunjukkan perdagangan dan konsumsi penyu di Bali pada tahun 1990-an mencapai puluhan ribu.

Lawar penyu di Bali membutuhkan penyu secara simbolik dimana hanya bagian kepala dan bagian tubuh dalam penyu yang dipakai. “Sisanya jadilah sate dimakan orang-orang, inilah yang jadi perdagangan bertameng upacara adat,” jelas Geria.

Oleh karena itu, kemudian PHDI yang juga didorong oleh Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dan TCEC mengajukan kerjasama secara resmi kepada pemerintah untuk mengizinkan penggunaan penyu untuk upacara adat dengan ketentuan yang berkelanjutan.

Sejak bhisama ini lahir, tidak bisa lagi perdagangan dan konsumsi penyu secara liar dilakukan dengan “menitip” pada dalih upacara adat. “Jadi bhisama ini juga untuk menangkis tuduhan kalo penyu di Bali habis untuk upacara. Dan sekarang untuk upacara sudah ndak susah,” tutur Sudiana.

Apa Setelah Fatwa?

Sudiana mengakui, untuk peraturan religius semacam ini, tantangan utamanya ada pada sosialisasi. “Kami ke desa-desa, temui pendeta-pendeta daerah untuk sosialisasikan ini. Kami berikan blanko dan ajari cara pengisian dan prosedurnya,” jelas Sudiana.

Terkait dengan fatwa MUI, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan Novianto mengatakan, “Saat ini Kemenhut sedang bekerjasama dengan MUI dalam menciptakan perangkat praktis agar bisa disosialisasikan ke setiap lapisan masyarakat.”

Din Syamsudin menyampaikan bahwa secara institusi MUI akan menyerukan para mubaligh agar lebih intensif mengangkat tema lingkungan hidup dalam ceramah. Zulkifli Hasan pun menerangkan bahwa Kementerian Kehutanan dan MUI telah memiliki kesepakatan kerjasama untuk memberikan materi pelatihan pada para mubaligh mengenai topik konservasi dan lingkungan hidup secara luas.

“Tantangan kami sekarang adalah mencari jalan dan metode pengukuran efektivitas fatwa ini dan bagaimana mendorong agar ini berjalan baik,” Chaerul Saleh WWF mengakui.

Dr. Fachrudin dari UNAS menambahkan bahwa implementasi untuk sementara waktu difokuskan di kawasan yang termasuk dalam lokasi proyek WWF seperti di Rimbang Baling, Riau dan Ujung Kulon, Banten. “Akademisi UNAS akan terlibat dalam pemantauan program. Pemantauan dilakukan dalam bentuk riset ilmiah secara berkala, untuk mengukur efektivitas fatwa dalam menekan angka perburuan dan perdagangan satwa liar,” jelasnya.

Menyinggung peran agama lainnya dalam perlindungan satwa, Mifta mengatakan bahwa MUI sudah berencana melakukan pertemuan ekoteologi yang mengundang pemukan agama lain dalam waktu dekat.

Dalam konteks internasional, MUI merencanakan untuk membuat terjemahan fatwa ini ke dalam berbagai bahasa. Agar fatwa ini dapat menjadi rujukan untuk dunia internasional dalam penggunaan dalil agama untuk perlindungan satwa. Ratih Rimayanti & Azhari Fauzi

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.