“Pertanian memerlukan lahan, sedangkan perhutanan memerlukan perlindungan,” ujar Dr. Cherryta Yunia, Kepala Subdit Konservasi Lahan Basah Kementerian Kehutanan, Rabu (26/2) di Bogor pada acara Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia yang digelar Wetlands International. Pernyataan itu menggambarkan latar belakang diambilnya tema Hari Lahan Basah Sedunia tahun 2014 yang diperingati setiap  2 Februari, yaitu Lahan Basah dan Pertanian.

Moderator, Wahyu Utami Tulis Wiyati, Dr. Cherryta Yunia, I Nyoman Suryadiputra (kiri ke kanan). Foto: Ratih Rimayanti
Moderator, Wahyu Utami Tulis Wiyati, Dr. Cherryta Yunia, I Nyoman Suryadiputra (kiri ke kanan). Foto: Ratih Rimayanti (26/2)

Direktur Wetlands International Indonesia I Nyoman Suryadiputra juga menjelaskan, pertanian kini menjadi salah satu ancaman bagi lahan basah terkait penggunaan lahan. “Jumlah penduduk kan semakin banyak, pertanian semakin dibutuhkan, lahan untuk pertanian semakin habis, kemudian lahan basah mulai digunakan,” ujarnya. Ia menyebutkan bahwa luas lahan basah di Indonesia mencapai kurang lebih 60 juta ha dan sebagian besarnya merupakan lahan gambut, yaitu hampir 20 juta ha.

Lahan gambut, sebagai salah satu komponen lahan basah di samping ekosistem mangrove, sungai, danau, dan rawa, juga menyimpan sebagian besar persediaan air tawar. Namun,  lebih dari 50 persen lahan gambut di Indonesia telah dialihkan menjadi perkebunan kelapa sawit, seperti di Kalimantan Tengah, Jambi, dan Riau.

Nyoman mengatakan, mengutip dari beberapa penelitian lembaga lain, perkebunan kelapa sawit telah merambah lahan gambut di Indonesia lebih dari 9 juta ha. Data Wetlands International sendiri menunjukkan di Kalimantan Tengah saja sudah 1,5 juta ha sawit yang menutupi lahan gambut. Padahal, kelapa sawit bukanlah tanaman asli gambut dan teruji sangat tidak cocok untuk lahan gambut di Indonesia yang dalam.

“Gambut bisa amblas terus mencapai 1,5 meter dalam 30 tahun. Terbukti banyak sawit yang akhirnya tumbang dan banjir, seperti yang terjadi di Riau. Dan gambut yang sudah amblas, tidak dapat dikembalikan,” ujar Nyoman seraya menjelaskan bahwa dampaknya saat ini belum terlalu dirasakan oleh perusahaan sawit, karena sawit di Indonesia belum sampai satu siklus.  Pohon kelapa sawit memiliki siklus hidup sekitar 25 tahun.

Nyoman juga menyebutkan bahwa tak hanya lahan gambut yang menghadapi banyak masalah pertanian, mangrove kini mulai dirambah juga untuk perkebunan kelapa sawit. “Seperti di Sulawesi Barat, sebentar lagi akan masuk Gorontalo, dan yang paling heboh itu di Mentawai,” disebutkan Nyoman.

Pertanian, di sisi lain, justru bisa menjadi solusi pengelolaan lahan basah secara baik, diucapkan oleh Wahyu Utami Tulis Wiyati, Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Ekosistem Perairan Darat Bidang Rawa Kementerian Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, penting sekali memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai sistem pertanian yang cocok untuk lahan basah, misalnya gambut. “Tanaman aslinya apa, bagaimana cara tanamnya, dan apa sih sebenarnya gambut itu. Sehingga mereka tidak lagi membakar lahan gambut untuk pertanian,” ujarnya.

Wahyu Utami membawa satu contoh usaha pengelolaan lahan gambut melalui pertanian di Kalimantan Tengah.“KLH bekerjasama dengan IPB (Institut Pertanian Bogor) memperkenalkan sistem agroforestri kepada masyarakat di Jabiren, Kalimantan Tengah. Masyarakat diajarkan menanam jelutung, tanaman asli gambut yang bernilai ekonomis tinggi.”

Wahyu mengatakan bahwa getah jelutung (Dyera spp.) merupakan bahan baku permen karet berkualitas tinggi, bahkan lebih bagus dari karet. Nilai jualnya tinggi, pangsa pasarnya juga tinggi, terutama dikirim ke Jepang. Namun, pasar jelutung di masih dikuasai oleh Malaysia dan Singapura, padahal potensi penghasil utama jelutung di Kalimantan.

Berdasarkan sebuah penelitian oleh Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, menanam jelutung bahkan terbukti lebih menguntungkan secara ekonomis daripada menanam karet. Setiap satu hektar jelutung, uang yang dapat dihasilkan mencapai 6 juta rupiah perbulan, setelah datang masa panen yaitu lima tahun setelah penanaman.

Jelutung, dari segi ekologis juga menguntungkan bagi ekosistem gambut sendiri. “Akar serabut jelutung menyebar secara vertikal di dalam tanah, sehingga tanah tidak akan turun karena ditahan oleh akar,” ujar Wahyu yang kemudian menambahkan bahwa ini baik bahkan untuk ekosistem gambut dalam.

“Sekarang di Kalimantan sedang tren mengembangkan gaharu di lahan-lahan gambut yang sudah terdegradasi,” ujar Wahyu menutup ceritanya. Ratih Rimayanti

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.