Jakarta, Ekuatorial. Kabupaten/Kota di Indonesia memiliki daya tahan rendah menghadapi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan masyarakat. Indonesia bisa terancam tak mencapai target penurunan penderita malaria tahun 2015.

Kementerian Kesehatan Indonesia sejak awal 2013 lalu telah bekerja sama dengan Pusat Penelitian Perubahan Iklim-Universitas Indonesia atau RCCC-UI untuk melakukan kajian pemetaan dan model kerentanan kesehatan akibat perubahan iklim di 21 Kabupaten/Kota. Hasil penelitian itu disampaikan dalam acara dalam pemaparan hasil Kajian Kerentanan Akibat Perubahan Iklim Pada Penyakit DBD dan Malaria di Santika TMII Jakarta, Kamis (17/4).

Kesimpulan dari penelitian tersebut antara lain, tingkat resiliensi seluruh Kabupaten/Kota yang diteliti ternyata memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap malaria dan DBD, karena ketidakmampuan mereka menghadapi dampak perubahan iklim.

Menurut Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Wilfred H. Purba, kendala yang dihadapi pemerintah dalam mengendalikan penyakit tersebut, selain perubahan iklim adalah masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat akan penyakit tersebut juga dampak yang ditimbulkan. “Kendala lainnya adalah keterbatasan SDM kesehatan yang berkualitas terutama di daerah terpencil, dan kondisi geografis, juga penyebaran nyamuk yang sudah meluas,”ungkapnya.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama pernah mengungkapkan bahwa, “Indonesia merupakan wilayah endemik untuk beberapa penyakit yang perkembangannya terkait dengan pertumbuhan vektor pada lingkungan, seperti DBD dan Malaria.”

Terkait dampak pemanasan global terhadap siklus hidup vektor penyakit, penelitian itu menyimpulkan jika terjadi kenaikan suhu 2 – 2,5 derajat Celcius pada tahun 2100 atau per dekade mencapai 0,2 derajat celcius, maka menurut Ketua Bidang Riset RCCC-UI Budi Haryanto, dapat menyebabkan perubahan pula pada nyamuk penyebar penyakit DBD dan Malaria. “Kenaikan suhu dapat membuat rata-rata kehidupan nyamuk menjadi lebih pendek, namun frekuensi makannya lebih sering,”katanya.

Rata-rata suhu optimum untuk perkembangbiakan nyamuk malaria ada pada kisaran 25-27 derajat Celcius dan waktu hidup 12 hari. Tapi karena pemanasan global, suhu optimum itu berubah menjadi 32-35 derajat celcius yang mempercepat metabolisme nyamuk, sehingga nyamuk cepat dewasa dan waktu hidupnya 7 hari saja. Selama kurun waktu seminggu itu, frekuensi makannya juga menjadi lebih sering dan cepat, dan ukuran nyamuknya juga lebih kecil dan lebih gesit.

Untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, Kementerian Kesehatan telah merintis upaya adaptasi yang salah satunya dituangkan dalam Permenkes No. 1018/Menkes/Per/V/2010 tentang strategi adaptasi perubahan iklim terhadap kesehatan. Upaya adaptasi lainnya antara lain menyusun Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap ICCSR yang telah selesai tahun 2010; menyusun draft pedoman pemetaan faktor risiko lingkungan akibat perubahan iklim dan modul perubahan iklim; dan melakukan kajian health impact assessment (HIA) di 3 Kabupaten/Kota.

Perubahan iklim memang berdampak sangat serius terhadap kesehatan manusia secara global. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2012 misalnya menyatakan, bahwa bila suhu global naik 2-3ºC maka terdapat 3-5 persen penduduk dunia yang berisiko terkena malaria, dan itu berarti jumlahnya mencapai ratusan juta orang. Saat ini saja malaria menjadi pandemi di berbagai negara tropis.

Kasus malaria di Indonesia yang terjadi di Papua dan Papua Nugini sangat populer di mata para peneliti dunia. Di kedua lokasi itu, penyakit malaria mulai merambat ke daerah yang lebih tinggi sejak akhir dekade 1940an ketika masyarakat dari dataran tinggi dipaksa bekerja di kawasan perkebunan di dataran rendah yang merupakan sarang nyamuk malaria.

Walaupun malaria telah ditemukan menjadi epidemi di dataran tinggi Papua sejak 1950an, tetapi terbatas pada anggota suku yang terjangkit sebelumnya di dataran rendah. Suku-suku dataran tinggi di Papua tetap dikenal sebagai suku “anti-malaria” sampai tahun 1960an, ketika terjadi pembabatan hutan dan pembukaan lahan skala besar. Hutan yang rusak berarti rusak pula “habitat persembunyian” spesies nyamuk malaria dataran tinggi. Akibatnya, penyakit itupun menyebar sampai ketinggian 3.600 m dari permukaan laut yang umumnya dikenal sebagai daerah dingin. Pemanasan global pun memperparah penyebarannya sampai sekarang.

Dampak Terhadap Kesehatan

Peneliti dari Puslitbang Kementerian Kesehatan Supratman Sukowati mengungkapkan, curah hujan yang ekstrim dan tinggi sebagai salah satu dampak perubahan iklim, dapat menimbulkan berbagai penyakit mulai dari gatal, diare, kolera, hingga filariaris (kaki gajah) yang disebabkan cacing, penyakit leptospirosis yang menyerang ginjal dan hati yang disebabkan oleh kencing tikus, dan penyakit batuk, influenza, dan sesak napas karena perubahan cuaca yang tak menentu.

Peneliti dari Australian National University Anthony Mc.Michael juga sampai pada kesimpulan yang hampir sama, bahwa perubahan iklim telah menyebabkan berubahnya curah hujan, suhu, kelembapan, dan arah udara, sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan, serta berpengaruh terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes aegypti, dan Anopheles sp.

“Selain dampak langsung berupa menyebarnya berbagai penyakit, perubahan iklim juga dapat menyebabkan kebakaran hutan yang menghabiskan plasma nuftah yang banyak diantaranya merupakan bahan dasar obat-obatan,” kata Ketua RCCC UI Jatna Supriatna.

Data penyebaran demam berdarah dengue (DBD) dari WHO menunjukkan, pada tahun 1997 lebih dari 50 juta masyarakat dunia terinfeksi DBD sedangkan yang berpotensi tertular DBD karena perubahan iklim jumlahnya jauh lebih banyak yaitu sekitar 2,5 miliar orang. Lebih dari 70% atau sekitar 1,8 miliar kasus itu berpotensi terjadi itu terjadi di Asia Tenggara.

Sementara itu menurut WHO Asia Tenggara, saat ini infeksi DBD di Indonesia sudah menebar di lebih dari 29 provinsi di Indonesia dan meningkat secara signifikan mencapai 80.065 kasus pada tahun 2010, namun hingga saat ini belum ditemukan vaksin maupun obat yang efektif untuk menyembuhkan penyakit ini. Kementerian Kesehatan menyatakan kasus malaria di Indonesia masih tinggi, 70 persen di antaranya di wilayah timur terutama di diantaranya Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi dan Nusa Tenggara

Kajian Produktivitas

Tingkat kesehatan penduduk berkaitan erat dengan produktivitas, sehingga berhubungan pula dengan perekonomian suatu negara. John Dunne seorang oseanografer dari kantor NOAA di New Jersey, Amerika Serikat, telah meneliti dampak suhu ekstrim terhadap produktivitas orang Amerika. Kesimpulannya, kenaikan suhu 2 derajat Celcius akan menyebabkan terjadinya serangan suhu panas yang ekstrim (heat stroke) yang akan mengurangi produktivitas pekerja sampai 80 persen. “Itu artinya dalam cuaca panas yang ekstrim produktivitas mereka maksimal hanya 20 persen,”katanya seperti diterbitkan dalam Jurnal Nature Climate Change. Bahkan ketika kenaikan suhu itu mencapai 3 derajat Celcius, produktivitasnya tinggal 10 persen saja.

Sayangnya, sampai tahun 2014 ini, Indonesia belum menghasilkan sebuah dokumen yang mengkaji dampak perubahan iklim terhadap produktivitas masyarakat. Laporan tentang berapa tambahan ongkos kesehatan secara nasional akibat perubahan iklim, juga belum dihasilkan sampai saat ini.

Bayangkan saja ongkos kesehatan dan produktivitas yang harus dibayar bila tak ada tindakan apa-apa yang dilakukan terhadap dampak perubahan iklim. Bila seorang supir taksi menderita demam berdarah dan rata-rata dirawat di rumah sakit Indonesia selama 5 hari, maka pendapatannya yang hilang sekitar Rp500-700 ribu, belum terhitung kehilangan produktivitas dari anggota keluarga yang menungguinya di rumah sakit.

Bila ada tambahan pasien DB sekitar 10.000 orang saja dari berbagai profesi, maka selain produktivitas orang Indonesia melorot tajam, biaya kesehatan yang dikeluarkan juga bertambah. Hitung pula penyakit lain akibat perubahan iklim yang bisa saja menjadi epidemi secara bersamaan, seperti penyakit-penyakit yang muncul secara bersamaan setelah banjir besar di perkotaan.

Target Penurunan Malaria

Menurut Tjandra Yoga, bila melihat dampak perubahan iklim tersebut, maka isu penyakit menular akan menjadi isu besar dalam di tahun 2015, ketika Indonesia menargetkan angka kesakitan akibat malaria per tahun atau Annual Parasite Incidence (AMI) dapat mencapai 1 per 1.000 penduduk. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2013, tingkat API Indonesia masih di angka 1,38 per 1000 orang atau telah menurun 0,31 dibandingkan data tahun 2012.

“Sebenarnya beberapa daerah di Indonesia sudah meninggalkan angka 1 sesuai target 2015, namun karena di wilayah Indonesia timur masih tinggi ,” kata Tjandra Yoga. Ia juga menyebutkan, masih ada sekitar 208 juta orang Indonesia saat ini tinggal di daerah yang API sudah mencapai satu bahkan kurang dari satu, atau tengah dalam proses eliminasi malaria.

Namun, bila melihat ringkat kerentanan yang relatif tinggi pada sebagian besar dari 21 Kabupaten/Kota yang diteliti tim Kementerian Kesehatan itu, Tjandra Yoga belum dapat memastikan secara tegas bahwa target API 1/1000 itu akan tercapai tahun 2015 nanti.

IGG Maha Adi

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.