Jakarta, Ekuatorial – Sebelas provinsi terpilih melakukan konsultasi dan konsolidasi penerapan program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation) di kantor operasinal Badan Pelaksana (BP) REDD+, Jakarta, 2-3 April. Kesebelas provinsi mitra BP REDD+ tersebut adalah Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Papua dan Papua Barat.

Dalam sambutannya, ketua BP REDD+ Heru Prasetyo menjelaskan bahwa sebelas provinsi ini dipilih karena kaya akan sumberdaya hutan dan lahan gambut. “Sembilan provinsi merupakan hasil konsultasi dengan Kementrian Kehutanan, sedangkan dua provinsi yakninya Sumbar dan Sulteng dipilih karena status khusus. Di Sumbar karena ada pengelolaan hutan berbasis nagari, sedangkan Sulawesi Tengah masuk dalam daftar sebab sebelumnya UN-REDD (sekarang UNORCID) sudah menjalankan programnya di wilayah tersebut,” ungkap Heru.

Selanjutnya, Heru mengingatkan kembali bahwa BP REDD+ tidak hanya menggarisbawahi masalah emisi, lebih dari karbon dan tidak hanya hutan. “Hutan kita sangat kaya dengan hal-hal yang tidak melulu karbon. Hutan seringkali kita cederai karena kita sering tidak memperhatikan ada kekayaan lain yang bukan sekedar kayu, bahan tambang, atau bahkan karbon,” jelasnya.

Saat disinggung mengenai langkah yang nantinya akan dilakukan, Kepala Operasional BP REDD+, William Sabandar memaparkan bahwa BP REDD+ sebagai penanggung jawab nasional memiliki 10 aksi imperatif pada tahun 2014 ini. Aksi tersebut meliputi (i) pemantauan penundaan izin baru (moratorium), (ii) penataan perizinan, (iii) fasilitasi penegakan hukum, (iv) dukungan pemetaan hutan adat dan penguatan kapasitas masyarakat adat, (v) dukungan penanganan kebakaran hutan dan lahan gambut, (vi) program desa hijau, (vii) program sekolah hijau, (viii) fasilitasi resolusi konflik, (ix) fasilitasi penyelesaian RTRW dan (x) program strategis untuk mengawal dan mengembangkan taman nasional dan hutan lindung.

Koordinator Bidang Perencanaan dan Pendanaan Program BP REDD+ Agus Sari, dalam paparannya menjelaskan bahwa pendanaan REDD+ di Indonesia dijalankan dengan sistem FREDDI (Funding Instruments for REDD+ in Indonesia). Ia berharap, dengan metode ini bisa menjadikan masyarakat sebagai bagian dari program yang berkelanjutan. “Kesejahteraan masyarakat harus tetap berlanjut walaupun program REDD+ sudah selesai di daerah tersebut,” harap Agus.

Menyinggung dana sebesar 1 miliar Dolar yang dijanjikan oleh Norwegia, Agus menerangkan bahwa dana tersebut akan dibagikan dalam tiga tahapan. Pada tahap pertama sebesar 30 juta USD sudah terpakai untuk pembentukan badan pengelola, moratorium lahan, pembuatan peta digital hutan, gambut, dan konsesi serta evaluasi perizinan, sedangkan tahap kedua sejumlah 170 juta dan pada tahap akhir sebesar 800 juta USD. “Namun jumlah 1 milyar USD ini sebenarnya tidaklah besar, hanya mencukupi 20% dari kebutuhan aktual pengurangan emisi secara nasional yang ditargetkan mencapai 26%,” ujarnya. Azhari Fauzi & Januar Hakam

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.