The Role of Production Forests in Emissions Reduction Discussion (Irsyal Yasman, Wandojo Siswanto, Ari Wibowo – left to right) (29/4). Photo: Januar Hakam
The Role of Production Forests in Emissions Reduction Discussion (Irsyal Yasman, Wandojo Siswanto, Ari Wibowo – left to right) (29/4). Photo: Januar Hakam
The Role of Production Forests in Emissions Reduction Discussion (Irsyal Yasman, Wandojo Siswanto, Ari Wibowo – left to right) (29/4). Photo: Januar Hakam
The Role of Production Forests in Emissions Reduction Discussion (Irsyal Yasman, Wandojo Siswanto, Ari Wibowo – left to right) (29/4). Photo: Januar Hakam
The Role of Production Forests in Emissions Reduction Discussion (Irsyal Yasman, Wandojo Siswanto, Ari Wibowo – left to right) (29/4). Photo: Januar Hakam
The Role of Production Forests in Emissions Reduction Discussion (Irsyal Yasman, Wandojo Siswanto, Ari Wibowo – left to right) (29/4). Photo: Januar Hakam
Pandangan umum mengenai hutan produksi sebagai wilayah yang sarat terjadi deforestasi untuk kebutuhan ekonomi memang benar adanya. Namun, hutan produksi ternyata mampu mengurangi emisi karbon layaknya hutan lainnya.

Hal itu diungkapkan Direktur Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan Auria Ibrahim dalam Diskusi Peran Hutan Produksi Dalam Penurunan Emisi di Gedung Manggala Wanabakti Jakarta (29/4).

Diskusi Peran Hutan Produksi Dalam Penurunan Emisi (Irsyal Yasman, Wandojo Siswanto, Ari Wibowo – dari kiri ke kanan) (29/4). Foto: Januar Hakam
Diskusi Peran Hutan Produksi Dalam Penurunan Emisi (Irsyal Yasman, Wandojo Siswanto, Ari Wibowo – dari kiri ke kanan) (29/4). Foto: Januar Hakam

Membenarkan hal tersebut, Direktur Program Terestrial The Nature Conservancy (TNC) Herlina Hartanto mengatakan, “Hutan alam yang dikelola untuk tujuan produksi sebenarnya juga mampu menyumbang kontribusi pengurangan emisi bila praktik-praktik pembalakan dilakukan dengan baik, misalkan dengan penerapan pembalakan berdampak rendah karbon (Reduce Impact Logging-Carbon/RIL-C).”

Ari Wibowo Peneliti Madya Kementerian Kehutanan mempertegas bahwa potensi hutan produksi untuk mitigasi perubahan iklim dinilai memiliki kontribusi cukup besar. “Luas hutan produksi (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di Indonesia yang seluas 56 juta hektar dari hasil perhitungan mampu menyimpan karbon sebesar 9,52 gigaton karbon,” ujarnya.

Namun, Irsyal Yasman Direktur bisnis dan manajemen hutan NRDC (Natural Resources Development Center) menyayangkan hutan produksi di Indonesia pada umumnya belum dikelola dengan baik. “Di tambah lagi hutan produksi yang mencakup 58% dari luas hutan seluruh Indonesia belum memiliki perumusan peran dan kontribusinya dalam pengurangan emisi gas rumah kaca, termasuk dalam program REDD+,” pungkasnya..

Sementara itu program REDD+ yang dicanangkan dari kerjasama Indonesia dengan Norwegia untuk mengurangi 26% karbon pada tahun 2020 dinilai perlu melihat potensi hutan produksi. REDD+ juga perlu merangkul semua pihak yang berkecimpung di sektor kehutanan, termasuk kemenhut, perusahaan perkebunan hingga kalangan masyarakat lokal.

Terkait program REDD+ , Auria menyarankan REDD+ dapat memberikan insentif kepada pihak yang mampu mengimplementasikan RIL-C dalam kegiatan mereka. Menurutnya semua pihak harus mendapat insentif karena telah melakukan kontribusi yang cukup besar untuk penurunan emisi.

Dalam acara tersebut juga diluncurkan 8 buah buku oleh TNC dari hasil kerjasamanya dengan Kementerian Kehutanan Indonesia, Responsible Asia Forestry and Trade (RAFT), Pemerintah Australia, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia dan beberapa partner lainnya. Buku-buku tersebut memuat informasi tentang pemanfaatan dan pengelolaan hutan produksi secara lestari.

“Inti dari buku-buku yang kami buat adalah petunjuk teknis dan informasi bagaimana manajemen pembalakan hutan produksi mampu menopang kehidupan dan berkontribusi dalam penurunan emisi karbon (RIL-C),” ujar Herlina.

Auria mengapresiasi peluncuran buku tersebut dan mengatakan bahwa peluncuran buku ini dapat jadi inspirasi dalam pembuatan kebijakan ke depannya untuk pencapaian manajemen hutan secara berkelanjutan.

RIL-C itu sendiri merupakan teknik manajemen pengelolaan kegiatan pembalakan untuk mengurangi dan mencegah kerusakan. TNC saat ini sudah menguji coba RIL-C pada 10 hektar lahan dan diklaim mampu meminimalisasi kerusakan secara nyata. Herlina menambahkan dari hasil riset yang dilakukan, RIL-C mampu mengurangi kerusakan hutan hingga 50% dan mencegah pelepasan emisi karbon sampai 30% jika dibandingkan dengan pembalakan konvensional.

Terkait dengan implementasi RIL-C, TNC memperkenalkan teknik Monocable winch yang diklaim mampu mengurangi dampak negatif dari pembalakan hutan. Dengan teknik ini tanaman akan selektif ditebang tanpa merusak tanaman-tanaman lain sehingga emisi akan berkurang begitu juga limbah yang dihasilkan. “Selain itu, perusahaan juga tidak memerlukan banyak alat berat lagi sehingga dapat menghemat biaya,” pungkas Herlina. Januar Hakam.

Teknik Monocabel Winch. Foto: Aji Wihardandi – The Nature Conservancy
Teknik Monocabel Winch. Foto: Aji Wihardandi – The Nature Conservancy

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.