Ada ancaman di balik cerahnya langit Jakarta selama wabah Covid-19. Dan pemerintah diragukan mau mengantisipasi ancaman itu.

Oleh May Rahmadi

JAKARTA. Sekitar pekan kedua April 2020, tagar langit Jakarta (#langitjakarta) menjadi trending topic di linimasa Twitter. Para warganet membagikan gambar langit Jakarta yang sedang cerah-cerahnya: perpaduan biru muda dan putih. Latarnya, tentu gedung-gedung bertingkat.

 

Ada pula gambar yang menunjukkan bahwa Gunung Salak di Bogor nampak dari Jakarta, pemandangan yang jarang dijumpai sebelumnya. Aktivitas berbagi gambar ini menjadi selingan di tengah rentetan kabar tentang kasus Covid-19 di Indonesia.

Komisi Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) – LSM yang fokus mengurusi soal kualitas udara – sebelumnya telah memprediksi kondisi tersebut. Sebabnya adalah pemberlakuan pembatasan aktivitas di Ibu Kota, yang menjadi epicentrum virus corona jenis baru (SARS-CoV-2).

“Kami prediksi itu kan pada 10 hari pertama (pembatasan aktivitas) itu kan ada penurunan (polusi udara). Makanya, kami berani memprediksi (akan ada penurunan polutan lag). Sebenarnya logis saja ya, kan dengan adanya social distancing—sekalipun tempo hari belum skala besar – itu kan pasti ada penurunan kegiatan baik transportasi, industri, maupun sektor jasa baik hotel, restoran maupun pariwisata kan akan turun,” jelas Direktur KPBB Ahmad Syafruddin kepada Ekuatorial.com, pada Sabtu (11/4).

Analisa KPBB pada 10 hari pertama pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau periode 16-25 Maret 2020, menunjukkan kualitas udara masih dalam kategori tidak sehat yakni dengan konsentrasi PM2,5 rata-rata 44,55 µg/m3. Pengolahan angka ini merupakan hasil pengukuran kualitas udara ambient (Ambient Air Quality Monitoring AAQM) stasiun US Embassy dan pemantauan kualitas udara pinggir jalan di beberapa titik.

Namun hasil berbeda didapatkan ketika memasuki 10 hari kedua penerapan kebijakan atau periode 26 Maret-4 April 2020. Pencemaran udara di Jakarta turun drastis sehingga kualitas udara mendekati kategori baik. Angka konsentrasi PM2,5 menunjukkan rata-rata tahunan 18,46 µg/m3. Sementara standar yang ditetapkan pemerintah melalui PP Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara adalah 15 µg/m3.

Data yang menunjukkan kualitas udara di DKI Jakarta antara Januari hingga Maret di tahun 2019 dan 2020. Sumber: Jakarta AirNow, diproses oleh Komisi Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB).

 

Berdasarkan paparan PM2,5 maka kategori baik adalah yang berada di rentang konsentrasi 1-15 µg/m3, kategori sedang antara 16-35 µg/m3, tidak sehat antara 36-65 µg/m3, sangat tidak sehat yakni 66-100 µg/m3 dan kategori berbahaya jika lebih 101 µg/m3. PM2,5 atau biasa disebut juga dengan partikel halus merupakan jenis partikel polusi tak kasat mata yang berukuran sampai 2,5 mikrometer.

Sejak pemantauan kualitas udara pada tahun 1992 silam, baru kali ini Jakarta mencatatkan kualitas udara yang nyaris mendekati kategori baik.“Sebelum-sebelumnya tidak pernah terjadi penurunan seperti ini. Ini seumur-umur Jakarta sebagai kota yang sibuk ya. Kalau data yang terekam itu kan dari 1992, jadi kurang lebih selama 28 tahun itu, ya baru terjadi penurunan ya ini,” kata Syafruddin. “Artinya selama 28 tahun, kuailtas udaranya tidak pernah dalam kategori baik. Menurun pernah, tapi posisinya tetap di sedang atau tidak sehat.”

Penyebab membaiknya kualitas udara

Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, kualitas udara membaik hampir dua kali lipat. Pada 26 Maret-4 April 2019 lalu tercatat rata-rata tahunan PM2,5 adalah 44,56 µg/m3 atau kualitas udara dengan kategori tidak sehat.
Menurut KPBB, khusus untuk Jakarta, pembatasan kendaraan bermotor adalah faktor utama yang memengaruhi peningkatan kualitas udara. Pengaruhnya sampai 75 persen debandingkan dengan dari unsur lain seperti industri sebesar 22 %, sedangkan tiga persen sisanya adalah dari pelbagai aktivitas lain.

“Seperti domestik, debu jalanan, dari pembakaran sampah, atau dari polutan pencemaran yang jaraknya jauh dari Jakarta. Bisa dari Cilegon, Cirebon, jalur pantura. Kan debu itu bisa terbawa ke Jakarta, tergantung angin,” kata Syafruddin.

Peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Puji Lestari menyampaikan hal senada. Menurut Puji, kualitas udara dipengaruhi sejumlah faktor seperti sumber pencemar, meteorologi dan rotasi aliran udara.

Berdasarkan dokumen yang diperoleh Ekuatorial.com, diketahui bahwa sumber pencemar yang dominan di Jakarta berasal dari sektor transportasi. Temuan ini ditunjukkan dengan penurunan persentase konsentrasi polutan saat pemberlakuan pembatasan kendaraan seperti penerapan ganjil-genap dan Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB).

Selain itu, penerapan pembatasan aktivitas seperti work from home (WFH) demi mengurangi penyebaran Covid-19 turut berpengaruh pada kualitas udara Jakarta dan menurunkan konsentrasi PM2,5 sebesar 3-31 persen.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih mengakui membaiknya kualitas udara beberapa pekan belakangan tak lepas dari pemberlakuan kebijakan physical ataupun social distancing. Tapi ini bukan faktor tunggal. Dia juga menyebut peran curah hujan dan arah angin.

“Hujan yang turun di Jabodetabek juga turut membantu tercucinya atmosfer dari polusi,” tutur Andono.“Selain itu, arah angin juga berpengaruh terhadap polutan jenis PM 2.5 ini atau partikel debu halus berukuran 25 mikrogram/m³. Arah angin yang mengarah ke Ibukota juga mempengaruhi konsentrasi parameter PM 2.5.”

Kendati transportasi menjadi faktor dominan, tapi Direktur KPBB Ahmad Syafruddin mengingatkan bukan lantas mengabaikan kegiatan industri. Pemerintah, kata dia, tetap wajib memonitor secara berkala kepatuhan pabrik ataupun pembangkit listrik yang diduga juga turut menyumbang sumber pencemaran.

“Jadi bukan (berarti) mengabaikan industri. Industri tetap ada. Dalam kondisi seperti sekarang ini kan kendaraan bermotor dihentikan, sekarang ada industri tetap beroperasi. Di Pulo Gadung ada peleburan baja, tetap beroperasi. Di Cibinong ada pabrik semen, tetap beroperasi. Kemudian di Babelan itu ada PLTU tetap beroperasi. Di Tanjung Priok ada PLTU, Muara Karang ada PLTU, di Tangerang ada PLTU Lontar beroperasi juga,” kata Syafruddin.

Belum lagi, dia melanjutkan, kapal-kapal di Tanjung Priok. Kapal-kapal itu memiliki peran sangat besar dalam memengaruhi kualitas udara. Sebab, kapal-kapal tersebut menggunakan marine fuel – bahan bakar seperti solar tetapi dengan kadar belerang di atas 10 ribu ppm (part per million).

Merespons hal tersebut, Pihak Humas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Yogi Ikhwan mengklaim pemerintah provinsi DKI Jakarta tetap melakukan pemantauan rutin terhadap industri. Pemantauan itu dilakukan minimal sekali setiap enam bulan.
“Ini kami pantau secara rutin dengan pengawasan aktif – petugas kami melakukan pengukuran – dan pengawasan pasif; semua industri yang melaporkan hasil pengukuran oleh lab terakreditasi. Industri logam, pembangkit listrik wajib memasang CEMS (Continous Emission Monitoring Systems),” kata dia.

Pemprov DKI Jakarta pun, kata Yogi, tengah melakukan riset bersama ITB mengenai kualitas udara dan merinci sumber polutan.
Fenomena membaiknya kualitas udara di tengah pandemi Covid-19 ini tak hanya terjadi di Indonesia. Catatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) bertolok pada pemodelan data satelit mendapatkan kondisi serupa dijumpai di China dan beberapa negara di Eropa seperti Spanyol, Perancis dan Itali sepanjang Maret 2020.

“Senada dengan China, terjadi perubahan kualitas udara di Eropa yang dipantau ESA (European Space Agency) melalui pemodelan dari data satelit,” tulis pernyataan resmi LAPAN. “Pada bulan Maret 2020 ini menunjukan penurunan konsentrasi partikulat di udara dibanding bulan yang sama pada tahun 2019 sebelumnya, yang diakibatnya adanya penguncian wilayah (lockdown) sehingga lalu lintas menurun drastis.”

Sementara untuk Indonesia, terlihat adanya penurunan partikel halus polutan udara di wilayah Indonesia bagian barat selama wabah Covid-19. Secara umum, ada penurunan partikulat (PM10) pada Maret 2020 dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya. Kota Jambi yang pada tahun sebelumnya tercatat memiliki partikulat lebih 300 µg/m3 karena kebakaran hutan, kini turun hingga 20 µg/m3. Kondisi serupa terjadi pula di Jawa.

“Hal ini kemungkinan diakibatkan menurunnya aktivitas manusia, industri dan transportasi, tidak saja di wilayah Indonesia tetapi juga di wilayah tetangga,” tulis pernyataan tersebut.

Langit di atas permukiman di Kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur, saat berlakunya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sumber: Ade Irmansyah.

Kualitas udara pasca pabah Covid-19

Sayangnya, perbaikan kualitas udara ini boleh jadi hanya sementara. Direktur KPBB Ahmad Syafrudin ragu, kualitas udara yang bersih dan kondisi lingkungan yang membaik ini akan berlanjut saat virus corona mulai menyingkir. Sebab, secara ekonomi, telah banyak yang hilang sepanjang wabah melanda.

“Saya yakin akan business as usual, kembali ke kebiasaan yang mereka lakukan,” kata Syafruddin. “Nah begitu (kurva kasus Covid-19) melandai, nanti itu akan gila-gilaan. Jadi ya bisa jadi mereka, industri dan pemerintah itu akan gila-gilaan memakai apa saja sebagai raw material atau energi untuk menggerakkan ekonomi dalam rangka mengembalikan pertumbuhan ekonomi ke 5 persen itu.”

Apalagi, jika mengingat kebijakan dan berbagai peraturan dari pemerintah tak menyentuh akar permasalahan. Dia mencontohkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Menurutnya, itu hanya mengatur masalah permukaan yang berkaitan dengan dampak perekonomian jangka pendek.

Aturan itu menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, merespons kondisi penyebaran Covid-19 yang berpotensi menciptakan krisis ekonomi dan keuangan. Di antaranya berisi kebijakan penganggaran, langkah penyelamatan kesehatan, bantuan bagi masyarakat terdampak, dunia ekonomi dan sektor keuangan.

Sedangkan masalah mendasar seperti perencanaan ulang konsep pembangunan hingga pola konsumsi yang mestinya dirombak ulang, malah tak dipikirkan. Padahal, menurut Syafruddin, seharusnya ini menjadi momentum untuk melakukan re-design tata kelola pembangunan yang lelbih berorientasi emisi dan konsumsi energi.

“Bahwa sesungguhnya virus itu adalah jawaban alam atas kebijakan-kebijakan atau operasional pembangunan dan industri yang memang tidak berpihak ke alam. Jadi, ya katakan karena alam terdesak,” kata dia.

Itu sebabnya, Syafruddin mengajak warga menyadari pentingnya mengubah gaya hidup. Tak perlu langsung drastis, bisa dilakukan secara perlahan. Ajakan berhemat juga bisa ditularkan ke orang-orang terdekat atau dikampanyekan melalui media sosial.

Berhemat, menggunakan sesuai keperluan dan cermat dalam membeli atau mengonsumsi apapun bisa jadi pintu menuju ke keseimbangan alam. Dengan begitu, produksi industri pun akan mengecil. Saat produksi rendah maka bahan mentah yang diambil dari alam pun kian berkurang.

“Kita sebagai masyarakat yang harus mengontrol itu. Kalau pemerintah lebih pro-industri, industri maunyakan sistem kita kapitalis. Kalaupun tidak ada permintaan untuk membeli, maka mereka mem-provoke masyarakat untuk membeli,” kata dia.
“Nah sekarang kita balik, masyarakat harus kuat dan ter-empowering sehingga masyarakat tidak akan mempan dengan provokasi advertorial ataupun promosi industri. Dengan begitulah masyarakat bisa mengontrol industri dan mengontrol pemerintah,” kata Syafruddin.

Kesangsian membaiknya kualitas udara setelah pandemi mereda juga diutarakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Organisasi gerakan lingkungan ini lebih jauh menyesalkan, peningkatan kondisi justru terjadi disebabkan datangnya virus.

“Yang kami sayangkan, membaik karena ada virus. Harusnya karena kesadaran sendiri. Tampaknya malah sesudah corona, tidak membaik. Karena lihat, masih banyak energi fosil yang digunakan, baik di sektor kelistrikan maupun transportasi,” ungkap Pengkampanye Perkotaan dan Energi Walhi Nasional, Dwi Sawung saat dihubungi Ekuatorial.com.

Sawung pun ekstrem meminta pemerintah menghentikan pembangunan yang merusak lingkungan. Alih-alih terus mengeksploitasi alam, pemerintah pun didesak mulai memikirkan serta menerapkan penggunaan energi terbarukan.
“Tidak mengandalkan ekonomi dari yang merusak lingkungan dan industri ekstraktif,” kata dia.

Sementara warga, menurut dia bisa mulai secara mandiri mempersiapkan lumbung pangan dan swasembada kebutuhan sendiri. “Karena ini bakal panjang. Bisa dengan cara konsoludasi semua warga per RT/RW atau kampung. Kerja sama dengan daerah lain untuk barter kebutuhan. Menanam pangan juga di lahan-lahan yang tersedia,” pungkas Sawung. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.