Sektor transportasi adalah penyumbang polusi terbesar untuk daerah perkotaan. Penelitian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan memakai basis data tahun 2010 menunjukkan, transportasi berkontribusi terhadap 50 hingga 70 persen dari total emisi partikel halus serta 75 persen dari total emisi gas berbahaya terhadap kesehatan. Sedangkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor transportasi di perkotaan adalah sekitar 23 persen dari total emisi GRK dari seluruh sumber.

Deputi Pengendalian Pencemaran Lingkungan KLH, M.R. Kaliansyah menjelaskan bahwa tingkat pertumbuhan kendaraan di Indonesia semakin mengkhawatirkan. “Saat ini terjadi penambahan sembilan juta unit kendaraan bermotor setiap tahun di seluruh Indonesia. Jumlah ini menjadi tantangan tersendiri mengingat kita menargetkan untuk menekan emisi transportasi ke level 0.33 tCO2/kapita/tahun pada tahun 2050,” ujarnya di Jakarta, Jum’at (27/6).

Untuk mengimbangi pesatnya pertumbuhan tersebut, pemerintah telah menetapkan dua kota, yakni Palembang dan Surakarta sebagai daerah percontohan Program Transportasi Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan atau dikenal dengan Enviromental Sustainable Transportation (EST). Hingga 2013, tahap awal EST berupa inventarisasi telah selesai dilakukan dengan rincian Palembang sebesar 0.5 tCO2/kapita/tahun dan Surakarta 1.2 tCO2/kapita/tahun.

“Angka yang diperoleh akan menjadi basis data pengembangan model EST kedepan. Disamping itu, pemerintah daerah juga bisa memanfaatkannya sebagai pedoman dalam penyusunan Rencana Aksi Udara Kota yang diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD,” sambung Novrizal Tahar, Asisten Deputi Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Bergerak KLH.

Keberhasilan Palembang dan Surakarta ternyata memicu pemerintah di enam daerah lain untuk memakai konsep yang sama. Kota tersebut antara lain Batam, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Denpasar, dan Banjarmasin. Menariknya, pada 2014 ini tiga daerah -Bandung, Medan, dan Tangerang- telah menyatakan komitmen untuk menghitung emisinya secara mandiri melalui dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Melihat cukup tingginya antusiasme ini, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyatakan tengah menyiapkan peraturan menteri sebagai dasar pelaksanaan EST. “Permenhub ini akan jadi dasar hukum implementasi EST yang mencakup pelaksanaan program di kota ataupun desa meliputi moda tranportasi jalan, laut, kereta api, dan udara. Kita sedang kejar semoga bisa disahkan tahun ini,” papar Elly A Sinaga, Kepala Litbang Kemenhub.

Sementara itu, penasehat proyek Clean Air for Smaller Cities – GIZ, Anissa S. Febrina yang turut memberikan dukungan teknis EST pada KLH, menerangkan bahwa pengukuran emisi di daerah menggunakan data primer. “Biaya yang dibutuhkan untuk tiap kota sekitar 400 juta rupiah. Sangat kecil dibanding APBD, apalagi bila dilihat dari manfaat yang diperoleh. Daerah bisa menyusun RPJMD atau renstra sektoral secara lebih terukur dan terarah,” cetusnya.

Anissa menambahkan, bahwa EST yang dijalankan GIZ di beberapa negara menitikberatkan pada transportasi umum ramah lingkungan. Ia mengilustrasikan, untuk tingkat keberhasilan seperti di China relatif mudah karena tata pemerintahan yang tersentralisasi. Contoh keberhasilan lain terlihat di Bogota, Kolombia dimana kebijakan Bus Rapid Transport-nya menjadi model oleh banyak kota metropolis dunia, termasuk Jakarta. Azhari Fauzi

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.