Sebagai pulau kecil yang khas dengan hampir 80% penduduknya menghuni wilayah pesisir, Pulau Tarakan di Kalimantan Utara, rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut dan kondisi ekstrem La Nina dan gelombang badai. Kajian risiko dan adaptasi perubahan iklim di Tarakan telah dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bersama beberapa pihak pada 2010-2011 dan hasilnya disosialisasikan pada akhir Mei lalu.

Deputi III KLH Bidang Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Arief Yuwono mengatakan bahwa kajian dilakukan untuk menghasilkan rekomendasi strategi adaptasi bagi wilayah pesisir di Indonesia. “Ini pilot project, Tarakan itu mewakili ekosistem pulau yang juga merefleksikan Indonesia sebagai negara kepulauan,” ujar Arief.

Penelitian menunjukkan bahwa Kota Tarakan yang berada pada pulau kecil seluas 250,80 km2 itu mengalami tren kenaikan temperatur udara secara terus menerus. Ada tren kenaikan sebesar 0,63 °C sepanjang 25 tahun terakhir atau sebesar 0,2 °C dalam kurun waktu 50 dan 100 tahun.

“Penelitian dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh dampak kenaikan muka laut pada saat sekarang ini serta potensi dampaknya pada tahun 2030. Kenaikan muka laut adalah hal yang niscaya yang perlu diadaptasi, sedini mungkin,” papar Hamzah Latief, dosen Oseanografi Institut Teknologi Bandung yang menjadi tim ahli penelitian bidang pesisir dan kelautan.

Berdasarkan proyeksi, kenaikan muka air laut di Tarakan akan mencapai sekitar 14,7 cm pada tahun 2030, relatif terhadap kondisi saat ini. Fenomena La-Nina dan gelombang badai pun diprediksi menaikkan muka air laut maksimal sebesar 15 cm dan 30 cm, hingga pasang maksimum mencapai 160 cm.

Perubahan iklim juga dapat dilihat dari variabilitas curah hujan dan temperatur dalam bentuk kejadian-kejadian ekstrem, terutama kekeringan akibat curah hujan rendah. Kekeringan di Tarakan merupakan potensi bahaya iklim yang banyak dipengaruhi oleh fenomena El-Nino. Tarakan pernah mengalami kekeringan yang panjang pada sekitar 1961-1970an. Menurut prediksi model curah hujan, kekeringan mungkin akan berulang pada tahun 2010-2020. Kemudian berubah menjadi tren naik setelah tahun 2030 berdasarkan model IPCC.

Di samping kekeringan, kejadian ekstrem juga meliputi pola curah hujan yang tinggi dalam waktu yang relatif pendek. Contohnya terjadi pada 1 Agustus 1998 dengan nilai 195 mm/hari. Menurut model IPCC, probabilitas terjadinya curah hujan sebesar 433 mm/bulan terus menurun hingga sekitar 2020 dan kembali meningkat setelahnya.

Tim penelitian kemudian mengusulkan tiga jenis konsep strategis adaptasi yang direkomendasikan kepada Pemerintah Kota Tarakan. Pantai Utara Tarakan yang didominasi oleh hutan lebat, rawa, serta hutan bakau diusulkan terutama untuk restorasi mangrove dan hutan pesisir. Pantai Barat Tarakan yang padat penduduk diusulkan terutama untuk dilakukan pendekatan akomodasi seperti menaikkan tinggi dasar lantai bangunan.

Pantai Timur Tarakan memiliki daerah wisata pantai yang dapat bermanfaat di masa depan, yaitu Pantai Amal. Namun, pembangunan harus dibatasi karena berpotensi tinggi abrasi akibat gelombang angin tinggi dari Selat Makassar. Oleh sebab itu, diusulkan konsep pengelolaan zona pesisir terpadu (ICZM), terutama melalui penataan atau pengelolaan kembali, penetapan garis mundur, dan perlindungan pesisir baik melalui struktur lunak seperti green belt dan beach nourishment maupun keras seperti sea wall dan sea dike.

Peta Regionalisasi Adaptasi Perubahan Iklim Pesisir Tarakan
Peta Regionalisasi Adaptasi Perubahan Iklim Pesisir Tarakan

Prioritas adaptasi yang berbasis tingkat risiko sangat tinggi terhadap bahaya genangan air laut khususnya di 5 desa yaitu Sebengkok dan Selumit Pantai di Kecamatan Tengah, serta Lingkas Ujung, Gunung Lingkas, dan Kampung Empat di Kecamatan Tarakan Timur. Sedangkan restorasi hutan dan mangrove serta strategi perlindungan lingkungan menjadi prioritas khususnya di Desa Juata laut, Karang Anyar Pantai, Juata Permai, Lingkas Ujung, dan Pamusian.

Opsi-opsi adaptasi yang diusulkan menyesuaikan dengan sistem pembangunan Kota Tarakan. Koko Wijanarko, Kasubid Adaptasi Perubahan Iklim KLH yang juga menjadi tim penelitian menerangkan bahwa penelitian yang dilakukan telah dijadikan acuan bagi pengesahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tarakan. Penelitian juga dijadikan acuan untuk penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Tarakan Barat yang saat ini masih dalam proses peraturan daerah atau perda. Sementara, RDTR Tarakan Tengah, Timur dan Utara belum ditetapkan.

“Berdasarkan evaluasi yang kita lakukan beberapa program dilakukan di Tarakan seperti pengendalian banjir, pengelolaan pesisir, program sanitasi, penyediaan air, sarana pengelolaan air limbah,” Koko memberikan keterangan. Ia juga menjelaskan bahwa pada saat penyusunan kajian belum ada nomenklatur tersendiri terkait perubahan iklim di daerah, sehingga untuk memasukkan opsi adaptasi dilakukan compatibility analysis. Artinya, jika opsi adaptasi belum ada dalam perencanaan, maka dilakukan pengarusutamaan kepada semua pihak pemangku kebijakan agar pada saat penyusunan dokumen perencanaan opsi-opsi tersebut dapat masuk dalam dokumen perencanaan sehingga dapat dianggarkan. Ratih Rimayanti

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.