Menjelang perhelatan debat calon presiden (capres) terakhir pada malam ini (5/7), beberapa lembaga menggelar diskusi terbuka bersama tim sukses kedua pihak capres untuk mengupas visi misinya terkait pangan, energi dan lingkungan. Sayangnya, visi misi kedua kandidat dinilai para aktivis dan ahli belum cukup tajam dan spesifik dalam menyikapi isu tersebut.

Diskusi yang digelar oleh portal beritalingkungan.com bekerjasama dengan perkumpulan jurnalis lingkungan Indonesia atau Society of Indonesian Environmental Journalists-SIEJ pada 3 Juli 2014 dihadiri oleh Wahyu Widodo sebagai tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dan Syamsul Bahri selaku tim sukses Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta). Sedangkan, diskusi yang digelar oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim-DNPI kemarin (4/7) dihadiri Arif Budimanta sebagai utusan Jokowi-JK dan Suhardi sebagai utusan Prabowo-Hatta.

Secara umum, penjabaran tim sukses Jokowi-JK menunjukkan bahwa kandidat tersebut akan berfokus membentuk program-program berdasarkan strategi pembangunan berkelanjutan, yang salah satu cirinya adalah tidak merusak lingkungan. Hal ini diwujudkan melalui prinsip green economy dan diturunkan menjadi green policy, green budgeting, dll. Sedangkan, penjabaran tim sukses Prabowo-Hatta menggambarkan kecenderungan bahwa kandidat akan fokus pada isu restorasi hutan dan pengembangan Indonesia menjadi negara yang mandiri pangan.

Mengenai hutan, tim Jokowi-JK Wahyu Widodo menyatakan bahwa moratorium itu harus dilanjutkan. Tapi secara terpisah, Arif Budimanta tidak membicarakan perihal moratorium. Untuk gambut, Arif mengatakan harus dilihat secara matang karena polemiknya tinggi. “Bagaimana agar ekonomi tetap meningkat tapi low carbon. Pengalokasian sumber daya juga harus yang tepat guna,” ujarnya.

Sedangkan, Tim Prabowo-Hatta Syamsul Bahri menyatakan restorasi akan dilakukan terhadap 77 hektare hutan yang rusak. “Solusi dari kami, yaitu akan melakukan perbaikan pada 77 hektare hutan Indonesia dan melakukan negosiasi di dalam dan luar negri untuk kepentingan hutan Indonesia,” papar Syamsul. Untuk moratorium, Suhardi mengatakan bahwa jika moratorium dilanjutkan akan meningkatkan illegal logging. “Lebih baik hutan dititipkan ke rakyat agar mereka yang jaga. Itu terbukti lebih berkelanjutan. Moratorium bisa dilanjutkan, tapi harus tetap ada penanaman,” lanjutnya. Selama diskusi berlangsung, Syamsul memang selalu menegaskan bahwa penanaman hutan penting dilakukan. Ia memberikan contoh bagaimana jumlah hutan yang rusak dulu di Cina lebih banyak daripada di Indonesia, tapi sekarang reforestasi Cina jauh lebih besar karena mereka melakukan penanaman besar-besaran. Syamsul juga mengungkap pentingnya penanaman hutan yang dikombinasi dengan tanaman pangan.

Mengenai energi, tim Jokowi-JK menyatakan bahwa Jokowi-JK akan mengusahakan energi ramah lingkungan, yaitu bahan bakar gas (BBG). Konversi bahan bakar fosil akan dilakukan ke BBG. Ini dibarengi dengan pembangunan infrastruktur terkait seperti memperbanyak SPBU BBG. “Mungkin energi bio ke depannya akan berbenturan dengan pangan, sehingga energi dari ganggang akan dipertimbangkan karena bisa menghasilkan 10x lebih banyak daripada minyak CPO,” ujar Wahyu Widodo. Arif Budimanta juga senada dengan itu, namun ia menambahkan bahwa pengenmbangan energi juga akan dilakukan terhadap potensi-potensi energi lokal, tergantung energi apa yang ada di daerah tersebut. “Kalau disitu ada air ya bisa pakai mikrohidro, kalau ada angin ya pakai angin, dsb,” ujar Arif.

Sedangkan, Tim Prabowo-Hatta menyatakan akan mengembangakn semua energi yang bisa dikembangkan karena “saldo” energi Indonesia sangat kaya. Pula akan dikembangkan bahan bakar nabati (BBN) dari singkong, kemiri dan aren. “Sementara Brazil unggul dengan tebu, kita bisa kembangkan ketela pohon atau singkong, penelitiannya sudah ada di universitas-universitas” ujar Syamsul Bahri. Suhardi juga menyatakan bahwa penanaman 4 ha aren akan dilakukan dan itu akanmenyerap 24 juta sumber daya manusia. Kemudian, subsidi bahan bakar fosil dan BBN akan diratakan, masing-masing 50%.

Mengenai pangan, tim Prabowo-Hatta secara panjang lebar memaparkan mengenai akan dilakukannya diversifikasi pangan. Penanaman berbagai variasi tanaman pangan akan dilakukan, termasuk di lahan yang akan ditanami hutan kembali. “Hutan itu selain kayu juga harus ada pangannya, ada tanaman jangka panjang dan ada jangka pendek,” jelas Suhardi. Ia juga memberikan contoh bahwa di perkebunan sawit juga bisa ditanam dengan ganyong. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya selama 10 tahun, Suhardi telah melakukan penanaman pada zona abrasi di pantai atau padang pasir menjadi daerah hijau yang di belakangnya ada pertanian. Katanya, hal ini bisa dilakukan pada Indonesia yang 33% garis pantainya telah mengalami abrasi. Tim Jokowi-JK tidak memaparkan perihal pangan pada diskusi.

Mengenai lingkungan urban, tim Prabowo-Hatta menyatakan akan membuat kota-kota baru yang infrastrukturnya disamaratakan. “Akan ada program 1 milyar untuk desa agar desa dapat berkembang, tapi juga akan dibuat kota-kota baru seperti Jakarta namun lebih produktif,” tandas Suhardi. Ia juga berpendapat bahwa tanaman hijau di kota harus diganti menjadi tanaman pangan seperti sukun dan nangka agar kota dapat mandiri pangan. Sedangkan, pihak Jokowi-JK akan melakukan pembangunan kota rendah emisi karbon, yaitu yang transportasi massalnya berjalan baik dan tata ruangnya mendukung lingkungan, misalnya dengan proporsi ruang terbuka hijau yang baik.

Dari isu-isu yang telah dipaparkan kedua pihak tim sukses, tanggapan berdatangan dari aktivis dan ahli. Mengenai hutan, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Bustar Maitar, mempertanyakan komitmen terkait isu hutan yang tidak konkret pada kedua belah pihak, termasuk moratorium. “Moratorium adalah tantangan pertama saat menjadi presiden, komitmen ini akan dilanjutkan atau tidak, tidak ada pernyataan yang tegas,” ujarnya. Kemudian, untuk tim Prabowo-Hatta yang fokus pada restorasi atau penanaman, juga dipertanyakan langkah nyatanya dalam menjaga sisa hutan yang ada. Pada tempat yang terpisah, Longgena Ginting juga menyatakan pendapat senada bahwa upaya restorasi belum nyata dibarengi dengan upaya penjagaan hutan yang masih ada.

Mengenai energi, Artissa Panjaitan, peneliti energi terbarukan dan Koordinator Kluster Strategi Pengembangan Rendah Emisi ICCC menyatakan bahwa walaupun tim Prabowo-Hatta sedikit menyinggung BBN, namun masih sedikit perhatian diberikan pada BBN. Padahal, Indonesia bisa jadi eksportir BBN terbesar di dunia hanya dengan 1,5 juta ha lahan untuk bioetanol. “Untuk BBN, kita generasi satu saja belum tuntas, perguruan-perguruan tinggi Indonesia juga belum banyak mengkaji generasi dua dan tiga. Padahal, kalau potensi BBN digarap serius, Indonesia bisa tidak pakai bahan bakar fosil lagi,” papar Artissa. Menanggapi tim Prabowo-Hatta yang menjagokan singkong untuk BBN, Artissa menyatakan bahwa dari penelitiannya, pengembangan singkong akan memakan lebih banyak usaha dan investasi karena teknologi dan konsepnya belum berkembang stabil di dunia. Menurutnya, tebu sangat perlu dijadikan pertimbangan utama untuk BBN karena sistem pengembangannya yang sudah stabil. Selain itu, harga BBN dari tebu adalah yang paling murah dibandingkan BBN dari sumber lainnya dan itu akan konsisten dalam jangka panjang. “Kita harus bisa mengombinasikan dimana yang baik ditanam tebu dan singkong, tapi jelas tebu harus dikembangkan,” lengkapnya.

Penjabaran visi misi kedua kandidat secara umum, walaupun sudah menyebutkan isu lingkungan hidup, tapi dinilai belum cukup tajam. Longgena Ginting, Direktur Greenpeace Indonesia, yang hadir dalam diskusi 3 Juli mengatakan bahwa walaupun sudah ada pandangan atau kepedulian terhadap lingkungan, tapi itu belum cukup. Senada dengan itu, Direktur SIEJ IGG M Adi yang telah lama berkecimpung dalam isu lingkungan hidup juga menganggap visi misi kedua kandidat belum menukik dan belum nampak akar masalahnya.

“Kita bisa melihat dengan jelas program dari visi-misi kedua pasangan capres masih akan mengandalkan pengembangan industri ekstraktif dan sumber daya alam untuk menopang pertumbuhan ekonomi kita. Namun, sayang sekali keduanya tidak menyebut-nyebut masalah krisis ekologi yang kita hadapi saat ini,” terang Longgena. Ratih Rimayanti

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.