SIEJ, Jakarta – Agus Purnomo Staf Khusus Presiden Untuk Perubahan Iklim menilai kondisi kabinet pemerintahan Indonesia saat ini tidak efisien. Ia memaparkan bahwa tradisi di Indonesia setiap ada presiden baru, yaitu perombakan atau penambahan kementerian baru. Belum lagi desentraslisasi kewenangan ke pemerintah daerah semakin membuat birokrasi menjadi terpecah-pecah, berbelit, lambat dan mahal.

Indonesia saat ini memiliki 39 kementerian, ratusan lembaga non-kementerian, dan 500an pemerintah daerah. “Dari total 39 kementerian, saya menganalisa bisa dirampingkan menjadi hanya 19 kementerian saja,” ujarnya di Gedung BPPT Jakarta (14/8). Dengan perampingan ini, ia menilai akan semakin sedikit anggaran yang akan dikeluarkan, semakin mudah proses birokrasi berjalan, dan semakin mudah dalam pengelolaan tata ruang.

Menurutnya untuk konsolidasi penataan ruang, Ditjen Tata Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, Planologi Kementerian Kehutanan, Penataan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pertanahan Nasional dan beberapa lembaga lain terkait tata ruang harus bergabung menjadi satu yang memiliki kewenangan dalam menata ruang dan memberikan izin untuk penggunaan lahan.

Dengan demikian penyelesaian sengketa atas lahan akan lebih mudah tertangani, juga membuka peluang pelestarian lingkungan, serta untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Menanggapi pemerintahan saat ini, Anwar Sanusi, Direktur Pusat Kajian Analisis Lembaga Administrasi Negara mengatakan pemerintah melakukan pemborosan anggaran karena harus membiayai terlalu banyak kementerian dan lembaga-lembaga non pemerintah lainnya.

Berdasarkan hasil analisa lembaganya, idealnya Indonesia memiliki 20 kementerian saja dengan satu kantor pemerintahan presiden. “Banyak tugas-tugas antar kementerian yang tumpang tindih, sehingga sumber daya manusia dan in-efisiensi anggaran,” katanya.

Ia mencontohkan, untuk penanganan kawasan pesisir Indonesia misalnya, ditangani oleh sedikitnya tiga kementerian yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu Ditjen Pulau Kecil dan Pesisir, Kemeterian Sosial untuk penanganan kemiskinan, dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Ia mengatakan “dari contoh itu saja sudah terbayang bagaimana tidak efisiennya sistem kerja dan anggaran, belum lagi berbagai konflik yang akan ditimbulkan.”


Presiden Mendatang Diharapkan Lebih Peduli Lingkungan

Dengan berbagai permasalahan yang ada, Jatna Suprijatna Ketua Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI) mengatakan bahwa kedua isu tersebut masih belum dianggap sebagai isu serius untuk segera ditanggapi. Perubahan iklim dan keanekaragaman hayati di Indonesia harus mendapat perhatian lebih oleh presiden baru Indonesia mendatang.

Ia menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas tertinggi di dunia, sudah seharusnya mengambil langkah-langkah yang bijak untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk pemanfaatan sumber daya hayatinya.

“Beberapa saat lalu saya bertemu ahli farmasi dari California, Ia menemukan spesies laut di Manado yang digunakan untuk obat kanker,” tuturnya.

Ia menjelaskan dari segi nilai, menjaga kekayaan hayati di Indonesia bernilai lebih tinggi daripada pemanfaatan hanya secara ekonominya. “Pemerintah harus memberi value yang tinggi atas sumber daya hayati yang kita miliki,” tegasnya.

Belum lagi isu perubahan lingkungan yang kian mengancam kehidupan hayati di seluruh bumi. Menurutnya segala macam upaya harus segera dilakukan agar kekayaan Indonesia tidak hilang. Januar Hakam.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.