Karanganyar, Ekuatorial – Sebanyak 30 titik mata air di kaki Gunung Lawu, mengalami penurunan debit air. Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Karanganyar, Suroso, mengaku penurunan debit air pada sumber mata air ini adalah yang pertama terjadi. Selama ini belum pernah terjadi penurunan debit air pada sumber mata air.

“Ini pertama kali terjadi, debit mata air di 30 titik di kaki Gunung Lawu mengalami penurunan. Lucu bila wilayah yang ada di bawah kaki Gunung sampai kekurangan air. Tapi mau bagaimana lagi, kemarau tahun ini benar-benar panjang, sampai debit air turun,” jelas Suroso saat ditemui di Karanganyar, Jawa Tengah, Senin (6/8).

Menurut Suroso, dalam kondisi normal, satu sumber mata air memiliki debit air sebanyak 515 liter perdetik. Namun sejak kemarau panjang melanda, saat ini penurunan debit air pada sumber mata air mengalami penurunan antara 40 liter perdetik hingga 150 liter perdetik.

Jelas kondisi tersebut membuat PDAM Karanganyar harus berpikir keras memutar cara agar mampu mendistribusikan air ke warganya. Akibatnya, ada sebagian wilayah di Karanganyar, seperti Kecamatan Mojogedang, Gondangrejo, Colomadu, Tasikmadu, Jaten yang sering tidak kebagian air.

“Padahal pendistribusian air sudah kami lakukan dengan menggunakan jam. Dimana dari 14 Kecamatan, jam kita bagi perwilayah. Kemungkinan, saat air di alirkan, banyak warga yang memperebutkan. Jadinya ada warga yang tak mendapatkan air karena banyaknya warga yang saling memperebutkan air saat air kami alirkan,” paparnya.

Sementara itu penderitaan warga Klaten, Jawa Tengah akibat musim kemarau ini masih dirasakan. Di Desa Jambakan, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, sejumlah sumur milik warga ditengarai sudah mengering. Untuk mendapatkan air bersih, warga rela merogoh kocek membeli air dari Perusahaan Air Minum milik swasta.

Joko Hartono, Kepala Desa Jambakan mengaku meski harga pertangki cukup mahal, warganya tak memiliki pilihan lain selain membelinya. Pasalnya, bila hanya mengandalkan droping air bersih dari PDAM jelas tidak mungkin. Sebab tak jarang wilayahnya tak mendapatkan jatah air bersih. Meskipun dalam daftar droping, wilayahnya mendapatkan giliran untuk menerima air bersih.

“Setiap kami tanyakan, pihak PDAM selalu mengatakan air habis di wilayah lain sebelum tiba di desa kami. Dari pada warga kami mati karena kehausan tak mendapatkan air, terpaksa kami membeli air dari truk tangki air milik swasta, yang selama ini menjual air bersihnya ke tempat isi ulang air minum,” paparnya.

Menurut Joko, kondisi sumur mengering mulai terjadi pada awal September 2014. Sementara sumber air di desanya ini yang berada di wilayah perbatasan dengan Gunung Kidul, Yogyakarta sudah tidak ada lagi.

“Kami sendiri sudah tiga kali ini membeli air dengan harga Rp.150 ribu per tangki. Karena mayoritas warga tidak memiliki bak penampungan, terpaksa air yang dibelinya itu langsung dimasukan kedalam sumur milik warga sendiri,” jelasnya.

Dari data yang dimiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Klaten, jumlah desa di Kabupaten yang terletak di lereng Gunung Merapi ini, sebanyak 33 Desa mengalami kekeringan. Sejak ditetapkan darurat air bersih, BPBD sendiri telah menyalurkan air bersih sebanyak 1.000 tangki air ke tujuh Kecamatan yang mengalami kekeringan. Meski telah menyiapkan tujuh armada cadangan berkapasitas 5.000 liter untuk membantu mensuplai air bersih, namun jumlah itupun masih belum memenuhi kebutuhan air bersih. Bramantyo

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.