Ekuatorial, Lima – Masih cukup banyak hibah dan bantuan dana untuk program perubahan iklim di Indonesia tidak dapat dilacak karena tidak dilaporkan dan tidak melalui satu pintu. Akibatnya, Kementerian Keuangan tidak dapat memperkirakan kebutuhan dana untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Dari perkiraan Rp 8,377 triliun anggaran untuk perubahan iklim yang telah dimanfaatkan Indonesia tahun 2011, sekitar 19% tidak bisa dilacak, karena tidak terdaftar di Kementerian Keuangan. Sebagian besar dana itu bersumber dari pendanaan luar negeri, terutama melalui skema hibah (grant).

“Kami memperkirakan besarnya dana tak terdaftar itu lebih Rp 1 triliun, tetapi sulit melakukan verifikasi karena kami tidak memiliki datanya,” kata Syaiful dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan saat ditemui Ekuatorial pada acara COP20 di Lima Peru, Jumat (5/12).

Kesulitan verifikasi dana iklim juga disampaikan dalam laporan Climate Policy Initiative (CPI) yang diterbitkan bulan Juli 2014 lalu. Di luar anggaran resmi yang bersumber dari APBN itu, mereka tidak dapat melacak asal dana sebesar Rp 22 miliar yang dipakai untuk program mitigasi, meskipun dalam pelaporan disebutkan hasil-hasilnya.

Temuan yang sama adalah sekitar Rp 1,6 triliun dana mitigasi yang tidak bisa diverifikasi yang dipakai dalam program tak langsung seperti pengembangan kebijakan, riset, monitoring sistem, yang sebagian besar terkait dengan sektor kehutanan dan infrastruktur.

Pada sisi program adaptasi perubahan iklim, dana yang tak dilaporkan lebih besar yaitu sekitar Rp 8,3 triliun, yang sebagian besar dipakai untuk peningkatan infrastruktur permukiman, pengelolaan dan penyediaan air, irigasi, program perlindungan pantai dan inspeksi waduk.

Pemerintah sudah mengatur perihal dana pinjaman dan hibah ini dalam Peraturan Pemerintah No.10 tahun 2011 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah. Beleid itu menyatakan, semua pinjaman dan hibah yang diterima kementerian dan lembaga pemerintah serta BUMN harus dilaporkan kepada pemerintah.

Jika masih banyak yang enggan melaporkan dana perubahan iklim, karena menyangka proses birokrasinya lama dan rumit, demikian menurut Doddy Sukadri penasehat pada Dewan Nasional Perubahan Iklim kepada Ekuatorial.

Alasan lain adalah adanya perbedaan aturan antara lembaga atau negara donor dengan pemerintah Indonesia. “Ada negara yang memasukkan konsultan mereka dalam satu paket dengan dana ini, padahal Indonesia melarang jika pekerjaan itu dapat dilakukan oleh orang Indonesia,”katanya. Alasan ini dibenarkan juga oleh Syaiful.

Menurut Syaiful, kekhawatiran utama adanya dana yang tak dilaporkan adalah pendanaan ganda pada proyek yang sama dengan memanfaatkan beberapa sumber anggaran sekaligus. Tetapi ia memastikan tidak ada tambahan biaya transaksi apapun bila dana itu dilaporkan ke pemerintah. “Kalaupun jumlah yang diterima berbeda, itu karena perbedaan kurs,” katanya.

Kementerian Keuangan sampai saat ini belum mengusulkan satu langkah yang konkrit untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelaporan dana perubahan iklim ini, karena adanya perubahan pemerintahan baru. Kata Syaiful, Kementerian Keuangan perlu menunggu dulu bagaimana kebijakan Presiden Joko Widodo terhadap program perubahan iklim di Indonesia.

Dia menyebutkan contoh belum tercatatnya dana hibah REDD+ di Kementerian Keuangan, karena belum jelasnya keputusan pemerintah soal nasib Badan Pengelola REDD+ dan DNPI. “Apakah Presiden ingin meneruskan atau melebur kelembagaannya, masih kami tunggu,” katanya.

Senior Research Fellow pada JICA Research Institute Tomonori Sudo kepada Ekuatorial mengatakan, dana perubahan iklim dari pemerintah Jepang, semua dikelola dan dilaporkan dengan transparan, termasuk dana hibah kepada lembaga pemerintah, BUMN dan non-pemerintah. IGG Maha Adi (Lima, Peru)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.