Jakarta, Ekuatorial – Gagal untuk meloloskan undang-undang baru tahun ini, aliansi masyarakat adat mendesak pemerintah untuk membentuk satuan tugas (satgas), untuk menyusun kerangka kerja yang mengakui hak-hak masyarakat adat. Demikian diungkapkan Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), di Jakarta, Senin (16/ 2).

“AMAN telah bekerja sama dengan sekretaris kabinet untuk menyusun sebuah Perpres tentang satgas terkait masyarakat adat. Kami telah menyiapkan draft tapi belum ada rapat karena situasi politik,” kata Abdon.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa satgas adalah langkah awal untuk pembentukan komisi khusus permanen masyarakat adat. Seperti yang telah dijanjikan oleh Presiden Jokowi dalam kampanye kepresidenannya.

“Kita berharap presiden yang tidak melupakan komitmen untuk membentuk komisi khusus masyarakat adat, karena hal ini ia tuangkan dalam visinya bahwa hal ini akan berada langsung di bawah presiden,” katanya.

Tugas utama satgas, jelasnya untuk menjamin diterbitkannya UU Masyarakat Adat dengan peran aktif pemerintah. “Kedua, untuk mempersiapkan badan permanen masyarakat adat. Hal ini dapat diamanatkan oleh undang-undang atau justru akan berada di bawah presiden tanpa undang-undang. Aku membayangkan ini akan mirip dengan pembentukan badan ekonomi kreatif,” katanya. “Ketiga, satgas juga akan melakukan inventarisasi terhadap masyarakat adat yang menjadi korban dan memberi rekomendasi kepada presiden untuk pemberian grasi, abolisi, amnesti dan rehabilitasi.”

Tujuannya, katanya, mulai melakukan rekonsiliasi antara negara dan masyarakat adat.

Martua Sirait, anggota Dewan Kehutanan Nasional Indonesia, mengatakan bahwa satgas adalah tahap peralihan penting untuk membentuk kerangka kebijakan yang terkait dengan masyarakat adat. “Jadi, ini bukan tentang mencari orang untuk mengisi posisi di bawah presiden tetapi untuk menganalisis segala kebijakan yang terkait dengan masyarakat adat,” terang Sirait.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa satgas akan menentukan pembentukan badan permanen untuk mengatasi isu isu yang terkait masyarakat adat.

“Satgas akan memutuskan bentuk komisi nasional, apakah untuk mengadopsi komisi nasional Filipina yang akan bertindak sebagai badan legislatif bahkan sebagai hakim seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) atau sistem ganti rugi Afrika Selatan yang memisahkan antara legislatif, yudikatif dan eksekutif,” urainya.

Selain itu Abdon menambahkan bahwa hampir 70 persen dari adat tanah itu diduduki oleh pertambangan, hutan konsesi, dan minyak sawit yang seharusnya dikategorikan sebagai perampasan tanah. “Tetapi, ketika mereka memprotes, mereka dianggap sebagai penjahat dan bukan sebaliknya,” katanya.

Abdon menyebutkan hingga kini ada sekitar 166 masyarakat adat yang dipidanakan, karena membela hak-hak mereka.
“Ini adalah salah satu tugas satgas karena belum ada lembaga untuk mengatasi masalah ini. Hingga ada lembaga permanen, kebijakan peralihan diperlukan,” katanya. “Masyarakat adat membutuhkan undang-undang ini, walaupun tidak akan segera memecahkan masalah tetapi setidaknya tidak memperburuk.” Fidelis E. Satriastanti

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.