Bandarlampung, Ekuatorial – Kartijah (15) bersama Yeti (3) bergerak ke arah kolam pemandian. Sesekali induk dan anakan ini menenggelamkan diri hingga menyulitkan pawang yang telah seharian bersama mereka berkeliling sekitar hutan.

Sesekali pawang berdiri di atas punggung Kartija menghindari basah sekujur tubuhnya. Tak jarang induk dan anakan itu menongolkan belalainya sambil menyemburkan air ke atas dan terpaksa, pawang juga ikutan basah.

Setelah seluruh badannya bersih dari lumpur, barulah ke duanya masuk dalam penangkaran untuk mendapat makanan tambahan.

Kartijah dan Yeti bukanlah nama manusia, melainkan nama gajah jinak di Pusat Konservasi Gajah di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Lampung Timur. Setiap gajah yang hidup dalam penangkaran di sana, memiliki nama. Tujuannya, untuk memudahkan para mahot atau pawang, dokter dan perawat untuk mengenali dan mendekteksi individu gajah.

Kartijah adalah induk susuan Yeti. Pada November tahun 2013 lalu Yeti ditemui para mahot sedang dalam bahaya. Kakinya terkena jerat sehingga dia tertinggal dari rombongan induk kandungnya. Dokter memberi pelayanan medis untuk kesembuhannya, namun sayang setelah sembuh Yeti tidak berani kembali ke alam bebas dan akhirnya dikumpulkan dengan induk Gajah bernama Kartijah.

Kemana Kartijah pergi, Yeti selalu disisinya. Baik itu berkeliling mencari makan maupun mandi. Setelah membersihkan diri dari kolam, Yeti diberi vitamin.

Esti Diah Anggraeni, dokter yang menangani gajah di TNWK Lampung menjelaskan dalam sehari anakan gajah mendapat kapsul anti virus sebanyak dua kali.

“Pemberian anti virus secara masif dilakukan paska kematian anakan gajah pada akhir Bulan Januari kemarin, kami mengantisipasi supaya gajah anakan lainnya memiliki kekebalan yang maksimal,” kata Esti.

Menurutnya, dalam tiga bulan terakhir sudah ada empat gajah anakan jinak di TNWK mati. Gejala yang dialami sebelum kematian, gajah anakan terlihat tidak aktif kemudian suhu tubuh menjadi panas dan lidah berwarna biru pekat.

“Sementara kami mendiagnosa anakan gajah yang mati itu mengidap Elephant Endoteliotropic Herves Virus. Ini virus sangat cepat menyebar keseluruh tubuh gajah hanya sekitar sehari saja, gajah kita langsung mati,” ujar dia.

Sejauh ini, Esti dan tim dokter di TNWK belum mengetahui pasti penyebab penularan virus tersebut. Namun untuk mengantisipasi penularan, setiap gajah yang mati karena virus itu langsung dibakar sebelum dikubur.

Kepala Seksi III Kuala Penet TNWK Lampung Timur, Antonius Vevri menetapkan siaga I di wilayahnya akibat kematian sejumlah anakan gajah. Menurutnya, kasus kematian akibat terserang virus sejenis herves ini baru pertama kalinya terjadi di TNWK tersebut.

“Sebelumnya pernah terjadi di Aceh untuk di TNWK baru pertama kalinya, ini sudah masuk dalam status luar biasa,” ujar dia. Lebih lanjut ia mengatakan, sampai tanggal 20 Februari mendatang pihaknya terus melakukan treatment pemberian anti virus pada setiap gajah yang ada dalam pusat konservasi.

Gajah Jinak Rentan Sakit
Saat ini di PKG sendiri ada 64 gajah dewasa dan tersisa 12 gajah anakan. Selepas menjelajahi areal 4.000 hektare (ha), gajah-gajah ini pada malam harinya langsung masuk dalam kandang seluas 4 ha.

Humas TNWK Lampung Timur, Sukatmoko gajah jinak lebih rentan sakit dan membutuhkan biaya besar dalam pemeliharaannya. “Gajah jinak ini memiliki areal jelajah yang sempit, paling dalam sehari hanya mampu keliling sekitar 4 sampai 5 kilometer per hari,” kata dia.

Tentunya, ruang gerak yang sempit itu kurang ketersediaan makanan yang dibutuhkan gajah. Menurut Sukatmoko, diperkirakan hanya tersedia sekitar 100-an jenis makanan gajah di areal tersebut.

“Begitu juga dengan siklus menjelajah gajah jinak menjadi berubah. Kalau gajah liar justru keluar mencari makan pada malam hari, berbeda halnya dengan gajah jinak justru pada malam hari mereka berada di kandang,” ujar dia.

Ditambah dengan kebiasaan gajah mendapatan makanan instan seperti susu formula bagi gajah anakan atau tajin (sisa air masak nasi) serta obat-obatan yang dikonsumsinya ketika gajah dinyatakan perlu mendapat perawatan medis.

“Gajah-gajah dalam PKG ini rentan terkena cacingan, berbeda dengan gajah liar, kalau cacingan dia akan berendam dan makan lumpur untuk mengeluarkan cacing dalam tubuhnya,” ujar dia.

Gajah jinak tidak mampu melakukan itu, perlu mendapat penanganan medis untuk bisa menyembuhkan penyakir tersebut. Penyakit lain yang kerap menimpa gajah jinak adalah diare.

Kondisi yang justru tidak berdampak baik pada keberlangsungan gajah hidup dalam penangkaran itu, maka pada tahun 2010 TNWK melakukan moratorium penjinakan terhadap gajah liar, kecuali dalam hal tertentu.

“Misalnya ada gajah liar yang ditemukan sakit dan perlu mendapat perawatan atau untuk kepentingan penelitian. Selebihnya, jika gajah yang dalam penindakan itu bisa dilepasliarkan, maka kami akan lepaskan saja. Selain baik untuk keberlangsungan gajah, tidak juga membebani negara,” imbuhnya.

Saat ini populasi gajah liar di TNWK berdasarkan survei baik menggunakan metode menghitung kotoran, kamera trap dan tes DNA diperkirakan mencapai 260 ekor.

“Kami berharap populasi ini terus bertambah, biarkan mereka hidup bebas dihabitatnya jangan lagi diganggu apalagi sampai menyakitinya, agar kami tidak mengumpulkan mereka dalam kandang yang justru malah melemahkan mereka,” tutup Sukatmoko. Eni Muslihah

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.