Banda Aceh, Ekuatorial – Setelah bertahun-tahun perjuangan melalui jalur hukum, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh akhirnya menyatakan area rawa gambut Tripa sebagai wilayah yang dilindungi, Sabtu (21/3), seperti yang dinyatakan dalam rilis media dari Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT).

Pada tahun 2012 , rawa gambut Tripa menjadi berita utama internasional setelah kebakaran besar terjadi di seluruh wilayah tersebut, komitmen Indonesia untuk melindungi hutan dan mengurangi emisi gas rumah kaca dipertanyakan karena kejadian ini.

Oleh karena itu, kelompok pecinta lingkungan mengajukan gugatan secara hukum terhadap izin membuka perkebunan kelapa sawit yang dikeluarkan oleh Pemprov Aceh kepada PT. Kallista Alam.

Gugatan tersebut berhasil membuat gubernur Aceh mencabut izin perusahaan pada 2012.

Perlindungan terhadap 1,445 hektar gambut ini ditandai tidak hanya dengan memasang papan sebagai batas daerah dan menanam pohon, tetapi juga berencana memblokir 18 kanal ilegal oleh pemerintah.

Husaini Syamaun, Kepala Dinas Kehutanan Aceh, mengatakan bahwa Pemprov Aceh telah berkomitmen untuk melindungi semua gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter.

“Seperti pernyataan gubernur, hukum harus ditegakkan,” ujar Syamaun. “Yang juga berarti bahwa meskipun konsesi ilegal PT. Kallista Alam telah ditarik, sekarang tidak ada lagi yang bisa mengklaim wilayah tersebut. Sebaliknya, keputusan pengadilan dengan jelas menyatakan bahwa wilayah tersebut harus dikembalikan seperti kondisi semula.”

Lebih dari 60.000 pohon sudah ditanam di wilayah tersebut, 120.000 pohon lainnya dijadwalkan akan ditanam bulan berikutnya.

Nyoman Suryadiputra, kepala Wetland Internasional Indonesia, mengatakan bahwa amat penting untuk memblokir kanal ilegal karena tidak hanya akan melindungi masyarakat dari bencana, memberikan mata pencaharian, dan juga mencegah pelepasan karbon dioksida ke atmosfer.

“Dalam keadaan alami, rawa gambut seperti Tripa 80-90 persen adalah air tawar. Drainase kanal merusak fungsi regulasi air rawa, menyebabkan banjir bandang dan kekeringan, sangat membahayakan keanekaragaman hayati dan mata pencaharian masyarakat,” kata Suryadiputra.

Sementara itu, Ian Singleton dari Sumatran Orangutan Conservation Programme menekankan untuk perlindungan keanekaragaman hayati yang telah hancur karena perkebunan.

“Kembali pada awal 90-an, hutan Tripa mencakup lebih dari 60.000 ha dan melindungi kurang lebih 3000 orangutan, belum lagi macan dan spesies langka dan terancam lainnya yang tak terhitung jumlahnya, banyak di antaranya yang tergantung sepenuhnya pada habitat hutan rawa untuk dapat bertahan hidup,” jelas Singleton sambil menambahkan bahwa saat ini hanya ada 100-200 orangutan yang tersisa di Tripa.

Meskipun memuji langkah besar pemblokiran kanal dan pemulihan, Rudi Putra dari Forum Konservasi Leuser mengkritik rencana tata ruang Aceh yang dapat berpotensi membuka Ekosistem Leuser untuk konsesi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.

“Kita harus memuji gubernur Zaini Abdullah dan Husaini (Syamaun-red) yang telah mendukung pemulihan saat ini,” kata Putra. “Tetapi kita juga harus mendesak mereka dan pemerintah untuk segera meninjau rencana penggunaan lahan spasial provinsi yang luar biasa ini dan tidak membiarkan kerusakan Ekosistem Leuser lebih jauh lagi, untuk mencegah secara menyeluruh, benar-benar mencegah bencana lingkungan di masa depan.” Tim Ekuatorial

artikel Terkait:
Gambut Terbakar, Orangutan di Rawa Tripa Berkurang
Pembukaan Lahan di Rawa Tripa Masih Terjadi
Satu Menang Tiga Tersisa di Rawa Tripa

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.