Sorong, Ekuatorial – Tidak ada papan petunjuk yang menandakan laut di sepanjang pesisir Tanjung di Kampung Folley. Padahal pesisir laut kampung yang terletak di Raja Ampat, Papua itu akan menjadi lokasi sasi gereja yang dilakukan oleh masyarakat belum lama lagi.

Tak adanya papan petunjuk memberikan kecemasan pada kekhawatiran mengenai tradisi yang sudah turun temurun tersebut. Hanya kesepakatan adat yang di pegang teguh masyarakat, untuk sama-sama menjaga lokasi sepanjang kurang lebih 4 kilometer (km) itu dari orang-orang yang tidak berkepentingan. Sekalipun pada kenyataannya sangat susah untuk dilaksanakan, terlebih bila tidak ada papan petunjuk atau tanda lainnya.

“Tradisi sasi di kampung Folley sejak lama sudah ada, dari turun temurun, hanya masih sederhana. Biasanya kalau mau sasi, masyarakat di kampung kumpul, juga yang punya petuanan, lalu sepakat untuk di bawa ke gereja untuk berdoa. Setelah itu lokasi yang di sepakati bersama di tutup untuk jangka waktu yang telah di tentukan serta hewan yang di sasi”, cerita Kalep, Kepala Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Raja Ampat.

Namun pelaksanaan tradisi sasi kali ini berbeda dari sebelumnya. Dimana tradisi sasi dulu tidak ada yang namanya monitoring sebelum, selama dan sesudahnya. “Berapa pun hasilnya tetap buat gereja dan masyarakat”, imbuh Kalep lagi.

Sasi sendiri untuk kawasan Indonesia timur seperti Papua dan Maluku sangat di kenal sebagai kearifan lokal yang berupaya untuk menjaga kawasan laut dan darat untuk kepentingan bersama. Sedangkan sasi sendiri dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumber daya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi hayati sumber daya alam tersebut.

Tidak heran bila di seluruh kawasan perairan Raja Ampat akan banyak di jumpai masyarakat yang melakukan sasi di laut, seperti sasi terhadap biota kima, lola, atau teripang. Sedangkan sasi darat seperti kelapa atau pun sirih. Bisa berupa sasi gereja, kampung, marga atau sasi kelompok.

Selain itu ada kesepakatan tidak tertulis dan sangat di taati masyarakat kampung adalah hasil tangkap di awal buka sasi, selalu diperuntukkan bagi gereja dan setelahnya siapa pun di kampung boleh mengambil tidak terbatas pada marga tertentu.

Tradisi sasi salah satunya dapat ditemui di Kampung Limalas, Distrik Misool Timur, Raja Ampat. Marga Falon dan Mjam setahun terakhir ini telah melakukan sasi terhadap biota teripang, lola, siput dan udang.

“Sasi yang dilakukan kami itu sasi teripang, udang, lola dan siput, karena empat hewan ini yang sangat dibutuhkan. Sekarang belum buka sasi, nanti September 2015, sebab sasi torang tutup September 2014 lalu”, ungkap Marthen Falon (40), nelayan setempat.

Lebih jauh Marthen menambahkan bila hasil sasi nantinya bukan hanya untuk marganya saja, semua masyarakat di kampung Limalas boleh ambil, tapi hasil pertama tetap diperuntukkan bagi gereja.

Hal senada disampaikan Moris Mjam, “Sasi nanti buka akhir April 2015 dan semua masyarakat boleh ambil setelah sebelumnya hasil tangkap di 2 hari pertama di persembahkan bagi gereja, setelah itu silahkan masyarakat kampung mengambilnya”.

Sasi yang dilakukan warga memang lebih sederhana, hanya kesepakatan keluarga atau marga, lalu dilaporkan ke gereja. Tidak heran bila jangka waktu sasi bisa bertahun-tahun dan beresiko gagal karena tanpa survey awal.

Menurut Awaludin Noer, Coordinator Monitoring dari The Nature Conservancy (TNC) Raja Ampat, “Kegagalan saat buka sasi bisa terjadi, bila tanpa survey awal.”

Menurutnya survey awal berupa monitoring lokasi sangat penting, sebab akan menentukan hasil dan massyarakat tidak perlu terlalu lama untuk buka sasi. “Buka sasi yang awalnya bisa satu tahun atau dua tahun baru di buka, sekarang bisa dua kali setahun panen, yang penting lokasi tepat”, kata Noer saat memberikan pelatihan monitoring bagi masyarakat di Kampung Limalas, distrik Misool Timur Raja Ampat.

Sedangkan salah satu contoh keberhasilan sasi bisa dirasakan oleh masyarakat Kampung Folley, data dari catatan kepala kampung menunjukkan hasil sasi teripang tahun 2013 sebanyak 1.251 ekor teripang. Sedangkan saat buka sasi 2014 selama 3 hari penangkapan masyarakat berhasil mengumpulkan 2.231 ekor teripang. Sementara terakhir untuk sasi 2015 setelah dua hari buka, masyarakat berhasil kumpulkan 1.231 ekor teripang.

Selain itu juga ketahui pada awalnya sasi baru di buka tiga tahun sekali, tapi setelah ada monitoring masyarakat sudah bisa buka sasi setahun sekali. Dulu hanya tiga jenis satwa sekarang bisa ditemukan enam jenis teripang

Menurut Lukas Rumetna, Birds Heaf Portfolio TNC Raja Ampat, sasi merupakan model pengelolaan perikanan berbasis masyarakat dengan manajemen perikanan berkelanjutan yang perlu di dukung, serta dapat menjadi fokus pengelolaan kawasan.

“Apalagi dengan program community based fisheries, masyarakat dapat memperoleh pelatihan monitoring sasi, peralatan sederhana yang dapat membantu monitoring sasi,” urai Lukas.

Harapannya tentu saja masyarakat dapat belajar dan mampu melakukan monitoring sendir pada akhirnya. Niken Proboretno

Artikel Terkait :
Penyu Hijau Raja Ampat Rentan Punah
Hukum Adat Kuatkan Konservasi di Raja Ampat
Raja Ampat Terancam Perburuan Hiu

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.