Bandarlampung, Ekuatorial – Satelit NOAA, yang memantau pertumbuhan titik api di Sumatera, menyebutkan bahwa sampai 23 Agustus 2015 data pantauan menunjukkan 88 persen kebakaran lahan terjadi di areal perkebunan. Adapun, 13 persen lainnya terpantau di kawasan hutan.

Menurut Kepala Balai Sumber Daya Alam Provinsi Lampung, Subakir, pihaknya telah menyurati perusahaan agar menghentikan aktivitas pembakaran di areal perkebunan tebu. “Tetapi, ribuan buruh yang menggantungkan kehidupannya di perusahaan perkebunan itu. Bagaimana kami bisa mencegahnya,” kata dia.

Hingga 23 Agustus 2015, pertumbuhan titik api di Lampung mencapai 104 titik. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yang mencapai 200 titik.

Subakir mengatakan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberi batas tolerasi 882 titik untuk Provinsi Lampung yang lahannya mencapai 760 hektare. “Semoga kami tidak sampai pada titik toleransi itu, jangan seperti Riau.

Sementara itu, seorang pengusaha tebu yang enggan disebut namanya mengatakan bahwa selama kemarau sebagian besar buruh yang bekerja tebang panen ialah masyarakat miskin yang tidak bisa berladang. “Panen tebu dengan tenaga manusia memang harus dibakar dulu untuk membersihkan daun-daunnya, baru kemudian ditebang tebunya. Memang terjadi kebakaran, tetapi terkendali,” kata dia. Seraya menambahkan bahwa pembakaran diatur dengan standar, untuk mencegah api menyebar ke lokasi lain.

Menurut dia, andaikan pemerintah meminta pabrik-pabrik di Lampung untuk memanen dengan sistem tebang hijau memanfaatkan mesin, sesungguhnya mudah. “Tapi apakah pemerintah bisa menanggung puluhan ribu masyarakat miskin yang menganggur selama kemarau?” Eni Muslihah

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.