Tidak cukup hanya memenuhi kebutuhan pabrik pakan ternak, pemerintah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, menginginkan produksi jagung yang berlimpah untuk menjadi ikon pangan alternatif nasi di daerahnya. Pengembangan pun dipusatkan kepada industri pangan olahan jagung yang dikelola oleh kelompok tani wanita Grobogan. Baca selengkapnya.

Oleh Zakki Amali   

Grobogan, JAWA TENGAH. Bermodalkan produksi yang melimpah ruah, pemerintah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, mulai mengangkat jagung sebagai ikon pangan alternatif dengan memberdayakan kelompok tani perempuan untuk mengolah nasi jagung.

Sejak tahun 2012, total enam kelompok wanita tani (KWT) berada di bawah binaan Dinas Ketahanan Pangan Grobogan, Jawa Tengah, yang berfokus kepada pengolahan jagung dan singkong.

Heru Pradjati, Kepala Bidang Konsumsi Penganekaragaman Pangan, Dinas Ketahanan Pangan Grobogan, mengatakan keenam kelompok tersebut terpilih karena berkomitmen untuk mengembangkan jagung, selain juga telah memenuhi persyaratan administrasi.

Keenam kelompok tersebut, — Kelompok Usaha Bersama (KUB) Maju Jaya di Desa Klampok, KWT Maju Jaya di Desa Boloh, KWT Mekar Abadi di Desa Taruman, KWT Murih Santosa di Desa Dapurno, KWT Sejati di Desa Gabus, dan KWT Gupit Sari di Desa Ngambakrejo –, mendapatkan pendampingan berupa pelatihan pengolahan pangan, fasilitasi promosi, fasilitasi sarana usaha dan fasilitasi penguatan modal melalui kredit usaha rakyat dan program dari Bank Jateng.

“Ikon baru jagung sebagai pangan alternatif dimunculkan lewat pemberdayaan kelompok rentan seperti petani wanita dan ibu rumah tangga. Dimulai dari pelatihan lalu memfasilitasi peralatan,” kata Heru kepada Ekuatorial. “Kami tetap membina mereka. Mengikutkan mereka dalam pameran dan perlombaan sebagai sarana promosi.”

Purminah, ketua kelompok wanita tani (KWT) Maju Jaya, salah satu kelompok yang dibina dan berlokasi di Desa Boloh, Kecamatan Toroh, Grobogan, Jawa Tengah, mengatakan kelompoknya tertarik melirik usaha pangan alternatif karena ditantang oleh saudaranya untuk mengolah jagung menjadi mi dan beras.

“Jagung kan dilihat sebagai makanan orang tidak mampu. Padahal, jagung bergizi. Kami diberitahu oleh salah satu saudara ada program pengembangan jagung di Dinas [Ketahanan Pangan Grobogan], [maka] saya ikut program itu sampai saat ini,” kata Purminah yang mendapatkan bantuan antara lain mesin penggiling, oven dan mesin pencetak beras jagung yang mengubah tepung jagung menjadi butir-butiran beras jagung pada tahun 2014.

Dalam sekali produksi dengan modal sebesar empat juta rupiah, Purminah bersama dua hingga tiga anggota aktif lainnya mengolah 25-30 kilogram biji jagung menjadi 50 bungkus beras jagung ukuran 250 gram di rumahnya sendiri yang menjadi tempat produksi.

Salah satu anggota KWT sedang mengeringkan jagung sebelum diproses lebih lanjut. Foto oleh Zakki Amali

Sementara itu, kelompok lainnya, kelompok usaha bersama (KUB) Maju Jaya, di Desa Klampok, Kecamatan Godong, Grobogan, Jawa Tengah, sudah mengolah jagung menjadi pangan alternatif, seperti beras jagung, emping jagung dan tepung jagung, sejak tahun 2012.

Ambar, ketua KUB Maju Jaya, mengatakan awal terbentuk kelompok tersebut dari pelatihan oleh Dinas Perdagangan Grobogan bekerja sama dengan Lembaga Amil Zakat Infak dan Shodaqoh (Lazis), Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), Semarang.

“Bahan baku jagung yang melimpah merupakan potensi desa yang bisa dimanfaatkan untuk pangan alternatif. Kami yang semula tidak bisa membuat beras jagung, diberi pelatihan Dinas Ketahanan Pangan Grobogan untuk mengembangkan jagung,” jelas Ambar menyatakan promosi produk dilakukan melalui relasi, pengajian ibu-ibu, pameran di dalam dan di luar kota.

Selama tahun 2013 – 2017, produksi jagung Grobogan meningkat dari 559.528 ton menjadi 807.894 ton. Dinas Pertanian Grobogan juga mencatatkan meningkatnya penambahan lahan tanam jagung meningkat dari 102.062 hektar menjadi 132.859 hektar pada periode tahun yang sama.

Hingga tahun 2018, pemerintah telah menargetkan tambahan 20.000 hektar lahan yang berasal dari pemanfaatan lahan Hutan Grobogan yang dikelola oleh masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) demi menggenjot produksi yang utamanya untuk kebutuhan pabrik pakan ternak.

“Kami koordinasi dengan Perhutani [BUMN sektor kehutanan] untuk menggunakan lahan milik mereka. Penggarapnya dari masyarakat sekitar hutan tersebut yang tergabung dalam organisasi LMDH,” kata Edhie Sudaryanto, Kepala Dinas Pertanian Grobogan kepada Ekuatorial.

Meski demikian, Edhie menyatakan bahwa pemerintah mendorong agar jagung bisa diolah dan memberikan nilai lebih bagi petani.

“Saya mendorong agar jagung diolah sehingga punya nilai lebih bagi petani. Tidak sekadar dijual dalam keadaan mentah. Selama ini, mungkin presentasenya bisa sampai 90 persen jagung diserap pabrik,” jelas Edhie menambahkan bahwa faktor topografi serta mudahnya penanaman meningkatkan potensi produksi jagung di Grobogan.

 

Masih Minimnya Pemasaran Nasi Jagung 

Meski dipromosikan sebagai ikon pangan alternatif Grobogan, pemasaran nasi jagung justru masih menjadi kendala bagi para penjual.
Bersama rekan-rekan kelompoknya, Purminah bisa memproduksi 60 bungkus ukuran 250-gram beras jagung per sekali pengiriman untuk dua swalayan besar di Kecamatan Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, yang terjual habis selama dua minggu sampai sebulan dengan keuntungan mencapai Rp150.000.

“Keuntungan pasti ada tapi belum banyak karena pemasarannya belum luas. Jadi, yang pesan masih sedikit. Produksi cuma sepekan dua kali,” jelas Purminah.  “Saya sebetulnya mampu produksi seminggu empat kali, tapi pesanannya belum ada. Jadi, hanya produksi seminggu dua kali.”

Ia menambahkan dalam sekali produksi bisa menghasilkan 50 bungkus ukuran 250 gram, sehingga total seminggu bisa membuat 100 bungkus ukuran 250 gram.

Untuk menjangkau lebih banyak pelanggan, KWT Maju Jaya pun beralih ke jejaring media sosial yaitu Facebook dan situs penjualan, Bukalapak, yang aktif dijalankan oleh anak Purminah sejak tahun 2016.

“Saya masih sulit memasarkannya karena tempat penjualan hanya di rumah sekaligus jadi tempat produksi. Lalu, dipilih cara online karena belum punya tempat jualan sendiri yang strategis. Selama ini, paling banyak peminatnya itu di swalayan dan saat ada pameran,” katanya menambahkan mereka bisa meraup keuntungan sebesar Rp150.000 hingga Rp200.000 untuk sekali pengiriman pesanan ke Semarang dan Jakarta.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa produk KWT Maju Jaya baru bisa menembus swalayan dan pameran pangan pada tahun kedua.

“Tahun pertama itu produksinya sedikit dan hasilnya belum bagus. Misalnya, tepung yang dihasilkan ada jamurnya,” kenangnya. “Baru pada tahun kedua, [kami] sudah tahu membuat beras jagung yang bagus tanpa jamur. Lalu, kami baru jual ke swalayan dan pameran.”

Keinginan untuk mengembankan produk nasi jagung hingga keluar daerah juga dikemukakan oleh Ambar, ketua kelompok usaha bersama (KUB) Maju Jaya.

“Kami ingin melebarkan sayap ke luar daerah dengan melirik mal-mal di setiap kota sebagai salah satu cara mempromosikan produk dan daerah kami kepada khalayak umum,” kata Ambar.

Dalam perkembangannya, produk KUB Maju Jaya dijual dengan sistem titip ke toko-toko dan menerima pesanan berbagai kota antara lain Bogor, Jakarta, Surabaya, Solo dan Semarang melalui telepon atau online.

Ia menyatakan bahwa KUB Maju Jaya dapat memproduksi sebanyak tiga hingga enam kuintal biji jagung dalam sebulan hingga dua bulan menjadi beras jagung dengan harga jual Rp7.000 per 250 gram dan Rp12.000 per 500 gram.

Purminah menyatakan bahwa penjualan via sosial media ternyata membuat kelompoknya kedatangan instansi pemerintah dari Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah dan Banten yang ingin belajar mengolah jagung menjadi beras.

Baik Purminah maupun Ambar berharap agar ada dukungan pemasaran yang lebih luas, sehingga beras jagung dikenal lebih banyak orang.

“Kami berusaha memasarkan produk kelompok tersebut dengan mengikutkan mereka dalam pameran-pameran. Pasar beras jagung ini memang belum terbuka lebar, karena masyarakat masih gemar dan terbiasa konsumsi beras padi. Kami harap ada kesadaran masyarakat menilik manfaat jagung sehingga pesanan kepada kelompok itu jadi banyak,” kata Heru Pradjati, kepala bidang Konsumsi Penganekaragaman Pangan, Dinas Ketahanan Pangan Grobogan, Jawa Tengah.

 

Manfaat Ekonomis Nasi Jagung

Tidak hanya kelompok tani bergiat mengembangkan jagung sebagai pangan alternatif, mengolah dan menjual nasi jagung sudah menjadi profesi Bati (65) selama 19 tahun lamanya di Desa Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah, hingga mampu menyekolahkan kedua putranya sampai tingkat SMK (Sekolah Menengah Kejuruan).

Alhamdulillah dari pekerjaan [mengolah jagung] ini [saya] mampu menyekolahkan anak. Mereka semua sekarang sudah berumah tangga. Saya tetap membuat nasi jagung sebagai mata pencaharian di desa,” kata Bati yang mendapatkan penghasilan sebanyak Rp450.000 per hari.

Dalam sehari, Bati mengolah 50 kilogram jagung baik putih maupun kuning menjadi 50 bungkus nasi jagung ukuran empat ons yang dijual Rp 9.000 per bungkus.

“Dulu, [nasi jagung] dijual sendiri [dengan] keliling kampung sekitar rumah dan di Pasar Grobogan. Sekarang, sudah banyak pembeli datang ke rumah. Peminatnya mulai merambah orang-orang kota. Kadang, dipesan warung-warung dan jasa katering. Jadi, nasi jagung disajikan sebagai alternatif dari nasi padi,” lanjut Bati.

Sementara, Iman Nur Solihin (40), warga Toroh, Grobogan, Jawa Tengah  berjualan nasi jagung karena ingin menyajikan makanan berbeda di Alun-Alun Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, sejak tahun 1990-an.

Penjual nasi jagung. Foto oleh Zakki Amali.

“Saya menjual nasi jagung karena saat itu belum ada warung yang menjual. Setelah dicoba ternyata peminatnya besar dan bertahan sampai sekarang jadi ciri khas warung kami,” kata Imam yang mengolah jagung menjadi ragam sajian seperti nasi goreng dan nasi jagung putih disandingkan dengan sayur lompong atau daun talas.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pelanggannya terus berdatangan karena tidak hanya mengkonsumsi nasi jagung dengan alasan kesehatan tapi juga karena gemar makan nasi jagung, sudah mengkonsumsi sejak masih kecil, hingga nostalgia.

Dalam semalam, ia bisa menjual total 20 kilogram nasi jagung dan dua kali lipat saat ramai pada akhir pekan dan hari libur nasional.

Baik Imam maupun Bati melihat nasi jagung telah berkembang sebagai ikon pangan alternatif di Grobogan dengan adanya pembuat nasi jagung dan penjual nasi jagung yang baru muncul.

“Kami berharap agar pemerintah daerah menggaungkan nasi jagung sebagai ikon pangan alternatif, selain dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan agar datang ke Grobogan,” kata Imam. Ekuatorial.

Zakki Amali adalah Jurnalis yang berbasis di Semarang, Jawa Tengah.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.