Meski sudah ada peraturan pelarangan penjualan air ilegal, warga desa lereng Gunung Muria, Jawa Tengah, masih kesulitan mendapatkan sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari dan sawah mereka. Masyarakat pun bergiat melakukan konservasi untuk menyelamatkan sumber air.

Oleh: Zakki Amali

Meski sudah ada peraturan pelarangan penjualan air ilegal, warga desa lereng Gunung Muria, Jawa Tengah, masih kesulitan mendapatkan sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari dan sawah mereka. Masyarakat pun bergiat melakukan konservasi untuk menyelamatkan sumber air.  

Kudus, JAWA TENGAH. Meski pelarangan penjualan air permukaan secara ilegal sudah setahun diterapkan, petani Desa Kajar, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, masih kesulitan mengairi sawah mereka.

“Sawah kami di bawah Desa Colo tidak memperoleh air, karena semua mata air sudah terpakai untuk kebutuhan warga di sana [Desa Colo] serta para penjual air. Sawah kami kering saat ini dan tak bisa lagi menanam,” kata Sutik, salah satu petani Desa Kajar, kepada Ekuatorial awal Agustus 2018.

Desa Kajar terletak 3,2 kilometer dari Desa Colo di kawasan Gunung Muria yang memasok air bersih itu berada di Sungai Tambak Lulang termasuk sistem daerah aliran sungai (DAS) Logung Sungai Juwana.

Pada tahun 2017, Sutik tak lagi menanami sawahnya, karena sungai mengering meski sudah ada pelarangan penjualan air. Kondisi itu membuatnya meninggalkan lahan sawah yang telah disewa dan kini beralih menggarap perkebunan kopi milik mertuanya yang berada di Desa Colo.

Menurut Ketua Paguyuban Masyarakat Pelestari Hutan (PMPH) Muria, Muhammad Sokhib terdapat sepuluh hingga 15 mata air di lima lembah Gunung Muria, yaitu Jurang Kulon, Seluman, Gunturan Ombo, Goa Jepang dan Ngelaren.

Masyarakat Desa Colo terbagi menjadi beberapa kelompok, terdiri atas sepuluh orang hingga 50 orang, untuk memanfaatkan mata air tersebut. Setiap orang mengalirkan air menggunakan pipa paralon berukuran 0,5 inci ke lima sampai enam rumah.

“Jarak mata air ke pemukiman paling dekat satu kilometer. Paling jauh lima kilometer. Kelompok warga yang terorganisir sendiri tanpa campur tangan desa membuat bak penampung di bawah sumber mata air lalu mengalirkan melalui pipa paralon. Itu berlangsung sejak tahun 1990-an,” ujar Sokhib.

Desa Colo, jelas Sokhib, tak memiliki aturan soal pembagian air, hanya berdasarkan kepada hukum sosial ‘siapa cepat, dia dapat’.

Hal itu mengakibatkan sungai-sungai di Desa Colo yang mengalir ke wilayah di bawahnya mengering, antara lain Sungai Montel, Sungai Kembang dan Sungai Tambak Lulang yang mengaliri Desa Kajar.

“Air terjun Montel itu objek wisata alam Kudus. Sekarang sudah bukan air terjun, tapi ‘air liur’, karena air di aliran sungai itu telah habis untuk kebutuhan warga,” katanya.

Pada bulan Maret 2017, Sutik beserta 10 warga Desa Kajar lainnya berjalan kaki dari depan kantor DPRD Kudus ke kantor Gubernur Jawa Tengah di Kota Semarang sejauh 51 kilometer untuk menolak penjualan air permukaan secara ilegal.

“Setelah hampir satu tahun ini belum ada dampak dari penutupan. Sawah tetap kering. Saya minta agar air yang masih mengalir di tempat penjual air alirannya diputus saja. Lalu dialirkan ke sungai. Penyegelannya kan cuma pakai papan peringatan. Tidak efektif mengembalikan air ke ekosistemnya di sungai,” kata Sutik.

Sejak pelarangan penjualan air permukaan diterapkan pada November 2017, ada 18 penjual air ilegal terkena segel karena tak mengantongi izin pemanfaatan dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana.

Namun, Hendro, yang mengantongi izin pemanfaatan air permukaan dari tahun 2011 hingga 2016, membantah bahwa penjualan air dengan sistem berkelompok membuat debit mata air berkurang.

Ia mengklaim hal tersebut berdasarkan pengalaman warga yang tergabung dalam kelompoknya yang selalu memperoleh air dari jaringan pipa yang telah dibuat.

Hendro menyatakan bahwa ia tak pernah mengukur sumber mata air menggunakan metode ilmiah.

Ia mengatakan bahwa sejak pertama kali mengambil air dari Gunturan Ombo, yang berada di Desa Colo dan berjarak empat kilometer dari rumahnya, debit air tetap.

Mata air Gunturan Omblo melintasi Desa Kajar melalui Sungai Tambak Lulang. Namun, sungai itu mengering karena sudah disedot warga.

Lebih lanjut, ia mengatakan sesuai kesepakatan kelompok, air yang tak terpakai warga yang merupakan bagian kelompok dialirkan ke bak penampungan miliknya pada malam hari. Sehingga ia dapat menjual air tersebut dalam jumlah besar melalui truk tangki.

“Setiap malam kan air tetap mengucur ke rumah warga. Daripada sia-sia, airnya saya belokkan ke bak penampung. Pagi hari truk tangki mulai isi,” kata Hendro yang sudah menjual air permukaan sejak tahun 2005 tanpa izin. Ia baru resmi mengantongi izin sejak tahun 2011 hingga 2016. Namun, Hendro masih melakukan usahanya hingga tahun 2017. Kini, izinnya tak diperpanjang lagi oleh BBWS Pemali Juana dan kegiatan usahanya disegel.

Menurut data pengukuran debit air oleh BBWS Pemali Juana tahun 2017, pemanfaatan mata air Gunung Muria oleh 18 penjual air illegal di tiga desa—Colo, Kajar dan Dukuh Waringin—adalah 15,12 liter per detik atau 16.134.000 liter per bulan.

“Teknik pengukuran dengan menghitung laju air di dalam pipa yang mengalirkan air dari Gunung Muria di desa yang berada di lerengnya. Kami baru hitung pada satu kali periode untuk mengetahui air permukaan yang dimanfaatkan secara ilegal oleh seluruh penjual,” ungkap Mujari, kepala seksi Perencanaan Bidang Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Alam, BBWS Pemali Juana.

Lebih lanjut, Mujari mengatakan bahwa penutupan penjualan air permukaan ilegal dari sumber di Gunung Muria akan berdampak terhadap imbuhan mata air.

“Penutupan usaha air menghemat jutaan liter air permukaan. Laporan terakhir yang kami terima pada bulan Juli, penutupannya masih berjalan kondusif,” jelasnya pada akhir Agustus 2018.

Pada awal Oktober 2018, keterangan dari warga setempat, masih ada aktivitas penjualan air meski pelarangan belum dicabut. Truk tangki lalu-lalang di siang hari di jalanan sekitar Gunung Muria mengangkut air dari tempat para penjual air.

Sementara itu, Sokhib mengatakan bahwa upaya penutupan penjual air tak serta-merta menambah imbuhan pada sumber mata air.

Dia berharap, berbagai pihak menyikapi persoalan air di Gunung Muria secara objektif mulai dari kawasan sumber mata air, warga yang memanfaatkannya dan kawasan sungai di bawah Colo yang mengalir ke kawasan kota Kudus.

“Jangan saling menyalahkan terkait kondisi air di Muria. Kita mesti duduk bersama mencari solusi. Usul saya perlu ada regulasi di tingkat desa untuk mengatur penggunaan air. Selama ini pengambilan mata air tak ada yang mengendalikan,” kata Sokhib.

 

Konservasi air Gunung Muria

Maraknya perambahan liar membuat kawasan hutan lindung Gunung Muria kehilangan fungsinya sebagai penyedia sumber air.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus dan Kesatuan Pemangkuan Hutan Pati, luas hutan lindung Gunung Muria menyusut dari 2.000,3 hektar pada tahun 1996-1997 menjadi 1.289 hektar pada tahun 2016.

Menurut Ketua Forum DAS Muria—organisasi masyarakat sipil terdiri dari akademisi dan instansi pemerintahan di Kabupaten Kudus, Jepara dan Pati yang berada sekeliling Gunung Muria—Hendy Hendro, alih fungsi lahan di kawasan hutan Muria berdampak pada daya tampung daerah aliran sungai sehingga kemampuan tanah untuk meresapkan air berkurang.

Secara geologi, kata Hendy, jenis lapisan tanah Gunung Muria adalah pasir tufaan, yang mirip dengan tanah lempung, rendah menyerap air.

“Sumber mata air berkurang terpengaruh dari kawasan DAS di mana tutupan vegetasi berkurang, konversi lahan meningkat, kondisi tanah, jenis tanah, curah hujan kurang dan perubahan iklim,” kata Hendy.

Berdasarkan data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Pemali Jratun tahun 2016, sekitar 125,80 dari 2.662,42 hektar lahan DAS Logung Sungai Juwana di dalam kawasan hutan lindung Gunung Muria berada dalam kondisi kritis. Sebanyak 39,05 hektar lahan kritis DAS Logung itu berada di Desa Colo.

“Fungsi kawasan DAS sebagai penangkap air di Muria telah berkurang. Cara memperbaikinya dengan konservasi lahan,” kata Hendy.

Sejak dibentuknya Paguyuban Masyarakat Pelestari Hutan (PMPH) Muria pada tahun 1998, warga desa Colo berupaya mencegah perambahan hutan, melalui tindakan hukum dan pendekatan terhadap warga.

“Kami pernah menangkap pelaku ilegal logging di Colo. Mereka kami serahkan ke polisi, karena sudah merambah banyak. Setelah itu kami persuasif. Mengingatkan warga dampak perambahan berpengaruh buruk pada ketersediaan sumber mata air,” kata Sokhib, Ketua PPMH Muria, menambahkan mereka juga melakukan penanaman pohon endemik, Mranak (red : mudah punya cabang dari tunas aksilar yang dekat dengan pokok pohon)  yang hampir hilang akibat perambahan liar di Gunung Muria.

Wakil Administratur Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pati, Muhadi mengatakan kerapatan vegetasi hutan lindung Gunung Muria di Kudus saat ini 80 persen atau masih terdapat lahan di hutan lindung yang belum ada pohonnya.

“Kalau kita lihat itu tidak kritis. Hanya kosong saja tidak ada tanamannya. Tahun 2017, kami menanam 2.000 lebih bibit tanaman keras yang kayunya tak bisa dimanfaatkan. Tahun 2019 juga ada program rehabilitasi hutan dengan penanaman,” kata Muhadi kepada Ekuatorial.com awal Agustus 2018.

Hendy Hendro, ketua Forum DAS Muria mengatakan, vegetasi di hutan lindung memang harus ditambah, karena berdampak positif terhadap imbuhan air permukaan.

“Area tangkapan air harus dijaga. Tingkat kerapatan vegetasi ditambah dengan penanaman pohon baru. Itu akan memasok air permukaan di Gunung Muria,” kata Hendy.

Setelah peristiwa perambahan hutan pada 1998, Muhadi menyatakan tak ada perambahan besar di hutan lindung Gunung Muria. Namun, masih ada kasus kehilangan pohon dengan skala kecil seperti penebangan ilegal. Setiap tahun ada dua sampai empat pohon hilang.

“Setiap kehilangan satu pohon, kami buat laporan ke polisi. Kami jaga betul hutan lindung,” katanya.

Sepanjang Januari-September 2018, kata Muhadi, terdapat satu kasus penebangan ilegal di hutan lindung Gunung Muria Kudus dengan satu pelaku yang merupakan petani di Kudus. Pohon di hutan lindung Kudus yang ditebang pelaku pembakalan sejumlah lima batang. Saat ini kasusnya masuk tahap persidangan.

“Tujuan pelaporan ke polisi ini untuk menjaga hutan lindung. Jangan sampai terjadi pembalakan lagi,” kata Muhadi. EKUATORIAL.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.