Para pemuda Desa Kubung, Kalimantan Tengah bergiat menanam tanaman lokal, seperti durian dan jengkol, untuk mencegah ekspansi kelapa sawit di hutan desa mereka dan meningkatkan penghasilan. Sementara rekan-rekan mereka di Desa Kinipan, dihadapkan dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit yang mulai menjarah lahan hutan mereka.

Oleh Dionisius Reynaldo Triwibowo

Liputan ini pertama kali terbit di harian Kompas pada tanggal 27 Januari 2019.

Lamandau, KALIMANTAN TENGAH –  Para pemuda Desa Kubung, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, bergiat menanam dengan harapan bisa mencegah masuknya perkebunan ke daerah sekaligus bisa mempertahankan hutan.

Albert Himawan (28), salah satu tokoh muda Desa Kubung, sibuk memilah durian. Sementara, beberapa pemuda lainnya sibuk menurunkan durian berwarna hijau, kuning dan merah dari keranjang.

“Ini hasil menyandau (menunggu durian runtuh) semalaman di hutan,” ungkap Albert pada Rabu (16/1/2019) di Desa Kubung, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.

Durian merupakan salah satu penghasilan utama warga Desa Kubung.

Dalam sehari, Albert dapat mengumpulkan 40 hingga 45 buah durian, yang harganya bisa mencapai sepuluh ribu per tiga buah untuk ukuran kecil, tujuh ribu rupiah untuk ukuran sedang per buah, dan sepuluh ribu untuk ukuran besar per buah.

“Kalau rajin bisa dapat Rp 13 juta tak sampai sebulan, itu setiap malam menunggu di hutan. Kalau mau kaya di sini harus rajin ke hutan,” ungkap Albert yang memperoleh Rp450.000 dari penjualan hari itu.

Hasil panen durian hutan yang melimpah di Desa Kubung. Sumber: Dionisius Reynaldo Triwibowo

Selain durian, warga Desa Kubung juga mengandalkan pendapatan dari jengkol (Archidendron pauciflorum).

Jonathan Pondar (13) membantu ayah dan ibunya memanen jengkol di hutan Desa Kubung, sekitar lima kilometer dari rumahnya.

Ia menunggu Toni (35), warga Desa Kubung, yang memanjat salah satu pohon jengkol, atau disebut jaring oleh warga setempat, sementara orangtuanya sibuk memasukkan buah jengkol ke dalam karung.

“Harus dipotong, kalau ambil satu-satu lama kerjanya, pohonnnya kan ada ribuan, gak selesai nanti sampai tahun depan pun,” ungkap Jonathan menambahkan butuh dua hingga tiga tahun untuk memanen di pohon yang sama.

Dibutuhkan dua hingga tiga tahun untuk menanen di pohon yang sama.

Jengkol hutan di Desa Kubung mirip dengan jengkol pada umumnya. Buahnya berkulit hitam kecoklatan, namun isi jengkol asal Kubung lebih gemuk dan berwarna hijau muda.

Setelah selesai memanen, pekerjaan dilanjutkan dengan mengupas kulit jengkol selama empat hingga lima jam untuk menghasilkan 45 kilogram jengkol hijau.

R.K Maladi, ayah Jonathan, mengatakan ada 1200 pohon jengkol siap panen di lahan miliknya yang berada di hutan Kudung, namun belum seluruhnya bisa dipanen. Dalam setahun, ia hanya panen tiga kali, yaitu setiap bulan Januari, Februari, dan Desember.

Pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat setempat didampingi oleh organisasi sipil menyebutkan total wilayah penguasaan masyarakat Desa Kubung mencapai 23 ribu hektar.

“Banyaknya hasil panen tergantung seberapa rajin kami memanennya, selain itu kami juga pilih-pilih, karena di musim buah itu tak hanya jengkol saja yang bisa dipanen, tapi ada durian, langsat, dan lain-lain,” ungkap Maladi menambahkan bahwa harga jengkol mencapai Rp15000 per kilogram.

Lebih lanjut, ia mengatakan bisa mendapatkan Rp4.500.000 untuk 300 kilogram.

Bagi Albert dan Jonathan, cara sederhana untuk melindungi hutan tetap rimbun dan mencegah diubah menjadi perkebunan adalah dengan terus menanam. Mereka terus menanam karena hal tersebut merupakan ajaran orang tua mereka dan akan diteruskan ke anak-anak mereka.

“Buah yang kami makan atau kami ambil tidak kami buang, pasti kami tanam kembali, itu yang bapak ajarkan ke saya,” ungkap Jonathan.

 

Penolakan terhadap perkebunan

Berbeda dengan Desa Kubung yang melindungi hutan dengan menanam, para pemuda Desa Kinipan, yang berjarak 100 kilometer dari Kubung, sedang berhadapan dengan perusahaan sawit yang ingin melakukan ekspansi seluas 1200 hektar di lahan hutan mereka.

Hal tersebut mendorong Nisa (16), murid SMA Negeri I Batang Kawa, di Desa Kinipan beserta belasan warga melakukan aksi damai menolak deforestasi dan sawit di areal mereka.

“Saya memang tidak pernah ke hutan tetapi saya tahu kalau ayah saya menyekolahkan saya dari menjual durian, jengkol, dan madu,” kata Nisa yang mengatakan bahwa ayahnya telah kehilangan sumber penghasilan akibat ekspansi perkebunan sawit tersebut.

Bentuk protes mereka diwujudkan, antara lain dengan menanam kembali lahan yang sudah dibuka dengan buah durian, jengkol, hingga tanaman obat dan bumbu masak.

Sejak tahun 2015, PT Sawit Mandiri Lestari (SML) yang berkantor di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, mulai membuka sekitar 1242 hektar kawasan hutan di sekitar Kecamatan Lamandau dan Kecamatan Batang Kawa.

PT SML memperoleh izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) seluas 19.091 hektar, — areal inti seluas 9.435,22 hektar dan plasma seluas 9.656,37 hektar — dari Kementerian Lingkungan dan Kehutanan pada 19 Maret 2015. Izin tersebut mencakup dua kecamatan, Lamandau dan Batang Kawa.

Nisa dan teman temannya di lokasi land clearing Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau. Number: Dionisius Reynaldo Triwibowo

Berdasarkan pengukuran kadastral (Red: sesuai dengan batas-batas tanah yang ditentukan oleh badan pencatat tanah milik) yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada 13 April 2017 lalu, PT SML menguasai 17.046 hektar.

Bulan Oktober 2018, Haeruddin Tahir, Executive Operation PT. SML, membantah telah membuka wilayah Desa Kinipan dalam pertemuan dengan warga dan pemerintah di Desa Nanga Bulik, ibukota Kabupaten Lamandau.

Ia melanjutkan bahwa daerah yang masuk areal inti perkebunan PT SML dan sudah dibuka adalah Desa Karang Taba, yang berbatasan langsung dengan Desa Kinipan dan termasuk dalam wilayah Kecamatan Lamandau.

Hal tersebut menimbulkan konflik tata batas antara Desa Kinipan, yang tidak setuju dengan perkebunan kelapa sawit masuk wilayah adat mereka, dengan Desa Karang Taba, yang setuju dan sudah menjual lahan mereka kepada perusahaan.

Sementara, Willem Hengki, Kepala Desa Kinipan, mengatakan bahwa persoalan tata batas masih dalam tahap penyelesaian antara Desa Kinipan dan Desa Karang Taba.

“Saya juga masih mau pastikan ke pimpinan daerah di Kabupaten,” ungkap Willem, pertengahan Januari 2019 silam.

 

Liputan ini atas dukungan dari Earth Journalism Network dan Southeast Asian Press Alliance

 

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.