Izin HTI yang dikeluarkan pemerintah tidak hanya menggeser kependudukan suku asli Pulai Siberut, menggerus hutan, dan mengancam flora dan fauna endemik Mentawai. Para ahli pengobatan suku asli pun terpaksa berjalan lebih jauh untuk mencari tanaman obat yang semakin langka.

Di pedalaman Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, sikerei atau ahli pengobatan tradisional masih menjadi andalan. Sikerei punya kepandaian meramu tumbuhan obat, bisa mengobati  penyakit ringan seperti sakit kepala dan flu, hingga penyakit berat seperti dipatuk ular, luka bacokan, penyakit kulit, menghentikan pendarahan ibu melahirkan, dan sakit perut, menggunakan banyak jenis tumbuhan. 

Sikerei bukan hanya ahli pengobatan, sikerei juga berkomunikasi dengan roh-roh. Aman Jairo, seorang sikerei dari Rogdok Siberut Selatan, bercerita daun-daun juga digunakan sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan roh-roh dan daun-daun dikenakan sebagai hiasan saat ritual.

Sikerei seperti Aman Jairo juga memiliki lokasi rahasia di hutan-hutan tertentu untuk tanaman obat penting seperti obat digigit ular, kena racun panah dan mengobati perempuan yang melahirkan.

 “Agar tanaman obat itu tidak hilang, kami punya tempat-tempat rahasia di hutan untuk menemukan tanamannya. Masuknya perusahaan yang mengambil kayu akan membuat kami kehilangan hutan tempat tumbuhnya tanaman obat.”

Aman Jairo, Sikerei, Rogdok SIberut Selatan

Hutan baginya sangat penting sebagai  sumber tanaman obat. Bila hutan sudah dibuka, para sikerei akan semakin jauh berjalan kaki ke dalam hutan untuk mencari tanaman berkhasiat obat yang masih ada.

Untuk jasanya mengobati orang sakit, sikerei tidak memungut bayaran. Mereka hanya diberi imbalan daging babi dan beberapa ekor ayam. Padahal pilihan menjadi sikerei adalah dilema tersendiri, karena para sikerei ini tidak bisa leluasa mengolah ladang atau ternak. Menurut Aman Jairo, selama masa pengobatan, sikerei dan istrinya dilarang melakukan aktifitas termasuk berladang dan aktifitas seksual, karena obatnya bisa tidak manjur. 

Dalam ritual pengobatan, sikerei menarikan tarian sikerei atau muturuk. Itulah tahapan akhir pengobatan. Roh si sakit dihibur dengan tarian dan sesajian agar tidak meninggalkan tubuhnya. Sebab jika jiwa telah meninggalkan tubuh berarti orang tersebut bisa meninggal dunia. 

Baca juga:

 Mencari penjelasan ilmiah

Di Saibi Samukop, sikerei tidak banyak lagi. Sikerei masih ada di dusun-dusun. Masih ada 10 sikerei yang tersebar di Dusun Saibi, Dusun Kaleak, Dusun Simoilalak dan  Dusun Sirisurak.

Pada tahun 1999, Amri Bakhtiar, guru besar dan peneliti tanaman obat di Fakultas Farmasi Universitas Andalas, bekerja sama dengan Taman Nasional Siberut meneliti tanaman obat yang digunakan sikerei di Siberut Selatan. Peneliti dari Pusat Studi Tumbuhan Obat saat itu meminta bantuan sikerei mengumpulkan tumbuhan obat yang mereka pakai dan yang bisa diidentifikasi. 

Pengetahuan tumbuhan obat tradisional sikerei di Mentawai termasuk tinggi dibandingkan dukun pengobatan di tempat lain di Sumatera. 

“Saat sikerei ini dibawa ke hutan, ia bisa menyebutkan nama-nama berbagai jenis tumbuhan yang ia gunakan serta khasiatnya. Kalau dukun pengobatan di tempat lain, pengetahuannya tentang nama-nama tumbuhan obat tidak sebanyak sikerei,” kata Amri.

Setelah penelitian etnobotani atau pemakaian tumbuhan oleh masyarakat di Rogdok, Amri melanjutkan menganalisis fitokimia. Tumbuhan obat tersebut diperiksa di laboratorium untuk mencari tau apa senyawa-senyawa kimia yang terdapat di dalamnya. 

Sikerei Aman Jairo di depan rumahnya di Rogdok Siberut Selatan. Sumber: Febrianti

Ia  juga bertanya kepada sikerei tentang kegunaan tumbuhan obat tersebut dan bagaimana khasiatnya, kemudian dilanjutkan penelitian di laboratorium untuk mengonfirmasi apakah khasiatnya sesuai dengan pengetahuan sikerei. Misalnya, obat sakit perut, diare, dan obat untuk perempuan habis melahirkan apakah demikian khasiatnya. 

“Setelah diuji, ternyata memang ada korelasinya dari apa yang diceritakan sikerei tersebut, namun itu baru kandungan kimia tanaman obatnya, belum diteliti ramuan sikerei yang terdiri dari beberapa jenis tanaman,” lanjut Amri.

Dari 209 tumbuhan yang sering digunakan untuk pengobatan, ada 31 macam penyakit yang dapat disembuhkan dengan penanganan secara tradisional, begitulah klaim sikerei. Penyakit terbanyak yang bisa diobati adalah sakit perut dan berbagai ‘penyakit perempuan’ seperti sakit perut saat datang bulan dan menghentikan pendarahan ibu melahirkan. 

Jenis tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah Rubiaceae (20 jenis), Zingiberaceae (19 jenis), dan Euphorbiaceae (14 jenis). 

Jenis-jenis tumbuhan itu ada yang digunakan secara tunggal, namun yang terbanyak berupa ramuan beberapa jenis tumbuhan dan kadang-kadang dicampur dengan bahan lain.

Pengetahuan dan tanaman yang semakin punah

Pada 2012 lalu Amri Bachtiar terlibat dalam penelitian pengobatan tradisional bersama Balai Besar Penelitian dan Pengembangan tanaman obat dan obat tradisional atau B2P2TOOT. Risetnya mengenai tumbuhan obat berbasis komunitas di Indonesia.

Amri Bachtiar menjadi penanggung jawab penelitian di Sumatera Barat. Di Mentawai penelitian dilakukan di Siberut Tengah di Dusun Sirisurak, Desa Saibi Samukop dan di Bojakan dan Monganpola di Siberut Utara. 

”Kita minta sikerei menunjukan cara pembuatan berbagai jenis ramuan obat yang ia gunakan, dan kita hanya mendata dan mendokumentasi apa adanya, tidak mengintervensi,” kata Amri Bachtiar.

Di tiap kecamatan itu ada 5 sikerei yang dilibatkan dalam penelitian. Penelitian selama 21 hari. Hasilnya, di Bojakan dan Monganpula, lima sikerei itu bisa membuat 52 ramuan untuk 52 jenis penyakit dari 115 jenis tanaman. Sedangkan di Kecamatan Siberut Tengah di Dusun Saibi dan Dusun Sirisurak lima sikerei itu bisa membuat 64 jenis ramuan obat dari 152 jenis tanaman.

Mereka membuat ramuan segar, langsung dipakai saat itu juga. Misalnya obat untuk sakit telinga, yang disebut simanenet, telinga rasa nyeri. Simanenet adalah ramuan beberapa jenis daun yang digiling, diberi air, dimasukkan ke dalam tabung bambu dan dioleskan dengan bulu ayam ke telinga yang sakit.

“Masing-masing sikerei itu punya kepandaian. Ini baru dari 10 sikerei, belum lagi dari sikerei lainnya di Siberut,” kata Amri.

Amri mengatakan saat penelitian di Siberut itu tim peneliti tidak menemukan 23 jenis tanaman obat yang digunakan di Sirisurak serta 10 jenis tanaman yang digunakan sikerei di Bojakan yang menandakan tanaman itu sudah langka. 

“Ancaman pada tanaman obat itu adalah eksploitasi hutan, itu tentu akan menghilangkan tanaman obat khas yang ada di sana,” kata Amri Bachtiar.

Baca juga:

Liputan ini di danai program fellowship yang dilaksanakan atas kerjasama antara Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), Conservation International Indonesia dan Kedutaan Besar Amerika Serikat.

About the writer

Febrianti

Febrianti is a journalist who lives in Padang, West Sumatra. Currently, Febrianti is a contributor for Tempo in West Sumatra and the Editor-in-Chief of an online environmental and travel site, Jurnalistravel.Com....

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.