Aktivitas penambangan timah dan perubahan iklim dinilai berdampak cukup signifikan terhadap produksi lada di Bangka-Belitung. Untuk sebagian petani lada, tidak banyak pilihan selain terus berjuang menghidupkan kebun lada mereka.

Bangka, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Sekitar akhir abad ke-16, Indonesia merupakan produsen lada terbesar kedua setelah Vietnam, dalam perdagangan lada internasional dengan total ekspor sekitar 80 ribu ton. Namun ratusan tahun berikutnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa ekspor lada Indonesia di tahun 2017 sudah jatuh lebih dari 70 persen menjadi hanya 22.746 ton.

“Kebanyakan lada kami mati karena pangkal batangnya busuk, mungkin karena kelebihan kadar air, selain itu penyakit kuning juga banyak,” kata Aman (47), salah satu petani lada di Desa Serdang, yang memiliki kebun lada seluas dua hektar.

Aman mengatakan bahwa sejak tahun 2011, musim penghujan yang biasanya mulai di bulan Oktober, sudah mulai di bulan Agustus atau September, sementara ia harus menanam lada pada bulan Oktober agar dapat panen pada musim kemarau, sekitar bulan Juni. 

“Seingat saya, sejak tahun 2011, musim penghujan yang biasanya mulai Oktober, kini sudah turun Agustus atau September. Padahal, kami menanam lada pada Oktober karena mengejar panen di musim kemarau, sekitar Juni. Bahkan, pada Januari, yang biasanya di sini mulai kemarau, hujan masih sering turun hingga Mei. Mungkin, karena musim penghujan yang panjang itu, antara Januari-Februari menyebabkan lada kami terserang penyakit busuk pangkal batang atau penyakit kuning. Jika hujan turun hingga April-Mei, banyak putik lada yang gugur,” jelas Aman.

Namun, keadaan sebaliknya juga terjadi di tahun 2014 dan 2015. “Banyak tanaman lada kami mati karena musim kemarau yang panjang. Tahun 2015 hujan baru turun akhir Desember,” lanjutnya.

Sebelum tahun 2011, setiap satu hektar ditanami 1.200 batang lada dan menghasilkan sekitar 1,2 ton lada. “Sekarang ini nanam 1.000 batang lada, yang hidup sekitar 500 batang, dan menghasilkan 300-350 kilogram lada. Jauh nian perbedaannya,” kata Aman.

Mualimin Pardi Dahlan, anggota Dewan Nasional Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), organisasi lingkungan hidup nirlaba yang independen yang telah berdiri sejak tahun 1980, mengatakan perubahan yang dirasakan petani lada di Bangka selain dipengaruhi perubahan iklim global, juga terimbas meningkatnya aktifitas penambangan timah yang menyebabkan pembukaan lahan dan hutan yang luas, dan berekor pada pelepasan karbon dalam jumlah besar ke dalam atmosfir.

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai organisasi lingkungan, Walhi memiliki Hak Gugat dan dalam kurun waktu 1988-2000 Walhi telah mengajukan delapan gugatan terkait persoalan lingkungan hidup.

Mengapa dampak penambangan timah terhadap produksi lada di Bangka baru dirasakan saat ini?

Sejarah timah di Bangka-Belitung bermula pada awal abad ke-8 di masa Kerajaan Sriwijaya, dan terus berkembang pada masa-masa Kesultanan Palembang, VOC, Britania, Belanda, Jepang hingga pemerintahan Indonesia. 

“Berdasarkan penelusuran kami, selama kurun waktu itu, belum ada catatan sejarah yang menggambarkan dampak signifikan aktifitas penambangan timah terhadap perkebunan lada, atau memang tidak ada dampak lingkungan yang signifikan,” kata Dr. Ibrahim dari Universitas Bangka-Belitung yang menulis buku “Ekonomi Politik Sumber Daya Timah (2019)” bersama Dwi Haryadi dan Nanang Wahyudin.

“Tapi setelah reformasi 1998, berdasarkan penelitian kami setiap aktifitas TI (tambang timah) membutuhkan lahan sekitar 500 meter persegi. Tahun 2009, jumlah TI di Bangka-Belitung mencapai 18.000 atau sekitar sembilan juta meter persegi luas lahan yang ditambang. Selama sepuluh tahun terakhir banyak berkurang, perkiraan saya setengah dari sebelumnya, sekitar 9.000 unit. Warga sudah mulai sadar dengan dampak yang ditimbulkan dari penambangan timah, sehingga menolak kebun atau lahannya dijadikan tambang timah. Tapi soal luasan TI terbaru butuh penelitian lagi,” jelasnya. 

Data terakhir dari Walhi, total lahan yang dikuasai 1.343 IUP (Izin Usaha Penambangan) sekitar 1,1 juta hektar dari 1,6 juta hektar luas daratan Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung.

Bandingkan dengan luasan kebun lada di Bangka-Belitung, yang berdasarkan data Statistik Perkebunan Indonesia dari Direktorat Jenderal Perkebunan 2015-2017, tercatat hanya 25.230 hektare yang dikelola 57.751 petani. 

Mengubah bentang alam desa

Desa Rindik, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka-Belitung, memiliki luas 5.250 hektar. Sekitar 15 hektar, merupakan permukiman bagi 444 kepala keluarga. Setiap kepala keluarga ini mengelola kebun lada dan karet sekitar empat hektar, atau 1.776 hektar.

“Sisanya, sekitar 3.474 hektar sudah ditambang timah, yang dulunya kebun lada dan karet. Aktivitas tambang di sini skala kecil, bermodalkan mesin pompa isap maupun pompa semprot,” kata Muhammad, Kepala Desa Rindik.

Kehidupan warga desa Rindik yang berkebun lada dan karet, pada saat ini kondisinya memprihatinkan. Tanah desa yang sebelumnya subur, sebagian besar tidak dapat ditanami lagi karena rusak akibat penambangan timah.

Bentuk kerusakan itu misalnya hilangnya ratusan pohon besar, serta lahan menjadi berlubang-lubang atau gundul berupa hamparan pasir. Bahkan pohon rindik yang menjadi nama desa sudah tidak ditemukan lagi. 

Kondisi bentang alam desa Rindik tersebut juga dapat ditemui di ratusan desa di Bangka yang juga mengalami kerusakan dari aktifitas penambangan timah rakyat.

 “Ini dikarenakan masyarakat di sini tergiur dengan timah setelah runtuhnya Orde Baru itu. Saat itu kondisi krismon (krisis moneter) yang membuat hidup susah, dan timah menjadi solusi terbaik,” jelas Sahrin salah seorang  penambang timah yang mulai menambang beberapa bulan setelah pemerintahan Orde Baru berakhir.

Namun, sejak 2009, Sahrin berhenti menambang timah dikarenakan kerugian yang terus menerus dialaminya. “Hasil dari timah terkadang tidak sebanding dengan biaya operasionalnya, seperti untuk solar dan bayaran para pekerja, belum lagi mesin penyedot yang sering rusak, ya terpaksa berhutang untuk menutupi kerugian,” kata Sahrin. 

Kini dia kembali berkebun lada di sisa lahannya. Dari empat hektar yang dimilikinya, hanya tersisa 1,5 hektar yang masih bisa digunakannya untuk berkebun karet dan lada. 

Salah seorang warga di Bangka Selatan yang masih terus menambang adalah Suun. “Tujuan saya saat ini tetap menambang timah untuk mengumpulkan modal. Entah itu untuk berkebun atau berdagang. Kalau menambang seperti ini, resikonya juga besar, pendapatan juga tidak menentu. Tapi mau bagaimana lagi, modal untuk berkebun juga sangat mahal, belum untuk keperluan sehari-hari, membeli pupuk, jadinya serba susah,” kata Suun.

Selain berkurangnya lahan untuk berkebun lada, perubahan bentang alam di desa Rindik juga menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah menyerap air.  Air hujan yang sulit mengalir karena tergenang di lubang-lubang atau banjir, serta cuaca yang tidak menentu, menyebabkan banyak tanaman lada milik warga terserang penyakit kuning, ulat malam, keriting dan BKB (Busuk Pangkal Batang) atau mati. 

“Sekitar 1.200 tanaman lada yang saya tanam, semuanya mati. Saya belum sempat panen. Mungkin ini salah satu dampak dari aktifitas tambang timah, seperti yang pernah saya lakukan beberapa tahun lalu. Ditambah musim yang tidak menentu. Saat musim penghujan ternyata panas yang panjang atau sebaliknya,” kata Sahrin. 

Kusari (35), warga desa Rindik juga mengalami hal serupa. “Sekitar 1.100 tanaman lada saya mati,  sulit sekali sekarang menanam lada. Jadi saya tinggalkan begitu saja kebunnya,” kata Kusari yang sebelumnya pernah menjadi penambang timah.

Terkait besaran tanaman lada yang mati ini belum ada data yang dikeluarkan pemerintah, perguruan tinggi maupun lembaga non-pemerintah di Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung.

   

Bagan hasil Penelitian Epidemi Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada pada Kondisi Lingkungan yang Bervariasi oleh La Ode Santiaji Bande, Bambang Hadisutrisno, Susamto Somowiyarjo, & Bambang Hendro Sunarminto. Grafis: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia Credit: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia Credit: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Selain persoalan penyakit, seiring dengan melemahnya harga lada di pasar global, harga lada di Indonesia juga turun hingga Rp50 ribu per kilogram dari kisaran harga sebelumnya, yaitu Rp80-120 ribu per kilogram.

“Petani banyak mengeluhkan harga lada yang murah, tetapi semuanya dikendalikan oleh pasar global, semua komoditi di Indonesia saat ini turun kecuali kopi. Yang harusnya kita lakukan adalah terus meningkatkan produksi lada, serta terus melakukan inovasi bersama guna menambah nilai jual lada,” kata Erzaldi Rosman Djohan, Gubernur Kepulauan Bangka Belitung melalui telepon, 30 Juni 2019.

Dia berharap produksi lada di Bangka Belitung dapat mencapai 500 kilogram per hektar dalam setahun. Para petani lada, menurutnya, harus meningkatkan produktifitas lada dan jangan terpengaruh dengan harga lada yang murah.

Guna menjaga kualitas lada putih asal Bangka-Belitung, pemerintah Bangka-Belitung saat ini tengah mengusahakan jalur ekspor lada putih langsung dari wilayahnya. Upaya ini juga menghindari adanya pengoplosan lada putih dari Bangka-Belitung yang diekspor.

“Lada kita punya indikator geografi satu-satunya, mutunya juga lebih baik, piperinenya bisa mencapai enam hingga tujuh persen, kalau lada lain tiga persen ke bawah. Harumnya juga berbeda,” jelas Erzaldi. 

Kebun lada di Bangka saat ini menghasilkan sekitar 150 kilogram lada kering per hektarnya, dipanen setiap tujuh bulan. Dengan harga Rp50.000 , uang yang didapatkan petani sekitar Rp7,5 juta.  Penghasilan ini dikurangi biaya pupuk dan pestisida yang sekitar Rp1,5 juta untuk setiap hektar.

“Dulu hingga tahun 2013 harga lada masih di kisaran Rp90-100 ribu per kilogram. Dan setiap hektar dihasilkan lada sekitar 200 kilogram. Kini selain hasil lada berkurang, juga harganya turun,” kata Sahrin.

Nasib baik dialami Sandora. Selama 17 tahun berkebun lada, dia terbilang berhasil. “Kalau dua tahun yang lalu, lada saya bisa empat sampai lima kali panen, kalau sekarang, setelah dua kali panen dari 900 batang ada yang mulai mati sekitar tiga hingga empat batang, dan sekitar 300 ratus batang lainnya terkena penyakit kuning, ulat malam, keriting dan busuk pangkal batang. Padahal, tidak ada yang berbeda dari segi perawatan dengan lada saya dua tahun lalu. Sampai sekarang belum ada solusi yang konkrit dari pemerintah terkait penyakit itu, jadi kami hanya berusaha mencegahnya,”  kata Sandora. 

Lahan Kritis

Tahun 2017, luasan lahan kritis di Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung meningkat menjadi 275.500 hektar, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.

Hilman Nugroho, Dirjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Kehutanan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dikutip wartawan di Pangkalpinang sebagai mengatakan bahwa lahan kritis yang berada di kawasan hutan produksi meliputi 5.500 hektare, sementara di luar kawasan hutan luasnya 270.000 hektar.

 “Berdasarkan fakta tentang lahan kritis tersebut sangat sulit untuk masyarakat Bangka dan Belitung kembali berkebun lada atau bertani, tanpa adanya upaya penghentian penambangan timah, perluasan perkebunan sawit, serta perbaikan lahan yang kritis tersebut,” kata Mualamin dari Walhi. “Berdasarkan penelitian kami banyak petani lada di Bangka tidak berniat beralih ke perkebunan sawit,” lanjutnya.

Gubernur Erzaldi mengatakan baru di masa kepemimpinan dirinya pemerintahan Bangka-Belitung mendengarkan keluhan petani lada. Langkah yang diambil untuk membantu petani lada itu  adalah memberikan bantuan bibit lada yang mampu menangkal penyakit.

“Pemerintah Provinsi menyiapkan  bibit gratis, bibit pajar gratis, serta pupuk organik sebanyak 5 kilo per batang, satu keluarga petani bisa mendapat 500 batang. Program ini sudah berjalan sejak tahun 2018,” kata Erzaldi. “Bibit yang kami berikan adalah bibit unggul yang sudah diberi zat organik sabagai penangkal penyakit,” lanjutnya.

“Program sudah berjalan, dan per tahun kita memberikan 3-6 juta bibit. Kami juga terus memberikan edukasi terhadap petani terkait cara menanam lada dalam kondisi saat ini. Ini hasil dari kerjasama dengan Universitas Gajah Mada,” kata Erzaldi.

Berdasarkan jumlah bibit gratis yang dibagikan setiap tahun tersebut, diperkirakan program ini akan berjalan hingga 2023 untuk dapat menyentuh 57.751 petani lada yang ada di Bangka-Belitung.

Aman (47), si petani lada dari Desa Serdang, sudah menanam bibit bantuan tersebut. “Sekitar 100 bibit yang saya tanam itu terserang penyakit, dan beberapa batang mati. Mungkin karena tinggi bibitnya kisaran 10 centimeter. Bibit yang biasa kami tanam minimal 30 centimeter. Semoga yang hidup tetap bertahan,” kata Aman.

Upaya perbaikan dan pemanfaatan

Ada beberapa upaya yang akan dilakukan Pemerintah Kepulauan Bangka-Belitung terkait  lahan yang rusak atau kritis akibat penambangan timah.

“Pertama, penanaman jenis tanaman yang dapat tumbuh di tanah marginal kritis dengan memberikan kompos blok atau block nutrien. Tanaman itu misalnya cemara laut, jambu mete atau sirsak,” kata Erzaldi, ketika dihubungi Mongabay.

 Kedua, lahan bekas tambang yang memiliki aksesibilitas baik dan terdapat kulong atau lubang eks tambang,  dijadikan ekowisata kulong, seperti yang dilakukan di Desa Belilik.

Ketiga, lahan terbuka eks tambang dan kulong yang masih memungkinkan untuk ditutup dan diberi topsoil atau tanah humus dapat dikembangkan menjadi area pertanian terbatas.

Keempat, dapat dilakukan upaya mekanika tanah yaitu teknik pengelolaan tanah berupa pengkayaan bakteri dan biocarbon, seperti menggunakan pupuk organik cair, untuk mempercepat dekomposisi tanah dan penyediaan hara tanah, sehingga dapat dimanfaatkan.

“Kita juga akan mengusulkan ke Kementerian KLHK untuk menurunkan status hutan lindung yang sudah rusak menjadi hutan produksi, sehingga kulong-kulong yang ada di kawasan hutan lindung dapat direfungsionalisasi menjadi tambak udang yang produktif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan,” ujar Erzaldi.

Luasan lahan rusak di kawasan hutan lindung yang akan diusulkan penurunan statusnya, menurut Marwan, Kepala Dinas Kehutanan Kepulauan Bangka-Belitung, saat ini tengah dihitung dengan menggunakan citra satelit. Sementara luas lahan terbuka eks tambang sekitar 200.000 hektar, serta jumlah kulong yang tercatat sebesar 12.607.

Erzaldi juga menjelaskan pihaknya bersama Kementerian Pertanian akan menjalankan program SEKSI atau Selamatkan Eks Tambang Sejahterakan Petani.

Kegiatannya seperti penerapan integrasi ternak dengan komoditi pertanian, pengembangan lada di lahan eks tambang menggunakan pupuk hayati dan organik, serta pengembangan rumput padang pengembalaan.

“Secara umum, pemanfaatan lahan eks tambang harus terintegrasi antara ternak dengan komoditi pertanian seperti tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan, serta perikanan,” katanya.

“Pada 2020 direncanakan untuk dibuat demplot dulu dan akan didampingi dengan tenaga ahli baik dari Litbang Pertanian Kementan dan perguruan tinggi,” lanjutnya.

Dr Ismed Inonu, pakar agroteknologi dari Universitas Bangka-Belitung, menilai apa yang direncanakan Pemerintah Kepulauan Bangka-Belitung itu sangat baik. 

“Tapi yang pertama yang harus jelas status lahannya. Kalau lahannya masih berupa WIUP perusahaan tambang, maka kewajiban mereklamasi lahan bekas tambang adalah pada perusahaan tersebut bukan pemerintah,” katanya, Jumat (19/07/2019).

Berbeda jika lahan eks tambang rakyat atau tambang liar, maka kewajiban reklamasinya bisa pemerintah provinsi atau kabupaten. Eks tambang skala kecil perlu dilakukan penataan lahan dulu dengan meratakan dan menimbun kulong atau backfilling, baru diberi kompos dan ditanami. 

Sementara pemanfaatan lahan eks tambang untuk lada perlu dilakukan studi mendalam. “Kami di Universitas Bangka-Belitung sudah mencoba dengan tajar hidup dan terbukti dapat tumbuh dengan baik. Tapi memang input komposnya harus tinggi dan ditambahkan setiap enam bulan,” jelasnya. 

Untuk penyediaan kompos, tandan koson kelapa sawit yang berlimpah di Bangka-Belitung dapat dimanfaatkan. “Kami sudah mencoba pada berbagai jenis tanaman di lahan bekas tambang, dan terbukti dapat menggantikan pupuk kandang,” katanya. 

Pihaknya juga meneliti tanaman serai wangi dan sorgum untuk konservasi di lahan eks tambang. Hasil atau produksi serai wangi hampir sama jika ditanam di lahan non eks tambang, dan sorgum juga dapat tumbuh dengan baik.

Terkait sejumlah program SEKSI yang baru akan dijalankan tahun 2020,“Prinsipnya kita sepakat dan sangat mendukung program Pemerintah Bangka-Belitung karena sejalan dengan visi kita,” kata Ismed.*

Liputan oleh Nopri Ismi ini didukung oleh program Story Grants Asia Pasifik 2019 dari Internews’ Earth Journalism Network dan pertama kali terbit di Mongabay Indonesia dalam dua bagian pada tanggal 23 September 2019 dan 24 September 2019.

About the writer

Nopri Ismi

Nopri Ismi is a journalist and visual storyteller. He has reported on environmental issues, biodiversity, climate change, and Indigenous peoples for outlets including Mongabay Indonesia and Rumah Sriksetra.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.