Posted inArtikel / Perubahan Iklim

Menyemai asa dari mangrove pesisir Bedono (2)

Usaha warga Desa Bedono untuk mengembalikan fungsi hutan bakau merupakan perjalanan panjang. Melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan dukungan pemangku kepentingan lainnya, termasuk merubah perilaku dan mengembangkan potensi ekowisata hutan Bakau.

DALAM kurun waktu 15 tahun terakhir, separo wilayah daratan Desa Bedono menjadi lautan karena terkena abrasi. Kepala Desa Bedono, Agus Salim mengatakan, beberapa perdukuhan yang tenggelam oleh abrasi adalah Rejosari Senik, Tambaksari, Morosari, Pandansari, Towosari, dan Mandalika.

Dari beberapa dukuh di atas, sebanyak 400 KK harus direlokasi atau merelokasi diri, karena kampung mereka hilang dan berubah menjadi lautan. Bahkan menurut pakar, sebutnya, Desa Bedono mengalami abrasi terparah di sepanjang garis pantai Pulau Jawa, bahkan Indonesia.

“Hingga kini, daratan Desa Bedono yang benar-benar hilang sekitar 600 an hektare. Dan dulu jumlah warga Desa Bedono mencapai 4.000 KK, kini tinggal 2.000 KK atau sekitar 5.000 jiwa. Dari jumlah itu, lanjutnya,  90% adalah nelayan, 9% pedagang dan 1% pegawai,” terangnya.

Sedangkan berdasarkan data di Dinas Kelautan dan Perikanan Demak, kerusakan hutan mangrove mencapai 1.174 hektare atau sekitar 25,72 persen dari total luasan yang tertanam yakni 4.563 hektare. Jumlah tersebut tersebar di empat kecamatan yakni Sayung, Karangtengah, Bonang dan Wedung.

Dari empat kecamatan itu, kerusakan mangrove terparah terjadi di Sayung (653 hektare), disusul Wedung (320 hektare), Bonang (152 hektare) dan Karangtengah (49 hektare). Adapun luasan hutan bakau di pesisir Demak mencapai 4.563 hektare, tersebar di Sayung (2.264 hektare), Karangtengah (283 hektare), Bonang (568 hektare), dan Wedung (1.088 hektare).

“Yang kondisinya masih bagus seluas 2.470 hektare, selebihnya 919 hektare terancam rusak dan 1.174 hektare rusak,” jelas Kepala Bidang Perikanan Tangkap dan Kelautan Dinas Kelautan dan Perikanan Demak, M Sulkhan.

Kerusakan hutan mangrove tersebut mendorong laju abrasi pantai hingga mencapai 798,44 hektare. Lebih lanjut, Kecamatan Sayung masih menjadi wilayah pesisir yang mengalami tingkat abrasi terparah, yakni sepanjang 420,57 hektare.

Foto citra satelit luasan mangrove di Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak mengalami pengurangan signifikan selama 13 tahun yaitu pada 2003 hingga 2016. Sumber: Hartatik.

Sulkhan menambahkan bahwa pelestarian mangrove memiliki banyak manfaat. Peluang baru dapat dimanfaatkan dari mangrove ini disaat nelayan mengalami masa paceklik. Sebab, selain menjadi habitat ikan, mangrove bisa dikembangkan menjadi ekowisata.

“Di hutan mangrove ada potensi menjadi destinasi wisata. Apalagi kawasan konservasi mangrove di Dusun Tambaksari Desa Bedono telah dilengkapi fasilitas mangrove track yang kami bangun sepanjang 100 meter,” imbuhnya.

Bahkan konsep ekowisata mangrove ini pun telah diduplikasi di lain desa yakni di Pantai Glagahwangi, Desa Tambakbulusan Kecamatan Karangtengah. Ke depan konsep serupa akan dikembangkan di Desa Morodemak Kecamatan Wedung.

Di Dusun Bedono Desa Bedono, konsep ekowisata mangrove tengah diseriusi oleh Kelompok Penghijauan Bedono Bangkit. Kelompok binaan Wetlands International (LSM Belanda) ini mengembangkan ekowisata mangrove secara swadaya.

Di bawah kepemimpinan Kambali (50), kelompok melihat potensi hutan mangrove yang tumbuh alami di desa tersebut bisa mendatangkan pendapatan dari sisi ekonomi, selain penyelamatan lingkungan dari abrasi.

“Wisata hutan mangrove  di Dukuh Bedono ini sudah berjalan sekitar 1,5 tahun. Mulanya kami mendapat stimulasi dana dari Wetlands sebesar Rp 100 juta,” ujar Ketua Kelompok Penghijauan Bedono Bangkit ini.

Dana tersebut, imbuhnya, dialokasikan untuk tiga kegiatan yakni pembuatan mangrove track sepanjang 250 meter, budidaya ternak dan pembangunan sabuk hijau. Lebih lanjut, dipilihnya pembuatan mangrove track sesuai dengan arahan pendamping yang menghendaki bahwa Kelompok Penghijauan Bedono Bangkit harus punya usaha.

Para anggota pun sependapat dengan dibangunnya mangrove track, maka wisatawan akan tertarik berkunjung ke hutan mangrove.

Salah satu anggota Kelompok Penghijauan Bedono Bangkit yang mengembangkan hutan mangrove yang tumbuh subur di Dukuh Bedono Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak sebagai destinasi ekowisata. Sumber: Hartatik.

Bahkan sejumlah spot swafoto ditambahkan agar menambah suasana kekinian. Apalagi kelebihan hutan mangrove di dukuh ini tumbuh secara alami sejak belasan tahun silam, dengan didominasi bakau jenis api-api (Avicennia Sp). Adapun pengunjung hanya dikenakan tiket masuk sebesar Rp 5.000.

Lebih lanjut, tahun ini, kelompok kembali mendapatkan dana dari Wetlands sebesar Rp 10 juta. Dana tersebut dimanfaatkan untuk membangun gardu pandang. Para wisatawan bisa menikmati hamparan hutan mangrove dari atas gardu pandang. Dalam kurun waktu 1,5 tahun itu sedikitnya hutan mangrove di Dukuh Bedono sudah dikunjungi lebih dari 1.000 orang.

“Jika tidak banjir rob, pengunjung bisa mengakses hutan mangrove ini lewat jalan darat. Namun kalau banjir rob maka mereka harus menggunakan perahu dan biasanya naik dari Dusun Morosari,” imbuhnya.

Menurut Kambali, kesadaran masyarakat untuk ikut memelihara pelestarian mangrove lantaran melihat dua dusun lain di sekitar rumah mereka tenggelam akibat abrasi yakni Rejosari Senik dan Mandalika. Mereka pun tidak ingin Dusun Bedono terhapus dari peta.

Foto udara permukiman warga di Desa Bedono Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak yang semakin menjorok ke laut akibat diterjang abrasi. Berdasarkan penelitian Departemen Oseanografi Universitas Diponegoro (Undip) bahwa laju kenaikan muka air laut di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak 8,294 cm/tahun. Perubahan panjang garis pantai akibat kenaikan muka air laut 32,138 km pada 2016, diprediksikan 18,185 km pada 2021 dan 21,848 km pada 2026. Sumber: Hartatik.

Terpisah, Pakar Biokonservasi dari Undip, Fuad Muhammad menambahkan bahwa ekosistem mangrove memiliki fungsi beragam. Di antaranya sebagai tempat hidup aneka biota, transit bagi burung migran, melindungi pesisir, menjebak sedimen, daerah pemijahan, pengembalaan dan mencari makan.

Adanya alih fungsi lahan menjadi tambak atau perumahan mengakibatkan vegetasi bakau menjadi berkurang. Oleh karena itu, rehabilitasi kawasan pesisir dan restorasi mangrove penting dilakukan, agar hutan mangrove menjadi lestari. Kondisi seperti itu menjadi modal untuk dikembangkan menjadi ekowisata.

“Hutan mangrove yang bagus menjadi modal untuk mengembangkan ekowisata,” katanya.

Menurutnya, pengembangan potensi manggrove sebagai ekowisata harus memenuhi konservasi, edukasi, partisipasi, dan pendapatan. Prinsip konservasi dan edukasi sangat penting, karena keberadaan hutan mangrove sebagai pelindung alam untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan memelihara kelestarian lingkungan.

“Partisipasi masyarakat juga sangat penting karena sebagai aktor utama. Mulai dari perencanaan, pengawasan hingga pelaksanaan. Melalui program-program ini virus pemahaman tentang manfaat menjaga kelestarian hutan mangrove harus disebarkan kepada masyarakat luas,” tukasnya.

Liputan ini pertama kali terbit harian Suara Merdeka edisi cetak pada tanggal 23 Desember 2019 dan merupakan hasil dukungan Asia-Pacific Story Grants dari Internews’ Earth Journalism Network.

About the writer

Hartatik

Hartatik is an editor at Suara Merdeka daily newspaper, based in Semarang City, Central Java, and has 14 years of experience as a journalist. She has an interest in covering environmental issues, climate...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.