PLTU disebut sebagai kontributor terburuk tunggal yang bertanggungjawab atas hampir setengah (46%) dari emisi karbon dioksida dunia. Sementara di Indonesia, sejak 2006-2020 setidaknya ada 171 PLTU batubara yang beroperasi dengan total kapasitas 32.373 megawatt, yang tidak hanya menyumbang pada emisi global, namun mengancam kesehatan masyarakat.

Liputan ini telah lebih dahulu diterbitkan oleh Mongabay pada tanggal 15 Maret 2020.

Oleh Della Syahni

Pertengahan September 2019, Sunardi, buruh tani di Desa Mekarsari, pesisir Indramayu, Jawa Barat, ini sudah sebulan lebih tak ke sawah. Tahun itu, musim kemarau berlangsung lebih lama dari biasanya.

“Gagal panen. Tak ada tanduran, tak ada rumput yang harus dibersihkan, tak ada tanaman yang harus disiram atau disemprot,” kata lelaki 51 tahun ini.

Sunardi sudah jadi buruh tani sejak bujangan. Kalau dulu, kemarau jadi musim ditunggu-tunggu ayah empat anak ini. Kini, sebaliknya.

“Musim kemarau biasa hasil padi lebih banyak dan kualitas lebih bagus. Kemarau bisa panen lima kuintal hingga satu ton lebih banyak dari musim hujan,” katanya mengenang.

Setidaknya tiga tahun terakhir, yang dia ingat jelas, kemarau membuat panen tak menentu. Musim kemarau tahun sebelumnya, mereka masih bisa panen, namun dua tahun sebelumnya lagi, gagal.

Sunardi tak yakin apa yang menyebabkan gagal panen tanamannya. Dia mengatakan, mungkin saja karena debu pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara yang berdiri tak jauh dari sawah garapannya, mungkin juga memang kemarau lebih panas dari biasanya.

 

 

Sunardi, buruh tani di Desa Mekarsari, Indramayu kerap mengalami gagal panen beberapa tahun terakhir. Sumber: Della Syahni.

 

Kesusahan tak hanya dialami petani, juga nelayan di desa itu. Sawin, nelayan tradisional juga buruh tani bilang, sejak PLTU membuang limbah ke laut, sulit bagi nelayan mencari udang rebon di perairan dekat pantai. Mereka adalah nelayan udang yang berjalan kaki di lautan dekat pantai, menangguk udang.

“Sudah masuk empat bulanan nggak mencari udang rebon,” katanya.

Untuk berjalan ke perairan lebih jauh, ombak lebih sering tinggi dan arus deras. Nelayan tak berani ambil risiko. Sawin bilang, pernah seorang nelayan hilang terbawa arus.

 

Pangkalan nelayan Suralaya tak jauh dari PLTU Suralaya 1. Sumber: Della Syahni.

 

Tak jauh dari Desa Mekarsari, berdiri PLTU Indramayu I, dengan kapasitas 3×300 megawatt yang beroperasi sejak 2011. Ia berdiri di Desa Sumur Adem, desa tetangga Mekarsari. Saat ini, pemerintah berencana membangun PLTU Indramayu II kapasitas 2×1.000 megawatt di dekat PLTU Indramayu I.

PLTU batubara ini salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim. Greenpeace menyebut, PLTU sebagai kontributor terburuk tunggal yang bertanggungjawab atas hampir setengah (46%) dari emisi karbon dioksida dunia.

Greenpeace dalam berbagai laporan berkali-kali menyebut, PLTU batubara melepas polutan udara mematikan, menyebabkan penyakit serius dan kematian dini.

Satu PLTU rata-rata punya masa operasi 25-30 tahun. “Beroperasi 24 jam setiap hari, PLTU mengemisikan polutan mematikan seperti PM2,5, PM10, NOx, SO2 serta debu,” kata Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi, Greenpeace Indonesia.

Rencana pembangunan PLTU Jawa IX dan X di Suralaya, Banten, misal, diprediksi menyebabkan 151 ribu kematian dini selama rencana operasi.

Masyarakat Banten lantas mendesak pemerintah Korea Selatan yang membiayai pembangunan PLTU ini, untuk menghentikan pendanaan.

Namun, lembaga riset Pemerintah Indonesia membantah ekspansi PLTU akan menyebabkan dampak kesehatan secara langsung. Agus Haryono, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, belum ada bukti polusi udara karena operasional PLTU bisa menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker otak. Yang penting, katanya, buangan asap cerobong harus selalui dimonitor.

Wanhar, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga menjamin operasional PLTU gunakan alat pengontrol emisi (continuous emission monitoring system/CEMS).

PLN, kata Wanhar, kepada Merdeka.com, menerapkan teknologi rendah karbon dengan tingkat efisiensi tinggi (high efficiency and low emmission/HELE) seperti clean coal technology (super critical dan ultra super critical).

Bondan mengatakan, meski dengan sistem HELE sekalipun, PLTU batubara tetap melepaskan emisi CO2 ke udara yang menyebabkan pemanasan global.

“Satu sisi, Indonesia, punya Perjanjian Paris, sisi lain, batubara terus ditambah lagi. Meski tak lagi di Jawa, kini strateginya pindah ke mulut tambang, secara emisi justru lebih buruk dan berkontribusi signifikan untuk pemanasan global,” katanya.

Endcoal.org mencatat sejak 2006-2020 setidaknya ada 171 PLTU batubara yang beroperasi di Indonesia dengan total kapasitas 32.373 megawatt. Pembangkit-pembangkit ini ikut menyumbang CO2 yang dihasilkan oleh seluruh PLTU di dunia yang mencapai 258.394 juta ton dengan rata-rata emisi tahunan sekitar 6.463 juta ton.

Indonesia menempati urutan ke lima negara yang punya PLTU terbanyak di dunia setelah Tiongkok, India, Amerika Serikat dan Rusia.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Indonesia, pengadaan listrik masih 61% bergantung PLTU batubara.

Meski banyak lembaga keuangan berhenti membiayai proyek batubara baru, masih ada berbagai rencana di dunia yang mengandalkan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik.

Kalau rencana pembangunan 1.200 PLTU di seluruh dunia tetap jalan, masih menurut Endcoal.org, diperkirakan temperatur bumi naik hingga lima derajat celcius.

Untuk itu, di Indonesia, kata Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Pemerintah Joko Widodo jilid II harus segera memperketat standar emisi PLTU batubara lama dan yang beroperasi. Juga saat bersamaan menghentikan ekspansi PLTU baru dan mengganti dengan energi terbarukan.

“Indonesia yang maju tak mungkin tercapai dengan ketergantungan kepada energi kotor yang merugikan lingkungan dan masyarakat dan ketersediaan pun tak berkelanjutan,” katanya.

 

Dampak kesehatan perubahan iklim

Dampak perubahan iklim makin terasa di Indonesia. Erina Mursanti, Manajer Green Economy Intitute for Energy and Services Reform (IESR), sebuah lembaga yang fokus pada isu transisi energi, mengatakan, ini bisa dilihat dari bencana alam yang kerap terjadi seperti banjir, banjir bandang, longsor, kekeringan, cuaca dan gelombang ekstrim, abrasi, serta kebakaran hutan dan lahan.

Dalam penuturan Sunardi dan Sawin dari Desa Mekarsari, mereka masih ingat, kalau 10 tahun lalu perlu waktu setengah hari–berangkat pukul 6.00 pagi dan tiba di pantai pukul 11.00-12.00 siang. Kini, tak sampai setengah jam berjalan kaki dari rumah mereka sudah tiba di pantai.

Bagaimana dengan bencana? Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga akhir 2019 mencatat 3.271 bencana yang menyebabkan 477 orang meninggal dunia dan 109 lain hilang.

Data bencana yang terdiri dari total bencana, sebaran, korban, serta dampak kerusakan di Indonesia pada tahun 2019. Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

 

Berbagai bencana juga menyebabkan 1.083 fasilitas pendidikan, 651 fasilitas peribadatan dan 208 fasilitas kesehatan, rusak.

Sebagaimana disoroti Indeks Risiko Iklim yang dikutip dalam laporan Brown to Green dari IESR 2019, cuaca ekstrem menyebabkan kematian dan kerugian ekonomi. Perubahan iklim akan memperburuk intensitas, frekuensi, dan dampak dari peristiwa serupa.

Catatan IESR, karena rentan perubahan iklim, kalau suhu bumi mencapai 3◦C, risiko banjir di Indonesia meningkat lima kali lipat. Kalau naik menjadi 2,4◦C jumlah badai tropis kategori empat akan meningkat 80% dan kategori lima meningkat 120%.

Lebih jauh lagi, kata Erina, perubahan iklim mempengaruhi kehidupan manusia dalam berbagai aspek seperti gagal panen akibat kekeringan, nelayan sulit melaut akibat ancaman tingginya gelombang laut, hingga timbulnya berbagai penyakit.

Di pesisir Indramayu, Suralaya dan Labuan, misal, masing-masing akan jadi daerah ekspansi PLTU baru, masyarakat pesisir biasa sebagai nelayan dan petani. Gelombang tinggi pada bulan-bulan terakhir pada 2019 menyebabkan frekuensi nelayan melaut makin berkurang.

“Sekarang 10 tahun ke sini udah nggak bisa diprediksi. Bisa tiba-tiba berubah seketika. Kita lagi melaut enak ni, cuaca seperti ini, tak ada angin tak ada ombak, tiba-tiba gelap hanya dalam waktu satu jam sudah datang badai,” kata Faisal, nelayan pemilik kapal di Labuan.

Selain dampak terhadap lingkungan, perubahan iklim juga berdampak pada kesehatan manusia, terutama polusi udara.

Menurut WHO dalam laporan United Nations Environment Programmme (UNEP), hanya 8% populasi di Asia dan Asia Pasifik menghirup udara bersih. Sisanya, terpapar risiko kesehatan. Tak hanya manusia juga tanaman pangan dan lingkungan hidup.

WHO mencatat, polusi udara menyebabkan 7 juta kematian dini terutama negara ekonomi lemah atau dua pertiga dari negara Asia Pasifik. Sekitar 600.000 adalah anak-anak. Polusi udara juga menyebabkan kerugian ekonomi hingga US$5.11 triliun. Di negara dengan emisi gas rumah kaca tinggi, dampak kesehatan karena polusi udara diperkirakan menghabiskan 4% pendapatan per kapita.

UNEP lantas memberi 25 indikator pengukuran perbaikan udara yang kalau diterapkan–meski tak semua cocok untuk seluruh negara–, akan berdampak positif pada lingkungan dan kesehatan manusia termasuk keamanan pangan, udara, air, kualitas tanah, juga biodiversitas.

Ia akan mengurangi emisi hingga 20% pada 2030, tentu saja akan memberi kontribusi signifikan untuk Kesepakatan Paris yang hendak menjaga suhu bumi di bawah 2◦ celcius.

PLTU Suralaya sejak beroperasi mengeluarkan polutan debu yang berkontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Sumber: Della Syahni.

 

Budi Haryanto, peneliti Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Indonesia, mengatakan, di Indonesia, lima penyakit infeksi paling rentan muncul karena perubahan iklim, adalah malaria, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, demam berdarah dan leptospirosis.

“Makin lama, penyakit akibat perubahan iklim akan makin meningkat,” katanya.

Selain penyakit-penyakit karena infeksi ini, penyakit non-infeksi juga terindikasi dampak perubahan iklim. Di negara empat musim muncul kematian karena gelombang panas. Di Indonesia, kata Budi, ditengarai juga mulai ada, meski tak menyebabkan kematian namun lebih kepada stres karena panas udara (heat stress).

Stres karena panas. Itu gangguan mental karena perubahan iklim mulai dideteksi oleh teman-teman kedokteran. Makin lama makin meningkat.”

 

Demam berdarah

Budi memberikan penjelasan, bermula cuaca bisa berubah dengan cepat, dari panas lalu hujan deras atau sebaliknya. Air hujan yang tertinggal di tempat yang bersinggungan dengan tanah sangat efektif untuk nyamuk aedes aegypti meletakkan telur.

Telur nyamuk ini perlu waktu 7-9 hari untuk berubah menjadi dewasa. Setelah itu, dalam 10-12 hari, nyamuk dewasa mulai menggigit manusia. Manusia yang digigit nyamuk ini baru akan menderita demam berdarah antara 3-7 hari kemudian.

Dengan kata lain, kata Budi, dari telur hingga jadi DBD perlu 25-30 hari. “Penyakit akibat perubahan iklim akan meningkat terus. Meskipun banyak tempat sudah dieliminasi, namun muncul di tempat lain.” Dari riset RCCC 2013, demam berdarah cenderung muncul di perkotaan termasuk Jakarta.

 

Malaria

Di pesisir pantai sepanjang pantai utara Jawa, misal, kata Budi, penyakit dampak perubahan iklim yang juga mengancam adalah malaria. Perubahan iklim membuat gelombang pasang yang menerpa daratan jadi lebih tinggi. Saat surut, air yang tertinggal di pantai-pantai, menggenang. Air tergenang di daerah lebih tinggi, mula-mula masih bersifat asin. Lama kelamaan terkena sinar matahari, bercampur dengan air hujan hingga payau. Air payau dengan salinitas tertentu inilah yang jadi tempat nyamuk malaria berkembang.

Sepanjang usia 1,5 bulan, nyamuk anopheles penyebab malaria, akan menggigit manusia berkali-kali. Lima hari sekali gigit. Saat itulah akan terjadi kasus-kasus baru malaria. “Jadi penularan itu sekarang bisa terjadi dengan cepat di wilayah pantai,” kata Budi.

 

Diare

Selain malaria dan demam berdarah, diare juga merupakan penyakit yang rentan dampak perubahan iklim. Penularan diare akan makin masif lewat makanan dan minuman yang terkontaminasi. Saat kekeringan makin panjang, masyarakat mencari air hingga ke pegunungan seperti di Gunung Kidul, hingga ke goa-goa sumber air bersih.

“Karena air makin jarang dan kualitas air makin lama makin rendah, sering terjadi kontaminasi di sana.”

Tak hanya manusia, hewan pun mencari air. Saat musim kering, air sedikit, dikonsumsi banyak makhluk. Saat itulah, kemungkinan terjadi kontaminasi. Saat musim hujan panjang, banyak genangan air dan sumber air bersih tercemar oleh limbah banjir.

“Artinya, mau musim hujan atau musim kering yang panjang, kontaminasi itu tinggi. Baik itu di musim hujan maupun musim kemarau, hingga diare meningkat terus.”

Tak hanya di pedesaan, kata Budi, perkotaan juga rentan terdampak karena banyak juga orang kota besar tak bisa mengakses air bersih.

 

Leptospirosis

Banjir yang makin sering dampak perubahan iklim, juga menyebabkan penduduk makin rentan terhadap penyakit leptospirosis karena bakteri parasit leptospira yang dibawa oleh urin tikus terbawa bersama banjir.

“Orang Indonesia kebiasaan lebih sayang sepatu dan sandal. Begitu ada banjir dia buka, lalu lewat banjir. Padahal, kesenggol batu sedikit, kulit terkelupas, itu bakteri bisa masuk,” kata Budi.

Penyakit ini seringkali didiagnosa sebagai demam berdarah, dengan gejala demam naik turun namun tak kunjung membaik. Kalau DBD dideteksi dengan jumlah trombosit, leptospirosis terlihat dari gejala demam mendadak, mata merah, kulit kekuningan dan nyeri otot.

“Akibatnya? Fatal. Dalam dua minggu penderita leptospirosis bisa meninggal dunia,” kata Budi lagi.

 

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Bagaimana dengan ISPA? Kata Budi, penyakit pernapasan dalam perubahan iklim berkaitan dengan polusi udara.

Kala emisi CO2, saat bersamaan tak hanya CO2 yang keluar. Dia contohkan, saat pembakaran bensin kendaraan bermotor atau pembakaran batubara pada PLTU–salah satu penyebab polusi yang menyebabkan pemanasan global yang mengeluarkan hidrokarbon—saat bersamaan juga mengeluarkan NOx dan SOx yang mencemari udara. “Terkait perubahan iklim, polusi udara bisa jadi penyebab, bisa jadi akibat.”

Polusi udara mengemisikan CO2 dan menyebabkan perubahan iklim. Perubahan iklim juga menyumbang polusi udara yang tak bisa dihindari siapapun.

“Masyarakat sekitar PLTU otomatis menghirup polusi setiap hari, setiap detik,” ucap Budi.Selain lima penyakit menular ini, katanya, penyakit tak menular juga rentan terjadi dampak perubahan iklim, termasuk gangguan mental. Banyak bencana, seperti longsor dan banjir membuat ekonomi masyarakat terganggu.

Saat banjir atau longsor, misal, korban bencana kehilangan rumah, perabotan dan harus mengungsi dalam waktu lama. Kondisi pengungsian yang serba terbatas terutama untuk makan dan sanitasi, menimbulkan depresi.

“Memang, kasus bunuh diri tak banyak, tapi kerusakan mental itu juga parah.”

 

Bagaimana adaptasi dan mitigasi?

Untuk polusi udara, pada Climate Action Summit 2019, juga lahir apa yang disebut Clean Air Initiative, sebuah panggilan untuk pemerintah-pemerintah agar bergabung dengan tim ini. Tujuannya, menghadirkan udara bersih bagi warga dan bersama-sama menangkis perubahan iklim serta polusi udara pada 2030.

Kalau target dalam Kesepakatan Paris, tercapai bisa menyelamatkan satu juta nyawa per tahun hingga 2050 dan memberikan keuntungan dari dampak kesehatan setara US$54,1 triliun. Dua kali dana mitigasi perubahan iklim, hanya dari mengurangi polusi udara.

Dalam pertanian, kata Budi, perubahan iklim bikin pola tanam berubah hingga petani perlu mengganti tanaman pangan dengan tanaman lain yang bisa tumbuh dengan lebih baik.

Dedi, begitu petani ini ingin disebut, merupakan penggarap di pesisir Labuan, yang ingin mengganti padi dengan jagung. Karena lahan harapa, dia tak bisa ambil keputusan sendiri.

“Tanaman apa saja kalau dekat PLTU kurang bagus. Karena debu batubara itu panas. Buktinya sekarang merengkel, layu,” kata Dedi pertengahan September lalu.

Menurut analis Lauri Myllivirta, Center for Research on Energy and Clean Air, tanaman layu dan gagal panen biasa karena polutan berbentuk gas keluar dari PLTU, terutama SO2.

“SO2 dan NOx mempengaruhi tanaman dengan dua cara, langsung merusak daun dan melalui deposisi asam ke dalam tanah,” katanya. Selain itu, polutan dalam udara juga melemahkan tanaman yang terpapar hama.

Kalau petani bisa mengganti tanaman pangan dan tetap bisa mendapat penghasilan, kata Budi, sebenarnya bisa membuat makanan keluarga menjadi bervariasi.

“Masalahnya, kan makanan mereka jadi tak bervariasi. Makan nasi dengan apa adanya. Tadinya ada sayur dan protein, sekarang tidak. Berubah pola makan, ini yang bikin stunting,” kata Budi.

Data Kementerian Kesehatan, rata-rata prevalensi balita yang menderita stunting atau kerdil di Indonesia antara 2005-2017 mencapai 36,4%.

Nah, adaptasi, harus mensuplai makanan yang benar hingga ke mereka (balita).”

Variasi makanan sehat juga harus dibarengi kondisi ibu sehat. Hingga, pasokan energi ke balita dan anak-anak, baik dari makanan maupun asi eksklusif, bisa sepenuhnya untuk pertumbuhan, bukan melawan penyakit.

Dengan begitu, kata Budi, anak-anak lebih siap menghadapi kerusakan lingkungan di masa depan karena perubahan iklim.

Children environmental health harus diperkuat dari ibunya. Karena ibu jalur pendistribusi polusi ke anak lewat plasenta,” kata Budi.

Liputan ini didukung dana hibah dari kemitraan antara Internews’ Earth Journalism Network (EJN), organisasi nirlaba lingkungan hidup, dan Resource Watch, lembaga penelitian internasional yang berfokus pada isu-isu keberlangsungan masa depan.

 

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.