Pemerintah memasukkan program food estate dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Pro dan kontra menyelimuti langkah pemerintah tersebut. Yayasan Madani Berkelanjutan melihat perlunya penyamaan definisi food estate, keterbukaan perencanaan, dan optimalisasi lahan pertanian yand sudah ada.

Demi mendorong ketahanan pangan, pemerintahan Presiden Joko Widodo mencanangkan program food estate dan memasukkannya dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Artinya, berbagai fasilitas dan kemudahan diberikan untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan program yang melibatkan berbagai kementerian dan jutaan hektare lahan ini.

Proyek serupa pernah coba dilakukan pemerintah pada zaman Soeharto, dibawah program Pengembangan Lahan Gambut 1 Juta Hektare. Namun saat hutan sudah dibabat, proyek besar itu terhenti. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat coba melanjutkannya, tetapi mandek juga.

Sejarah buruk tersebut membuat food estate versi Presiden Jokowi ini langsung disambut pro dan kontra sejak dicanangkan. Kelompok pro menyoroti kebutuhan untuk memperkuat ketahanan pangan Indonesia, sementara mereka yang kontra mengingatkan kerusakan lingkungan masif yang berpeluang ditimbulkan.

Baru-baru ini Yayasan Madani Berkelanjutan merilis laporan studi mereka terhadap pelaksanaan program food estate tersebut di empat provinsi, yakni Papua, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan.

Untuk mengetahui hasil kajian dan perspektif Madani terhadap food estate, berikut petikan bincang-bincang the Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dengan Anggalia Putri Permatasari, Knowledge Management Manager lembaga nirlaba tersebut, pada Jumat (19/2/2021).

Anggalia Putri Permatasari. Foto: dokumentasi pribadi Credit: dokumentasi pribadi Credit: dokumentasi pribadi

Bagaimana Yayasan Madani memandang pelaksanaan program food estate di Indonesia?

Madani menyorotinya dari sisi hutan alam dan lahan gambut. Kenapa? Karena kami percaya bahwa masa depan ekonomi Indonesia cuma bisa tangguh kalau hutan alam kita dijaga, gambut kita dijaga, dan komitmen iklim kita tercapai. Apalagi masalah pangan ini terkait dengan climate–mikro dan makro.

Kami melihat ada sesuatu yang perlu dibedah, diperhatikan, dan dikritisi di sini karena Area of Interest (AoI) food estate kok banyak sekali hutan alam dan lahan gambutnya. Maka kami menganalisis dan mencoba mengestimasi kenapa hutan alam itu tercakup sangat banyak, sekitar 1,5 juta hektare (ha) di dalam AoI. Kami menghitung nilai kayunya, potensi harga kayu jika area itu ditebang untuk food estate. Ternyata, wow, besar sekali, sampai Rp209 triliun. Wah ini menggiurkan sekali.

Bukan ingin berburuk sangka, tetapi seperti ada aspek-aspek yang perlu diungkap. Makanya kami berharap mengundang pemerintah. Yuk berdialog, yuk dibuka sebenarnya rencananya seperti apa.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim hutan lindung yang dipakai food estate itu sudah tidak memiliki fungsi lindung. Komentar Madani?

Ini menarik. Kami senang bahwa kawasan hutan lindung yang akan dipakai adalah yang tidak lagi berfungsi lindung. Tapi, hasil yang menarik dari kajian kami ternyata hutan alam yang paling banyak dari AoI itu bukan di kawasan hutan lindung.

Bisa dibaca di Madani’s Insight, justru (lahan food estate, red.) banyaknya di luar kawasan hutan lindung, misalnya hutan produksi yang bisa dikonversi. Kemudian di kawasan area penggunaan lain (APL) itu sangat banyak, terutama di Kalimantan Tengah. Ok, hutan lindung yang dipakai itu yang sudah mati, tapi hutan alam yang banyak dipakai itu justru di luar hutan lindung dan itu boleh dialihkan.

Jadi kalo kita lihat dari sisi kebijakan, misalnya Permen LHK no 24/2020 tentang Pembangunan Kawasan Hutan untuk Food Estate, yang memperolehkan Kawasan hutan di luar hutan lindung untuk dijadikan food estate . Baik dari pelepasan kawasan hutan maupun melalui KHKP (Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan) boleh ada pemafaatan kayu, yaitu pohon ditebang, kayunya diambil.

Di luar kawasan hutan lindung pun, kami ada hitungannya di empat provinsi, berapa yang ada di kawasan lindung dan berapa yang ada di luar. Lebih banyak yang di luar.

Baca juga: WRI: perlu kajian lebih dalam agar pembangunan food estate tidak percepat degradasi lingkungan

Apakah Madani melihat ada kemungkinan terjadinya obral izin untuk pemanfaatan hutan alam sebagai food estate?

Kami tidak akan menggunakan kalimat itu. Cuma yang kami ingin ungkap adalah what’s going on here?. Sebenarnya hutan lindung (untuk food estate) itu kecil, hanya 74.016 ha. Sementara hutan produksi (408.090 ha), hutan produksi konversi (568.449 ha), dan hutan produksi terbatas (327.038) jumlahnya lebih dari 1 juta ha. Jadi yang paling terancam ini di luar hutan lindung.

Pemerintah memang menyatakan sedang melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) tetapi dokumennya belum bisa diakses publik, sehingga publik belum bisa berpartisipasi dalam KLHS. Maka kami belum bisa yakin bahwa hutan alam di AoI ini akan selamat.

Pemerintah, dalam berbagai statement juga menyatakan akan melibatkan pihak-pihak lain, termasuk investor. Itu menunjukkan “karpet merah” regulasinya sangat kental. Jadi, kalau dalam perizinan lain, misalnya hutan tanaman industri, banyak sekali syarat perizinan yang harus dipenuhi swasta. Kalau dalam food estate ini, karena dia masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), maka berdasarkan Perpres PSN terbaru (Perpres No. 109/2020) pemerintah justru wajib memfasilitasi, baik perizinan maupun non-perizinan.

Nah itu yang membuat kami khawatir, membuat kami ingin mengajak pemerintah lebih transparan dalam proses KLHS-nya atau tolong dipertimbangkan ulang proyek ini. Manfaat dan risikonya itu dilihat kembali. Kami merasa masih lebih besar risikonya.

Kami belum mendapatkan PP (Peraturan Pemerintah) terakhir seperti apa bunyinya. Sebanyak 45 PP dan empat Perpres (Peraturan Presiden) kan sudah keluar, tapi dari draft terakhir yang kami unduh di bulan November (2020), kami melihat karpet merahnya lebih luas lagi melalui UU Cipta Kerja. Jadinya tidak perlu Amdal. Kemudian, karena ini proyek kedaulatan pangan, boleh di daerah moratorium. Bahkan bisa dibebaskan dari membayar provisi sumber daya hutan (PSDH) dan/atau dana reboisasi untuk kayu-kayu yang diambil.

Food estate diprogramkan pemerintah untuk menjamin ketahanan pangan. Menurut Anda, apakah ada cara lain yang lebih baik?

Kompetensi kami di Madani memang bukan di situ (soal pangan, red.), banyak pihak lain yang lebih paham. Tetapi kami coba menyoroti ketahanan pangan dalam Madani’s Insight.

Pilar ketahanan pangan itu apa sih? Kan ada sisi ketersediaan, keterjangkauan–distribusinya bagaimana, kemudian sistem logistiknya bagaimana dan daya beli masyarakatnya bagaimana–dan yang terakhir ada soal pemanfaatan. Pertanyaannya, “food estate itu mau menyelesaikan masalah apa sih?” Kalau dari pemerintah kan dari stok ya, stok produksi pangan domestik.

Yang pertama kami pertanyakan itu kenapa tidak ada evaluasi proyek-proyek food estate sebelumnya yang dibuka ke publik. Jadi publik tahu itu tidak efektif karena apa, kemudian ketika proyek itu gagal, siapa yang bertanggung jawab? Itu tidak ada.

Jadi, kalau kita mau mengeksploitasi hutan dan gambut, yang bisa mengakibatkan bencana, tentu ada precautionary principle, prinsip kehati-hatian. Itu tentunya harus berdasarkan evaluasi dari kegagalan sebelumnya. Proyek kali ini lebih luas, dan masif, dibandingkan sebelumnya, tentunya harus lebih hati-hati.

Jadi, apa alternatif lain untuk menjaga ketahanan pangan?

Soal alternatif ketahanan pangan sebenarnya sudah banyak sekali diungkapkan oleh pegiat-pegiat pangan. Yang pertama itu persoalannya bukan karena tidak ada pangannya, atau kurang stoknya, tetapi masalah ketimpangan supply-demand. Jadi, perbaiki dulu gap supply-demand domestik itu.

Yang kedua, kita itu beras minded. Seharusnya diversifikasikan pangan itu sendiri sesuai lokalitas. Misalnya di Merauke ditanamnya beras, padahal mereka makannya sagu.

Ketiga, soal politik pangan, politik impor. Banyak sekali jurnal, studi, bahkan teriakan-teriakan di media, petani itu mengeluh serangan impor pangan sehingga harga produk mereka itu jatuh. Yang menentukan impor pangan itu kan bukan ketersediaan pangan, tapi who has the power. Jadi dari sisi stok, cadangan, kami ragu bahwa solusinya adalah ekspansi.

Terakhir, yang keempat, kami melihat ada kontradiksi. Kalaupun pemerintah ingin menyelesaikan masalah lahan pertanian yang semakin menyempit, alih-alih ekstensifikasi, kenapa yang ada sekarang itu tidak diberdayakan dulu produktivitasnya.

Undang-undang yang melindungi lahan pangan, perlindungan abadi pangan kita, justru dihilangkan oleh UU Cipta Kerja. Jadi di satu sisi lahan pertanian terdesak oleh Proyek Strategis Nasional, di sisi lain, kita malah mencetak lagi yang baru.

Bagaimana soal pro-kontra terhadap proyek food estate ini?

Ini menarik. Pertama-tama, apakah kita berbicara soal food estate yang sama? Jadi pertama harus dipastikan bahwa kita bicara barang yang sama. Makanya Madani mengundang teman-teman yang pro dan yang kontra, untuk melihat bersama soal benar tidak AoI-nya di titik ini, benar gak hutan alamnya di sini.

Alangkah baik dibuka dulu rencananya, rencana pastinya. Karena rencana operasionalnya bermacam-macam dan berubah-ubah.

Menurut kami, pemerintah harus benar-benar transparan karena kita bisa hati-hati kalau diawasi orang. Proses KLHS-nya harus bersama-sama publik. Hasil evaluasi oleh pemerintah pun dibuka dulu bersama-sama karena food estate ini masif. Bahkan Kementerian Pertanian menyatakan setiap provinsi harus mengajukan food estate.

Food estate yang bagus itu yang bagaimana? Apakah dibuka di lahan existing, petaninya apakah lokal atau transmigran? Karena pada beberapa kasus, seperti di Papua dan Kalimantan, penduduk lokalnya tidak punya kultur bertani seperti orang Jawa. Bukan berarti lebih buruk, tapi itu bukan budaya mereka. Kalau dipaksakan hasilnya tidak optimal atau bahkan mungkin proyek itu ditinggalkan saja.

Jadi kita tidak bisa bilang ini (food estate) totally good atau totally bad, tapi langkah pertama publish dulu dong evaluation results-nya. Buka dulu dong rencana operasionalnya, KLHS-nya bareng-bareng dong sama semua. Kalau begitu kan yang sekarang pro dan kontra bisa terdorong ke keseimbangan.

Oleh karena itu pada 24 Februari nanti kami akan mengadakan webinar yang mengundang pembicara dari planologi, KLHK, kementerian pertanian dan teman-teman yang lain untuk berdialog dan menjawab concern kami.

Rekomendasi Madani untuk pemerintah terkait program ini?

Saran kami dari dahulu adalah keterbukaan data, supaya kita mengamatinya memakai data yang sama; data kehutanan, data food estate, data investor.

Kedua, terkait pangan Indonesia sendiri, kami percaya kalau pemerintah menjaga hutan dan gambut, itu berkontribusi pada penanggulangan krisis iklim, sehingga pertanian akan bagus. Kalau hutan kacau, microclimate rusak, pertanian akan jelek. Jadi komitmen iklim itu akan bagus buat ketahanan pangan Indonesia. Rekomendasi kami untuk melihatnya lebih long-term ketimbang short-term aja.

Ketiga, karena laju konversi lahan pertanian ke non pertanian itu tinggi, lindungilah lahan pertanian yang ada, yang existing. Jadi pencabutan perlindungan lahan pertanian abadi mohon dipertimbangkan kembali.

Keempat, kalau mau mengatasi masalah lahan pertanian yang menyusut, itu kan ada program reforma agraria. Reforma agraria sejati akan membantu petani menjadi lebih sejahtera.

Mohon yang diberi “karpet merah” itu perhutanan sosialnya. Kami yakin kalau reforma agraria berjalan dengan baik, tidak perlu ada pembukaan lahan hutan alam dan gambut lagi.

Sudah ada praktik-praktik baik dari masyarakat, seperti agroforestry, silvopastura, dan KLHK sudah banyak ahlinya terkait hal itu. Nah itulah yang seharusnya diberi kemudahan-kemudahan luar biasa.

Terakhir, apakah ada garansi kalau gagal? Kalau misalnya sudah cetak sawah kemudian gagal, itu bagaimana keberlanjutannya? Pemerintahan saat ini cuma sampai 2024, sedangkan membuat food estate itu butuh waktu lama. Bagaimana nanti kelanjutannya karena RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) kita cuma sampai 2024. Jangan-jangan, bukan berprasangka buruk tapi worst case scenario-nya, lahan sudah dibuka, kayu sudah ditebang dan dijual, lahan sudah dicetak, tapi kemudian ditelantarkan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.