Pemerintah berencana melanjutkan pembangunan food estate untuk memperkuat ketahanan pangan bangsa. Namun tanpa kajian yang mendalam dan menyeluruh, para ahli memperingatkan dampak kerusakan lingkungan yang tak hanya terelakkan, tapi juga dipercepat.

Kawasan hutan di Indonesia mulai dijamah dengan pembangunan Food Estate — sebuah konsep untuk mengembangkan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan di sebuah kawasan hutan. Terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate akan berdampak buruk pada kondisi hutan.

Konsekuensi logis peraturan ini akan menambah izin investasi di kawasan hutan. Akibatnya percepatan kerusakan lingkungan hidup dan deforestasi tidak terhindarkan. Saat ini sebanyak 33,45 juta hektar atau 26,57% kawasan hutan telah dikapling untuk kepentingan bisnis. Selain itu, wilayah kelola masyarakat adat juga terancam dengan kebijakan tersebut. World Resources Institute (WRI) Indonesia mengkaji ada potensi kawasan hutan yang telah dimanfaatkan masyarakat hilang. Akibatnya, akan meningkatnya kemiskinan, konflik, dehumanisasi, kriminalisasi, hingga hilangnya budaya dan penghidupan msayarakat yang sedari awal menfaatkan kawasan hutan.

Untuk mengetahui bagaimana dampak kebijakan food estate terhadap kawasan hutan lindung. Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) melakukan wawancara dengan ekonom lingkungan WRI Indonesia, Tezza Napitupulu (Tezza), koordinator nasional Pantau Gambut, Lola Abbas (Lola), dan manajer Perhutanan Sosial dan Tranformasi Konflik WRI Indonesia, Rakhmat Hidayat (Rakhmat).

Pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Bagaimana tanggapan WRI Indonesia terkait peraturan tersebut?

Tezza: Hal ini berkaitan dengan definisi hutan dan kawasan hutan. Kawasan hutan bukan mengacu pada biofisik hutan. Berdasarkan keterangan KLHK, kawasan hutan lindung (HL) yang akan digunakan untuk pembangunan food estate adalah kawasan HL yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung, yaitu kawasan HL yang terbuka/terdegradasi/sudah tidak ada tegakan hutan.

Sebenarnya momentum ini dapat dijadikan untuk menata kembali hutan Indonesia dan melakukan analisis komprehensif dengan melihat kawasan hutan yang telah menjadi perkebunan, pertambangan, dan peruntukan lainnya, serta melakukan secara partisipatif dan transparan.

Apa dampak penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate?

Tezza:Food estate merupakan usaha pangan berskala luas. Dikatakan juga bahwa tujuan dibangun food estate untuk ketahanan pangan. Namun, perlu diketahui bahwa ketahanan pangan bukan saja terkait ketersediaan pangan. Terdapat dimensi yang lebih luas, seperti: akses terhadap pangan secara fisik dan ekonomi (food accessibility), kemampuan penyerapan pangan untuk pemenuhan gizi dan kesehatan (food utilization), ketersediaan dan akses terhadap pangan secara terus-menerus (food stability), kebebasan menentukan secara independen pangan yang dimakan, diproduksi, dan partisipasi dalam kebijakan pangan (food agency), dan memastikan pangan yang tersedia sekarang tidak mengorbankan pangan untuk generasi mendatang (food sustainability).

Kita mengetahui bahwa kelangkaan pangan terjadi karena masalah distribusi dan logistik. Selain itu ada juga persoalan lemahnya daya beli masyarakat, dan faktor inefsiensi/tidak produktif lainnya.

Sangatlah penting untuk melihat permasalahan ketahanan pangan dan intervensi food estate untuk ketahanan pangan dalam dimensi yang lebih besar, agar pembangunan food estate tidak menimbulkan risiko yang lebih besar, misalnya degradasi lingkungan seperti kebakaran hutan dan lahan di lahan gambut, degradasi air bersih karena kekeruhan atau kekeringan oleh usaha pangan skala luas, atau kehilangan sumber makanan dan mata pencaharian masyarakat sekitar karena kehilangan lahan untuk bekerja dan penurunan daya beli keluarga.

Dalam belied tersebut dijelaskan bahwa kebutuhan pangan nantinya akan mengubah kawasan hutan. Apakah boleh hutan lindung statusnya diubah untuk pembangunan food estate?

Lola: Tidak ada ketentuan yang menyatakan hutan lindung bisa diubah menjadi lumbung pangan dengan jenis tanaman seperti yang tercantum dalam pengertian food estate di pasal 1 nomor 10 Peraturan Menteri KLHK Nomor 24 Tahun 2020. Pada pasal 19 ayat 2 disebutkan bahwa penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate dilakukan pada kawasan hutan lindung yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung. Kawasan yang terdegradasi harus segera dipulihkan sesuai dengan fungsinya semula.

Tidak hanya hutan lindung, wilayah kelola masyarakat adat juga terancam. Menurut WRI Indonesia, mengapa pemerintah rela mengubah kawasan hutan lindung untuk kepentingan pangan?

Tezza: Masih banyak yang WRI Indonesia belum ketahui dari food estate atau usaha pangan berskala luas ini. Namun betul, banyak studi melaporkan banyak masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal dekat hutan yang yang bergantung dengan hutan sebagai sumber makanan, sumber mata pencaharian dari hutan, dan/atau sumber kegiatan pertanian dengan basis hutan (seperti agroforestry). Dimana hutan adalah sumber nutrisi dari pangan yang dikumpulkan dan dihasilkan oleh masyarakat dekat hutan, di Sumatera, Kalimantan, Tanah Papua, atau daerah lain.

Ketika wilayah kelola masyarakat hilang, apa dampak serius yang akan dihadapi oleh masyarakat?

Rakhmat: Dari studi yang kami tahu ada beberapa dampak yang dihadapi masyarakat adat dan masyarakat dekat hutan ketika kawasan hutannya hilang. Pertama, hilangnya budaya asli, pengetahuan dan teknologi lokal yang telah hidup, berkembang dan diterpkan oleh masyarakat adat yang tekait dengan sumberdaya alam hutan; kedua, hilangnya sumber dan ruang hidup dan berpenghidupan yang telah turun-temurun diperoleh masyarakat adat yang bersumber dari suberdaya alam hutan (bahan pangan, papan, kerajinan, religi, sumber pendapatan dan lainnya); ketiga, meningkatnya kemiskinan; keempat, munculnya konflik; kelima, adanya dehumanisasi; dan keenam, munculnya kriminalisasi

Menurut WRI Indonesia, seberapa penting proyek food estate tersebut bagi ketahanan pangan Indonesia? Apakah nantinya pangan tersebut untuk pemenuhan pangan di Indonesia atau hanya untuk kebutuhan investasi semata?

Tezza: Investasi dengan cara-cara yang ramah terhadap lingkungan adalah investasi yang bertahan dalam jangka panjang dan menguntungkan secara ekonomi.  Hal ini juga sudah dibuktikan dalam kerangka pembangunan rendah karbon yang dikembangkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Menurut kami, sudah seharusnya Indonesia memilih investasi yang tidak menimbulkan risiko secara sosial dan ekologi yang pada akhirnya akan merugikan secara ekonomi.

Pada pasal 27 UU Kehutanan di UU Cipta Kerja diatur bahwa pemanfaatan hutan lindung dapat dilakukan perseorangan, koperasi, badan usaha milik negara, daerah, dan badan usaha milik swasta-dalam maupun luar negeri. Peluang besar untuk menguasai dan atau memanfaatkan kawasan hutan lindung terbuka lebar. Bagaimana tanggapan WRI?

Tezza: Para pakar hukum lingkungan juga telah melakukan kajian implikasi UU Cipta Kerja dan berkesimpulan bahwa UU Cipta Kerja berpotensi melemahkan agenda perlindungan lingkungan hidup di Indonesia.

Sebagai lembaga penelitian nasional yang independen, WRI Indonesia berkomitmen mendukung pemerintah untuk mendorong pembangunan rendah karbon demi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kami berharap agenda perlindungan lingkungan hidup dapat berjalan selaras dengan upaya mendongkrak investasi.

Perlu diingat bahwa Indonesia mempunyai permasalahan rutin yakni kebakaran hutan yang terjadi secara tahunan dengan musim kering atau El Nino. Dampaknya adanya kerugian ekonomi lokal maupun nasional.  Secara global fenomena kebakaran hutan kita lihat semakin sering dan semakin besar tidak saja di Indonesia tapi juga global.

Jika Indonesia menginginkan pertumbuhan ekonomi yang stabil di kemudian hari, cara-cara seharusnya memerhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan termasuk mengembalikan fungsi lindung dari kawasan hutan lindung.

Sampai saat ini berapa luasan hutan lindung, hutan sosial, hutan produksi di Indonesia?

Tezza: Kami belum memiliki data luasan hutan sosial saat ini. Namun merujuk pada catatan Forestdigest untuk luas hutan lindung (HL) seluas 29,5 juta hektar, dan hutan produksi (HP) seluas 68,6 hektar.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.