Posted inMultimedia / Keberlanjutan

Menjawab tantangan nutrisi dengan kearifan lokal

Tahun 2018, UNICEF menempatkan Indonesia di peringkat keempat tertinggi di dunia dalam kasus stunting. Sementara masyarakat adat Ammatoa Kajang di Sulawesi Selatan menjaga status gizi anak-anak mereka melalui kearifan lokal.

Jaja Era (45), bergegas menuruni anak tangga rumah kediamannya yang berbentuk bangunan tradisional non permanen, lalu berjalan menuju pekarangan memetik Raung (daun) tanaman Sallasi dan daun tanaman Ruku’ (rumput) Buru yang tumbuh berdampingan menyerupai pagar alami. Kedua daun tanaman itu akan digunakan untuk mengobati putera bungsunya yang baru berumur satu tahun, yang sedang meriang menunjukan tanda-tanda gejala panas demam.

Daun-daun yang dimasukkan ke dalam mangkuk diseduh air hangat hingga menjadi ramuan herbal. Selanjutnya ramuan dibasuh ke sekujur tubuh anaknya. Tidak lama kemudian, sang anak yang rewel menjadi tenang hingga tertidur pulas di pembaringannya. Kondisi tubuh meriang berangsur-angsur menurun.

“Dari dulu nenek moyang kami gunakan daun ini untuk obat. Ini diajarkan sanro (tabib/dukun)” kata Jaja dengan wajah sumringah.

Ia kemudian beranjak ke dapur, sesegera mungkin memasak bubur berbahan padi ladang menggunakan tungku perapian kayu.

“Kita kalau sudah melahirkan, (anak) tidak bisa diberi makan kalau belum enam bulan. Anak-anak bisa sesak nafas. Nanti setelah masa enam bulan, bayi baru bisa diberi makan pisang dan bubur halus yang terbuat dari beras merah padi ladang,” lanjutnya sambil memasak bubur.

Untuk memperlancar ASI (Air Susu Ibu), ia menempelkan daun tumbuhan kopi yang telah diseduh air panas ke permukaan payudara dan mengonsumsi sayur buah pepaya, ungkapnya.

Jaja sendiri tumbuh besar dalam pola asuh tradisional ini. Bekal pengetahuan yang diperoleh dari keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya, diterapkan ulang pada kehidupan rumahtangga dalam mengasuh kelima anaknya.

Bagi masyarakat adat Ammatoa Kajang, memanfaatkan aneka tumbuhan yang diperoleh di lingkungan tempat tinggal, ampuh mencegah penyakit pada ibu hamil dan anak bayi dibawah dua tahun (baduta) yang berpengaruh pada malnutrisi. Contohnya tubuh yang menderita panas demam akan menyebabkan anemia pada ibu hamil dan penurunan nafsu makan pada anak.

Ammatoa Kajang merupakan komunitas adat yang hidup dan bermukim turun-temurun secara menetap menerapkan aturan adat di wilayah perbukitan seluas 22.592,87 hektar, di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Terdapat 16,567 Kepala Keluarga (KK) dalam komunitas Ammatoa Kajang, dengan presentase jumlah penduduk perempuan sebanyak 53 persen dan penduduk laki-laki sebanyak 47 persen pada tahun 2019.

Badan Registrasi wilayah adat

Kawasan adat Ammatoa merupakan salah satu dari sembilan wilayah adat di Indonesia yang mendapat pengakuan Peraturan Daerah Pemerintah Bulukumba tahun 2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat.

Ada dua kelompok masyarakat adat dalam Ammatoa Kajang yaitu Illalang Embayaa (Tanah Kamase-masea) atau Kajang Dalam dan Ipantarang Embayya (Tanah Kausayya) atau lebih dikenal dengan nama Kajang Luar.

Kajang dalam masih mempertahankan cara hidup tradisional, antiperadaban teknologi modern. Sementara Kajang Luar sudah beradaptasi dengan kehidupan modern.

Penyebutan nama Ammatoa Kajang sendiri berasal dari dua kata yaitu: ammatoa dan kajang. Amma berarti bapak, sedangkan toa berarti yang dituakan. Sedangkan kata kajang berkaitan erat dengan burung koajang, akkoajang, dan assajang.

Antropolog Universitas Hasanuddin Makassaar, Pawennari Hijang mengatakan jika masyarakat Ammatoa cenderung dianggap sebagai fenomena sosial yang misterius, konservatif dan mistis. Anggapan itu tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah.

Seperti teknik pengobatan tradisional yang saya temui – dilakukan Bamba Era (49) seorang sanro (dukun) di desa Tana Toa, kawasan Kajang Luar yang masih mempraktekan pengobatan dengan cara supranatural. Bawang Merah yang dibacakan mantra khusus, dijalankan ke sekujur tubuh bayi laki-laki yang dipangkunya, yang tidak lain adalah cucunya sendiri.

“Badan anak-anak diurut dengan menggunakan bawang sampai anak-anak menangis sekencang-kencangnya. Setelah diurut, anak-anak bagus tidurnya,” kata Ramlahseorang warga lain, Ramlah, sambil membantu menerjemahkan perkataan sanro yang bertutur menggunakan bahasa Konjo, bahasa lokal masyarakat adat Ammatoa.

“Meskipun demikian, sesungguhnya masyarakat Ammatoa bukan termasuk dalam kategori suku terasing, seperti yang didefinisikan Departemen Sosial,” kata Pawennari.

“Masyarakat Ammatoa telah menjalin hubungan dengan masyarakat luar, tidak menutup diri,” jelasnya.

Dalam keterangannya, penetapan masyarakat adat Ammatoa Kajang sudah sesuai dengan amanat UUD 1945, diantaranya pasal 18B ayat (2) sebagai pasal baru berbunyi: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Selain itu sudah sesuai dengan latar belakang dan dasar hukum UU No.32 tahun 2009 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Jadi secara De jure dan De facto memenuhi syarat disebut masyarakat adat,” pungkasnya.

Kesehatan dan gizi ala Ammatoa

UNICEF dalam situs resminya mengungkapkan bahwa Indonesia telah mengalami banyak peristiwa penting dalam perjalanannya untuk menjadi negara berpenghasilan menengah. Kendati demikian, belum ada peningkatan pada status gizi anak-anak.

Laporan bertajuk Situasi Anak di Indonesia terbitan UNICEF tahun 2020, mengutip riset pada tahun 2018 yang menemukan sebanyak 30,8 persen atau hampir 3 dari 10 anak berusia di bawah lima tahun menderita stunting, sedangkan 1 dari 10 kekurangan berat badan atau terlalu kurus untuk usia mereka.

Pada tahun 2019 masih terdapat 27,7 persen balita yang mengalami stunting di Indonesia. Jumlah yang masih jauh dari nilai standar WHO yang seharusnya di bawah 20 persen.

Pemahaman para orang tua mengenai pola asuh yang baik, kesehatan lingkungan serta kemampuan menyediakan gizi yang cukup juga masih rendah sehingga prevalensi stunting masih tinggi di Indonesia.

Unicef mendefinisikan stunting sebagai suatu kegagalan untuk mencapai potensi pertumbuhan seseorang – disebabkan oleh malnutrisi kronis dan penyakit berulang selama masa kanak-kanak. Hal ini dapat membatasi kapasitas fisik dan kognitif anak secara permanen dan menyebabkan kerusakan yang lama.

Namun masyarakat Ammatoa sudah lebih dulu menerapkan prinsip-prinsip ketahanan pangan, kesehatan, dan kemampuan menyediakan gizi.

***

Pagi itu, Selasa 23 Maret 2021 saya bersama Tim Pelayanan kesehatan Puskesmas Tana Toa mendatangi beberapa dusun yang berbatasan dengan kawasan adat Ammatoa, untuk memantau tumbuh kembang anak balita.

Sesampainya di bangunan pos pelayanan terpadu (posyandu) non permanen di dusun Bongkina, satu persatu para ibu rumah tangga berdatangan membawa anak-anaknya untuk menjalani penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan.

Selama masa awal pandemi Covid-19 berlangsung; terhitung Maret-Juli 2020 lalu, aktifitas posyandu di desa Tana Toa terhenti. Pada periode itu, pemeriksaan kesehatan anak-anak hanya dapat dilakukan melalui kunjungan ke rumah anak-anak dengan kondisi fisik dan imun berisiko rentan terpapar Covid-19.

Agustus tahun kemarin layanan posyandu kembali normal. “Sejak Februari lalu, kita gencar pengukuran (tubuh balita) kembali, supaya kita mengetahui berapa jumlah stunting,” kata Mardiana (29), petugas gizi Puskesmas Tana Toa.

Hari berikutnya, tim masuk ke dalam kawasan adat Ammatoa. Aturan adat di sini sangat ketat, pengunjung diwajibkan berbusana serba hitam dan wajib berjalan tanpa alas kaki.

Pengunjung tidak diperbolehkan mengoperasikan peralatan/perlengkapan berteknologi modern seperti telepon genggam dan kamera. Sekalipun itu alat perekam suara.

Berjalan di kawasan adat Ammatoa seolah memasuki kapsul waktu kembali keperadaban masa lalu. Masa di mana manusia hidup sederhana dan bersahaja.

Mendekati pemukiman adat, kami melintasi satu-satunya titik pengambilan air yang telah ditetapkan secara adat.

Nampak susunan batu setinggi sekitar satu meter membentuk kotak-kotak sekat dinding yang difungsikan untuk ruang mandi. Dan di sisi lain terlihat aktifitas warga mencuci pakaian serba hitam yang digunakan sehari-hari.

Sementara bangunan rumah-rumah tradisonal memilki arsitektur yang serupa, dengan ukuran luas bangunan setiap nyaris sama.

Kuda merupakan satu-satunya kendaraan yang saya temui dan ditunggangi sepasang bocah. Di punuk kuda itu menggantung tali yang menyeimbangkan jerigen-jerigen berisi air pada sisi kiri dan kanan badan kuda. Sementara ibu mereka dengan kepala berasalkan tumpukan kain, menjunjung beban ember berisi air sembari tangannya menarik tali kekang kuda.

Sesekali terlihat laki-laki paruh baya berjalan melintas, hendak bekerja di ladang. Hampir semua penduduk yang kami temui mengenakan pakaian-sarung berwarna hitam.

Di dusun-dusin ini tidak sulit untuk mendatangkan ibu rumah tangga memeriksakan kondisi kesehatan anaknya. Cukup dengan memukul kentongan secara berulang-ulang di bangunan non permanen yang berada tepat ditengah-tengah kampung, mereka akan perlahan muncul satu persatu.

Posyandu berjalan lancar tanpa hambatan. Tubuh anak-anak yang menjalani penimbangan dan pengukuran tinggi badan terlihat sehat. Para orang tua antusias menyimak materi penyuluhan gizi dan nutrisi yang disampaikan petugas kesehatan.

“Penanganan anak di sini masih sangat kental adatnya, dan kita harus pelan-pelan menyampaikan penyuluhan untuk diterima” kata Mardiana.

Ia mencontohkan kepada anak yang baru lahir sebelum berumur 40 hari. Katanya, ‘tidak diperbolehkan keluar rumah dan tidak boleh turun ke tanah’. Hanya bisa tinggal di atas rumah panggung.

“Jadi petugas posyandu yang akan melakukan imunisasi harus mendatangi rumah-rumah tempat tinggal anak-anak itu,” terangnya menjelaskan bagaimana mekanisme pelayanan anak bayi umur dibawah 40 hari selama ini.

Terjadi penurunan angka stunting dalam kurun waktu empat tahun terakhir di wilayah kerjanya. Pada tahun 2018 balita stunting 35% dari 280 balita diukur, tahun 2019 balita stunting 26% dari 401 balita diukur, tahun 2020 balita stunting 16,5% dari 685 balita diukur dan hingga Februari 2021 balita stunting 12,7% dari 641 balita diukur.

pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) tana toa

Dalam observasinya, Mardiana mendapati anak-anak stunting cenderung tampak sehat, tetapi terlihat gemuk berisiko alami gizi lebih. Hal ini berpotensi menjadi ancaman bagi pertumbuhan anak-anak.

“Sebenarnya gizinya tidak seimbang dengan menu makanan yang monoton sehari-hari. Mereka kelebihan bahan makanan dengan asupan kalori lebih, tapi tidak memenuhi konsep gizi seimbang,” jelasnya.

Makanan sehat dan ASI

Ismi Nurwaqiah Ibnu adalah satu-satunya ahli gizi yang pernah meneliti tentang pola asuh pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada ibu baduta di tanah adat Kajang Ammatoa pada 2013 silam.

Ismi masih ingat persis ketika itu informasi kesehatan dari petugas puskesmas terhadap warga adat masih terbilang minim. Petugas kesehatan jarang melakukan penyuluhan ke dalam kawasan adat. Mereka hanya menunggu masyarakat dari dalam kawasan datang memeriksakan anaknya ke puskesmas.

Meski demikian, status gizi anak-anak kawasan ammatoa tidak mengalami masalah. “Memang bagus-bagus status gizi anak-anaknya. Cenderung normal dan mengarah ke berat badan berlebihan,” katanya Ismi.

“Anaknya itu tidak ada pantangan mau makan apa. Buah-buahan banyak sekali di sana,” ujarnya. Ia menyaksikan langsung bagaimana warga Ammatoa mengolah bahan makanan sehat yang bersumber dari hasil bertani tradisional, jauh dari penggunaan bahan-bahan kimia.

“Kalau dari tetua adat, mereka disuruh membuat tetta; bubur dicampur dengan telur ayam kampung. Kalau dulu mereka masih berladang beras merah. ‘Itu bagus dari segi kesehatan gizi, karena kearifan lokal dan bahan-bahan organik kurang zat kimia penambah rasa dan sebagainya,” kata Ismi.

Selain memberi makanan organik, baduta tidak henti-hentinya diberi ASI. Katanya, masih ada yang terus memberi ASI hingga anaknya berumur tiga tahun.

Menurut Ismi, sangat penting untuk melestarikan kearifan lokal jika ingin menerapkan konsep 1000 hari kehidupan pertama bayi oleh pemerintah, ditengah semakin banyaknya masyarakat modern yang kurang memahami cara pengolahan bahan-bahan pangan alami seiring maraknya produk makanan siap saji yang sarat kandungan bahan kimia.

Penting untuk meneruskan kearifan lokal! Apalagi sekarang program pencegahan atau penanggulangan stunting di seluruh Indonesia kan fokus pada pemberian MP-ASI dengan menggunakan produk kearifan lokal.

Ismi nurwaquah Ibnu, Ahli Gizi

Ismi menyarankan agar informasi dan konsep kesehatan disandingkan dengan konsep adat Ammatoa sehingga dapat menjadi kearifan lokal di bidang kesehatan.

Petuah bijak Ammatoa

Usai menyaksikan proses penimbangan dan pengukuran balita berlangsung, saya beranjak ke rumah tetua adat yang juga dipanggil Ammatoa (80), yang lokasinya dekat dengan posyandu. Saya berdiskusi banyak, namun tidak diperbolehkan merekam dan mencatat apapun, lazimnya aturan yang telah diberlakukan dalam kawasan adat Kajang Dalam ini.

Dalam diskusi panjang selama tiga jam itu, ia menjelaskan banyak hal akan pentingnya menjaga kearifan lokal di dalam kawasan adat. Sebagaimana yang tertuang dalam sembilan passang; aturan yang terus dipertahankan demi menjaga keseimbangan hubungan antara sesama manusia, manusia dan lingkungannya serta manusia dengan Tuhan Pencipta.

Saya mengingat diakhir pembahasan, Ammatoa menutup pembicaraan dengan berkata “punna a’rakki gassing minro ki angganre nu ni lamungka kale-kale” yang bermakna ‘kalau mau sehat, mari kita kembali makan dengan apa yang kita tanam sendiri (alami)’, sambil menunjuk ke pelafon rumah-lumbung penyimpanan hasil panen tahunan mereka.

Bagi Ammatoa, menjaga kearifan lokal sama halnya dengan menjaga nutrisi dan ketahanan pangan alami, kunci keberlangsungan hidup umat manusia.

About the writer

Riza Salman is a freelance journalist and documentary filmmaker who focuses on reporting on environmental, social and cultural issues. He started his career as a television journalist in 2008. In 2018...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.