Suatu pagi di bulan November 2019, Andi Zulkarnain bersama dengan timnya mengendarai mobil menyusuri jalur dari Kecamatan Tumpang di Kabupaten Malang menuju Desa Ranu Pani, Kecamatan Senduro, di Kabupaten Lumajang. Kanan kiri jalan raya yang dilalui mereka di area Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Jawa Timur ini nampak hangus terbakar. Api pun kadang masih menyala. Udara terasa berat oleh asap.
Api telah membakar Lahan yang ia, bersama warga setempat, telah tanami bertahun-tahun kini hangus terbakar. Pepohonan yang dirawat mereka setiap hari dan sudah tumbuh hingga mencapai diameter batang 20 cm pun ikut terbakar.
Kebakaran hutan pada bulan September-November 2019 merupakan kebakaran hutan terluas selama lima tahun terakhir. Di kawasan Ranu Pani, tempat Andi dan timnya melakukan restorasi ekosistem, 11 hektar habis dimakan api. TNBTS mencatat, kebakaran tahun 2019 menelan lebih dari 131 hektar areal hutan yang terletak di Gunung Kepolo, Arcopod, Kelik, Watupecah, Waturejeng, Ayek-Ayek, dan Pusung Gendero.
Sejumlah tim memang telah diturunkan untuk memadamkan api, namun sulitnya medan dan luasnya area kebakaran menyebabkan kebakaran terus berlanjut. Hanya hujan yang mengguyur pada akhir November yang akhirnya berhasil memadamkan kebakaran hutan tersebut.
Singgih mengatakan bahwa kebakaran tersebut disebabkan oleh daya alam (faktor alam). Lava pijar Gunung Semeru yang aktif didukung oleh cuaca kering akibat kemarau panjang dan angin kencang menyebabkan lompatan api menyulut kebakaran yang kemudian menjalar dengan cepat sesuai dengan arah tiupan angin. Namun, benarkah hanya karena lava pijar?
Menilik kebakaran yang disengaja
“Masyarakat di sekitar TNBTS sudah memiliki kesadaran untuk menjaga hutan. Mereka hidup dengan alam. Jadi merasakan dampaknya langsung atas kebakaran hutan, maka masyarakat sadar untuk hidup yang selaras dengan alam,” kata Singgih ketika ditanya tentang faktor manusia.
Baca juga: Dari pengetahuan lokal hingga Van Steenis, restorasi ekosistem terus dilakukan
TNBTS didiami oleh masyarakat Tengger yang memiliki nilai-nilai yang menghormati alam. Apabila nilai-nilai itu dipegang teguh, maka kerusakan hutan akibat faktor manusia bisa ditekan.
Apalagi upaya TNBTS untuk sosialisasi terus dilakukan. Menurut Singgih, kegiatan patroli kebakaran hutan rutin dilakukan tiap tahun menjelang kemarau. Tujuannya untuk memetakan tempat-tempat yang berpotensi terjadi kebakaran hutan.
“Kami rutin membuat sekat bakar untuk mencegah kebakaran hutan di titik-titik yang dipetakan,” terang Singgih. TNBTS juga memasang papan informasi/larangan aktivitas yang memicu kebakaran hutan, melakukan sosialisasi, dan melibatkan masyarakat dalam memanfaatkan hutan.
Apabila terjadi kebakaran, petugas selalu berusaha secepat mungkin memadamkan api yang ada. Meski kerap kali tidak berhasil karena sulitnya medan dan luasnya kawasan yang terbakar.
“Kita sangat menyayangkan jika ada oknum yang tega membakar,” kata Singgih.
Kadang-kadang, menurut Singgih, bukan orang yang sengaja membakar. Misalnya wisatawan atau orang luar yang datang ke kawasan TNBTS meninggalkan sampah plastik, kertas, hingga puntung rokok yang masih menyala. Benda-benda tersebut menjadi penyulut api bila kemarau panjang dan udara panas.
Selain itu, aktivitas wisatawan dan pendaki yang memungkinkan menghasilkan api sudah diantisipasi oleh aturan bila memasuki kawasan konservasi. Dilarang membuat api unggun dan bila para pendaki memasak, maka harus memadamkan api bila sudah selesai. Api harus dalam kondisi padam jika ditinggalkan.
Kebakaran hutan yang bersumber dari area savana TNBTS juga menjadi catatan penting. Area ini merupakan area yang dekat dengan aktivitas wisata Gunung Bromo. Seperti yang disampaikan dalam laporan harian BPBD Jawa Timur tertanggal 12 September 2017, titik api dimulai dari savana di bagian bawah Bukit B29 kemudian menjalar dengan cepat hingga 80 hektar terbakar di sekitar Bukit B29 dan 20 hektar di Bukit Teletubbies pada 11 September 2017.
Penyebab timbulnya api tidak diketahui dengan pasti. Namun, adanya oknum yang membakar hutan tidak ditampik oleh TNBTS, meskipun ini tidak menjadi penyebab kebakaran hutan yang disepakati secara resmi. BPBD, TNBTS, dan juga kepolisian tetap menempatkan faktor alam sebagai penyebab utama kebakaran hutan di area TNBTS.
Harapan warga, setelah lahan terbakar dan terkena hujan maka akan tumbuh rumput dan hijauan pakan yang lebih subur.
Hanya pada saat membakar terkadang tidak memperhitungkan angin dan faktor lainnya. Niatnya hanya membakar sedikit, namun api tidak bisa dikendalikan dan meluas. Bila sudah terlanjur terbakar, susah untuk dihentikan
Butuh waktu puluhan tahun untuk pulih
Hutan memang akan memulihkan dirinya sendiri seiring dengan waktu. Akan ada kehidupan baru yang muncul dari abu. Andi mengamati, usai kebakaran hutan, beberapa tumbuhan akan tumbuh lebih subur. Misalnya Klandingan (Leucaena) akan mendominasi sebagai tumbuhan pionir. Selain itu, akan banyak tumbuh Cemara Gunung.
Baca juga: Reforestasi berbasis masyarakat di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
“Mungkin api memecah dormasin bijinya sehingga bisa berkecambah,” kata Andi. Pemecahan dormasini biji oleh api ini pernah ditulis oleh Purnomosidhi P. dkk dalam makalah berjudul Perlakuan Benih Sebelum Disemai untuk Beberapa Jenis Tanaman Prioritas Kehutanan, Multiguna, Buah-Buahan, dan Perkebunan, dimuat di Lembar Informasi AgFor no. 4 Februari 2013, Bogor.
Perlakuan pembakaran ini ditujukan untuk benih yang berkulit tebal. Percobaan yang dilakukan dengan biji Kemiri untuk memecah batok yang melingkupi biji.
Beberapa tumbuhan pun ada yang tak mati oleh api. Misalnya Kesek, meski hangus terbakar akan bersemi lagi dan memulai pertumbuhan barunya. Hanya saja memerlukan waktu.
Selain itu, dampak kebakaran hutan pada masyarakat di sekitar hutan juga terasa nyata.
Andi mencatat, banjir terjadi tahun 2012, 2013, 2016, dan 2018. Banjir terparah terjadi pada tahun 2018 ketika untuk pertama kalinya air sampai masuk ke rumah warga. Sebelumnya, tahun 2013 hanya air deras berwarna coklat saja yang tampak. Melihat bencana ini, tak ada jalan lain kecuali tetap menjaga agar hutan tetap berdaulat di kawasan ini.
Banjir pada tahun 2018 ini juga menyeret lumpur turun. Adiarto Hendro, Komandan Tim Reaksi Cepat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lumajang mengatakan bahwa banjir lumpur disebabkan oleh hujan deras yang mengguyur Lumajang pada Jumat siang (30/11/2018). Lumpur tersebut berasal dari tanah perkebunan bawang milik warga sekitar (Kumparan, 01/12/2018).
Ranu Pani memang dikelilingi bukit-bukit terjal yang tak lagi hutan namun menjadi lahan pertanian tanaman semusim.
Banjir lumpur kembali terjadi pada 6 April 2020 di Desa Ranu Pani. Singgih mencatat, banjir lumpur ini merupakan dampak dari kebakaran hutan. Aliran material lumpur tersebut merupakan aliran limpasan dari hutan bekas kebakaran dan ladang penduduk di Dusun Sidodadi menuju ke Dusun Besaran Desa Ranu Pani. Aliran material lumpur masuk ke sejumlah rumah penduduk, ada sekitar 100 rumah penduduk yang tergenang lumpur.
Fenomena banjir tersebut menunjukkan bahwa kebakaran hutan bukan hanya menyebabkan rusaknya hutan namun juga menimbulkan bencana ikutan yaitu banjir.
“Jangan merusak, kita hidup bersahabat dengan alam. Bila kita merawat alam maka alam akan memberikan manfaat bagi kita bersama,” kata Singgih.*
*Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund, Pulitzer Center.