Perempuan adat di Mentawai diajak untuk lebih peduli pada persoalan lingkungan dan mengabarkannya kepada publik melalui konten video.
Nelis Yunisara Samaloisa (18) begitu bersemangatnya hingga ia rela menempuh jarak 67 kilometer dengan sepeda motor sekitar dua jam dari kampungnya, Desa Nemnemleleu di Sipora Selatan, untuk mengikuti pelatihan pembuatan video jurnalistik di Tuapejat, ibu kota Kabupaten Kepulauan Mentawai, pertengahan Juni 2021 lalu.
Nelis bahkan datang sehari sebelum Pelatihan Jurnalistik Video untuk Perempuan Adat Mentawai dimulai tanggal 17 Juni 2021. Dia tidak ingin terlambat mengikuti kegiatan yang diselenggarakan Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) selama tiga hari di Tuapejat.
Selain Nelis, sembilan perempuan lainnya juga mengikuti pelatihan kali ini. Mereka datang dari berbagai desa di Sipora Utara dan Sipora Selatan. Ada yang dari Nemnemleleu, Matobe, Goisok Oinan, Saureinuk, Sipora Jaya, Sidomakmur, dan Tuapejat. Sebagian besar di antaranya merupakan perempuan yang aktif berkegiatan di masyarakat.
Kepala Kantor YCMM di Tuapejat, Pinda Tangkas Simanjuntak mengatakan, para peserta merupakan masyarakat dampingan komunitas dan mitra YCMM di wilayah Sipora seperti Pemuda AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Mentawai, Yayasan Sheep dan Field Bumi Ceria.
“Kita meminta teman-teman komunitas dan mitra merekomendasikan masyarakat dampingannya ikut pelatihan ini sesuai kriteria yang kita tentukan seperti bisa menggunakan smartphone, aktif berkegiatan di masyarakat, dan juga aktif di media sosial. Selain itu, yang paling penting, mau mengikuti pelatihan ini,” kata Pinda.
Target pelatihan ini, menurut Pinda, agar perempuan adat Mentawai peduli terhadap masalah lingkungan di komunitasnya, terutama yang mempengaruhi mereka sebagai perempuan, misalnya soal semakin hilangnya lahan untuk bertanam pangan lokal, dan kisah-kisah itu bisa mereka ceritakan kepada publik dalam bentuk video.
Pelatihan untuk perempuan adat ini merupakan satu-satunya sesi pelatihan khusus perempuan dari lima seri pelatihan yang digelar YCMM dengan dukungan Internews melalui proyek Earth Journalism Network di Asia Pasifik. Pelatihan video yang sama sebelumnya telah diberikan untuk jurnalis dan komunitas adat di Siberut.
Kegiatan ini dibuat YCMM karena saat ini tersedia banyak platform digital untuk publikasi informasi dan edukasi seperti YouTube, Instagram, Facebook maupun lainnya. Berbagai platform digital ini dapat dimanfaatkan masyarakat untuk menyuarakan keinginan mereka yang selama ini tidak tersampaikan karena terbatasnya saluran untuk informasi dan publikasi.
“Namun untuk bisa memanfaatkan platform digital ini terutama untuk konten visual/video, masyarakat adat mesti memiliki kapasitas teknis agar dapat menceritakan kisahnya sendiri tentang bagaimana kerusakan lingkungan dan perubahan iklim mempengaruhi mereka,” kata Pinda.
Usai pelatihan, Pinda mengharapkan semua peserta dapat memproduksi video sesuai dengan rencana liputan yang sudah dibuat dengan deadline Juli mendatang. Semua peserta di empat seri pelatihan akan diseleksi kembali untuk mengikuti pelatihan yang menitikberatkan materi editing.
“Jadi peserta yang akan ikut training terakhir soal editing akan diseleksi lagi bagi mereka yang sudah memiliki progres liputan video, nanti video-video yang diproduksi peserta akan ditayangkan di saluran YouTube YCMM,” katanya menambahkan.
Pelatih dalam kegiatan ini, Aidil Ichlas mengatakan, peserta dibekali pengetahuan mengenai bagaimana pengambilan gambar yang benar, pencahayaan, teknik wawancara dengan narasumber, dan teknik editing video, sehingga menghasilkan film yang berkualitas dan enak ditonton oleh banyak orang. Para peserta juga disuguhi contoh-contoh video jurnalistik dan film dokumenter, juga berkesempatan mempraktekkan pembuatan dan pengeditan video.
Mereka juga diajak menggali ide untuk mengidentifikasi isu dan persoalan lingkungan di sekitarnya serta membuat perencanaan liputan. Peserta diajak menuangkan ide terkait persoalan lingkungan yang kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk naskah film yang akan dikerjakan di kampungnya masing-masing.
“Video yang dibuat harus memiliki konsep yang jelas sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat ditangkap penonton, misalnya pesan tentang pentingnya kemandirian pangan masyarakat adat dengan menanam pangan lokal, tidak sekedar membuat video orang sedang mengolah sagu saja,” ujar Aidil.
Ulrike Anugrah Putri (21), peserta dari Matobe mengatakan menjadi lebih termotivasi dan peduli dengan kondisi lingkungan sekitarnya setelah mengikuti latihan ini.
“Setelah mengikuti pelatihan ini saya jadi termotivasi untuk lebih berani terjun mewawancara masyarakat, menggali suatu cerita di masyarakat. Saya juga merasa sekarang lebih memiliki kepedulian (terhadap hal-hal yang terjadi di tengah komunitas) dibanding sebelumnya,” katanya.
Ulrike tak sabar lagi ingin segera menerapkan ilmu yang didapatnya dengan mendokumentasikan aktivitas warga di kampungnya. “Seperti ibu-ibu menanam keladi (gettek), pisang atau bapak-bapak pergi memancing, yang memperlihatkan bagaimana kehidupan masyarakat di tempat saya yang sehari-hari hidup dekat hutan, bercocok tanam menanam tanaman lokal,” katanya.
Sementara Dian Novita (28), juga dari Matobe, mengaku ia kini sudah bisa membuat dan mengedit video usai pelatihan. “Nanti saya akan ambil itu tentang pengelolaan toek (cacing kayu makanan khas Mentawai). Rencana ke depan mengembangkan dan membuat pengelolaan toek di Goisok Oinan,” katanya.
Harapan agar para perempuan Mentawai bisa lebih berdaya dan berani berbicara tentang lingkungan mereka juga disampaikan Ketua Dewan Pengurus Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), Kortanius Sabeleake, di hari penutupan pelatihan.
“Melalui program ini saya berharap masyarakat adat Mentawai memiliki kapasitas untuk mempromosikan keadaan mereka kepada pihak luar, baik melalui video atau pesan tulisan di media sosial. Saya berharap teknologi yang ada dapat digunakan untuk mendorong kapasitas dan kemandirian masyarakat adat,” katanya.
Liputan oleh Rus Akbar Saleleubaja untuk Mentawai Kita.