Perempuan Cawang Gumilir masih terus berjuang merebut kembali lahan yang diambil PT Musi Hutan Persada sejak tahun 2015 lalu, sembari bekerja keras untuk bertahan hidup.

Liputan ini pertama kali terbit di Liputan6.com pada tanggal 16 Juli 2021 dengan judul “Para Perempuan Cawang Gumilir, Tergusur dan Bertahan di Tengah Ketidakpastian.

Oleh Nefri Inge

Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Herman Deru turut andil dalam mendukung penyelesaian konflik antara warga Cawang Gumilir, Kabupaten Musi Rawas, dengan PT Musi Hutan Persada (MHP). Salah satunya, Herman pernah mengirimkan surat rekomendasi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait percepatan penyelesaian konflik tersebut.

Herman Deru mengatakan, permasalahan tersebut memang sudah berlarut-larut. Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam, apalagi hutan produksi tersebut merupakan tanah negara yang dikelola oleh KLHK dan diberikan izin ke pemegang konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), PT MHP.

“Memang tidak sederhana menyelesaikan itu, tapi kita harus berpihak kepada yang benar. Di sisi lain, masyarakat kita butuh lahan garapan,” kata Herman kepada Liputan6.com.

Hal tersebut akhirnya yang menjadi landasan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel, untuk mengusulkan penyelesaian konflik tersebut. Namun Pemprov Sumsel dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Musi Rawas tetap akan menjadi mediator dan menunggu keputusan dari KLHK terlebih dahulu. Sementara menunggu, Herman Deru mengusulkan para warga Cawang Gumilir untuk mengikuti program Membangun Hutan Bersama Rakyat (MHBR).

Ditambahkan Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Sumsel, Pandji Tjahjanto, skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) bisa menjadi salah satu rekomendasi, dalam penyelesaian konflik di Cawang Gumilir. Diakuinya, untuk mengajukan Perhutanan Sosial, memang warga Cawang Gumilir terkendala, karena izin kawasannya masih berada di kawasan PT MHP.

“Padahal (PT MHP) jadi pilot project Perhutanan Sosial. Jika warga sudah mengajukan program Perhutanan Sosial, perlu menelusuri dulu, apa syarat yang kurang. Bisa minta didampingi dari Pokja Percepatan Perhutanan Sosial (PPS) di daerah,” kata Pandji.

Dia pun menyarankan kepada PT MHP untuk lebih meningkatkan kepekaan dalam penyelesaian konflik ini. Sementara untuk warga Cawang Gumilir Musi Rawas, lanjut Pantji, tidak bisa memaksakan jika memang hasilnya pengajuan Perhutanan Sosial tidak bisa dilakukan.

“Memang harus sama-sama mendorong, karena komunikasi juga tidak lancar, banyak isu-isu miring. Harus dicari tahu dulu, masalahnya di mana, persyaratan apa yang kurang,” ujarnya.

Klarifikasi PT MHP

Keputusan untuk melakukan pengembalian fungsi lahan, dinilai tepat oleh pihak PT MHP. Pasalnya, kawasan tempat warga Dusun Cawang Gumilir tinggal adalah areal konservasi, terutama bagi jelajah gajah sumatra.

Menurut Yan Adha, Head CD & PS PT MHP, para warga pendatang masuk mengokupasi lahan dan mulai membangun permukiman di kawasan konservasi di tahun 2009. Sebagai pemegang izin resmi dari KLHK, PT MHP tidak bisa diam, namun tak serta-merta melakukan penggusuran. Mereka sudah melakukan berbagai cara, mulai dari melapor ke instansi terkait, pemerintahan daerah hingga pusat, serta peringatan berupa lisan dan tulisan ke warga Dusun Cawang Gumilir.

“Sebenarnya kita sudah melakukan secara prosedur, ada komunikasi, peringatan lisan, tertulis dan dari berbagai instansi sudah datang melihat kondisi dan fakta di lapangan selama 5 tahun,” kata Yan Adha

Itu bukan penggusuran, tapi pengembalian fungsi lahan. Juga bukan keputusan kami saja, tapi dari pemerintah daerah, provinsi hingga pusat juga

Yan Adha, Head CD & PS PT MHP

Dia mengatakan, pengembalian fungsi lahan dilakukan PT MHP agar okupasi lahan di areal konsesinya tidak semakin luas, serta menghindari adanya bentrok dengan warga lokal. Terlebih, warga lokal merasakan kecemburuan sosial dengan warga Dusun Cawang Gumilir, yang tiba-tiba datang dan langsung mendapatkan lahan.

“Ada desakan dari warga dan LSM lokal juga, yang banyak mendukung (pengembalian fungsi kawasan hutan). Karena yang tinggal di Cawang Gumilir, bukan merupakan warga lokal,” kata Yan Adha. “Kalau ini dibiarkan, maka warga lokal akan ikut mengopukasi lahan dan konflik akan semakin besar.”

Pasca-pengembalian fungsi kawasan hutan oleh PT Musi Hutan Persada (MHP) di Dusun Cawang Gumilir, areal tersebut langsung ditanami Multi Purpose Tree Species (MPTS), yaitu tanaman pokok. Seperti eukaliptus, jengkol, dicampur tanaman kayu, serta ada lahan yang sengaja dibiarkan belukar agar kembali seperti fungsi awal.

Kendati PT MHP memproduksi kayu dari tanaman eukaliptus, namun eukaliptus yang ditanam di lahan konservasi tersebut merupakan bagian dari program MPTS dan tidak akan ditebang untuk kebutuhan perusahaannya.

Yan juga tak menampik adanya surat imbauan resmi dari Menteri LKH Siti Nurbaya agar penggusuran, yang disebutnya sebagai pengembalian fungsi kawasan hutan, harus dihentikan sementara. Namun hal tersebut akhirnya dibahas bersama Pemkab Musi Rawas, Pemprov Sumsel, dan KLHK. Sehingga keputusan final tetap melanjutkan kegiatan tersebut.

Dua tahun setelah penggusuran, tepatnya tahun 2018, PT MHP sempat menawarkan relokasi ke warga Dusun Cawang Gumilar yang masih bertahan di Desa Bumi Makmur Kabupaten Musi Rawas Sumsel. Relokasi rencananya akan dilakukan ke Dusun Panglero, yang jaraknya tak begitu jauh. Namun kawasan untuk relokasi tersebut ditolak mentah-mentah oleh warga Cawang Gumilir dengan berbagai alasan.

Yan mengatakan, PT MHP mempunyai Rencana Karya Usaha (RKU) 10 tahunan, yang salah satunya membahas tentang relokasi warga Cawang Gumilir di daerah yang disebutnya Teras. Jarak Teras dengan Desa Bumi Makmur Musi Rawas juga tak terlalu jauh dan merupakan lahan baru yang sangat cocok untuk permukiman seluas sekitar 385 hektare.

“Ketika sudah ada instruksi, akan kami koordinasikan internal ke pemerintah daerah dan ke warga Cawang Gumilir,” katanya.

Menurutnya, langkah tersebut mengikuti Permen LHK Nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, yang diganti menjadi Permen LHK Nomor 9 tahun 2021 tentang pengelolaan Perhutanan Sosial, yaitu seluas 5 hektare untuk warga.

“Namun jika ditolak lagi, kita serahkan keputusannya ke pemerintah pusat. Yang pasti, kita sudah menawarkan alternatif,” pungkas Yan Adha.

Liputan ini merupakan hasil dari program Fellowship Jurnalis Lingkungan: “Build Back Better, Efektivitas Skema Perhutanan Sosial dalam Penyelamatan Hutan”, yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ).

Baca juga:

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.