Produksi dan konsumsi plastik terus meningkat. Riset memperlihatkan bocornya sampah plastik ke perairan di Ternate mengakibatkan sejumlah ikan terkontaminasi partikel mikroplastik. Ancaman terhadap kesehatan manusia ikut meningkat.

Liputan ini telah terbit di Fajar Malut pada tanggal 31 Mei 2021 dengan judul “Waspada, Sampah Plastik Mengancam Ekosistem Laut Ternate“.

Oleh Nasarudin Amin

Sampah plastik, daun-daun, dan kayu bekas pakai terhampar di Pantai Toboko, Kota Ternate, Maluku Utara, pada Jumat (7/5/2021). Sampah-sampah ini meluber dari muara Sungai Toboko setelah diguyur hujan deras.

Sampah-sampah yang jebol ke perairan bebas ini mengancam ekosistem dan laut.  Studi akhir Erlena Umanahu, mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate (FPIK Unkhair Ternate), memperlihatkan dampaknya.

Dia menemukan adanya elemen mikroplastik pada lambung ikan kerapu merah yang dijual di Tempat Pelelangan Ikan Kelurahan Bastiong Talangame dan Pasar Tradisional Higienis Ternate. Studi ini dia lakukan pada 2020 lalu.

Mikroplastik merupakan partikel plastik berukuran sangat kecil. Diameternya kurang dari 5 mikrometer. Jauh lebih kecil dibandingkan diameter sehelai rambut kita yang berkisar antara 70-180 mikrometer. Saat berada di lautan, peluang mikroplastik itu dikonsumsi ikan-ikan sangat besar.

Penelitian sebelumnya, pada 2019, juga menunjukan fakta yang mengerikan, kini mikroplastik sudah mengontaminasi perairan Pantai Falajawa, Kecamatan Ternate Tengah, dan Pantai Gambesi, Kecamatan Ternate Selatan.

Penelitinya, Nur Almira Mahsa, mengumpulkan sampel di dua lokasi perairan. Dia mengambil sampel dari kedalaman tiga meter dan enam meter. Hasilnya, ada empat tipe mikroplastik yang ditemukan yakni fiber, fragmen, film, dan pelet.

Mikroplastik tipe fiber bersumber dari bulu sikat dan nilon pancing nelayan. Sedangkan tipe fragmen bersumber dari pecahan seperti piring plastik. Tipe lainnya adalah film yang asalnya dari pecahan kantong plastik. Sementara tipe pelet berasal dari bahan baku pabrikan untuk kosmetik.

Penelitian Almira memperlihatkan, mikroplastik lebih banyak ditemukan pada kedalaman enam meter. Dia menduga itu berhubungan dengan masa jenis partikel dan pergerakan arus di lautan.

Keberadaan mikroplastik ini bisa menghambat pertumbuhan karang, organisme laut yang memiliki polip atau mulut guna memakan alga. Pada saat berbarengan, keberadaan sampah plastik dengan ukuran lebih besar di perairan berpeluang menghalangi masuknya sinar matahari ke dasar perairan.

Padahal sinar matahari itu yang bisa membantu pertumbuhan biota laut termasuk alga yang jadi makanan organisme laut seperti karang. Pemerintah juga belum memiliki acuan soal batas baku mutu mikroplastik pada sedimen laut.

Dr. Halikuddin Umasangaji, Ketua Program Studi Ilmu Kelautan FPIK Unkhair Ternate, menyatakan dirinya baru tahu kalau ada mikroplastik dalam lambung ikan lewat studi mahasiswanya pada 2019 lalu. Penelitian itu menggambarkan mikroplastik dalam lambung ikan komersil, baik pelagis maupun demersal, seperti cakalang, tuna, dan kerapu. Kandungannya antara 18-20 partikel per individu. Sedangkan mikroplastik dalam sedimen jumlahnya antara 30-60 partikel per gram.

Survei yang dilakukan oleh Proyek SEA USAID pada 2017 mengungkapkan bahwa perikanan Ternate didominasi oleh spesies pelagis dari keluarga ikan jenis makerel, tuna, dan bonito. Sementara sisanya keluarga ikan pari bersirip.

Spesies pelagis besar yang umum ditangkap termasuk ikan cakalang dan tuna sirip kuning. Sedangkan tangkapan ikan pelagis kecil di dominasi oleh ikan layang biru, tongkol, selar, teri, dan kembung. Sementara spesies demersal utama yang ditangkap di perairan ini adalah kakap kuning, kakap merah, ekor kuning, dan kerapu. Semuanya ditangkap untuk dikonsumsi manusia.

Survei ini mengidentifikasi produktivitas penangkapan ikan di wilayah Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate mencapai 28,719 ton pada 2016 . Data ini merupakan tangkapan dari sedikitnya 3.198 nelayan. Mereka beroperasi menggunakan 671 kapal dengan beragam ukuran, mulai dari kapal tak bermotor sampai kapal dengan mesin berkekuatan 15-180 PK.

Ancaman sampah plastik

Sampah plastik ini juga ditemukan mengendap di perairan laut Ternate. Ketua Dodoku Dive Center, Dedi Abdullah menyatakan endapan itu terpantau sejak 2018.

Dedi mengidentifikasi, sampah yang paling banyak dia lihat adalah kresek berwarna, bungkusan deterjen, bungkusan susu sachet, kaleng, botol plastik, dan bekas popok bayi. Sampah plastik ini, kata dia, paling banyak menyebar di wilayah pesisir laut Kelurahan Soa-Sio hingga Pantai Falajawa, Kecamatan Ternate Tengah.

“Apabila tidak ditangani segera maka suatu saat batu karang di diving sites para penyelam akan tertutup sampah plastik,” ungkap Dedi yang ditemui pada 28 April 2021.

Ketua Komunitas Sadar Sampah Kota Ternate (Kosakate), Iskandar Abdurahman, juga membeberkan fakta yang ditemui tentang sampah laut. Pada 2017, komunitasnya pernah menggelar kegiatan babari atau gotong royong membersihkan sampah laut di pesisir Kelurahan Makassar Timur, Kecamatan Ternate Tengah. Area itu terhubung langsung dengan lokasi situs menyelam.

Sampah yang tertumpuk dan dibiarkan selama 5 tahun itu berhasil diangkut menggunakan belasan dump truck berkapasitas 4 ton dan mobil pick-up berkapasitas 3 kubik. Total ada 27 unit kendaraan. Dengan akumulasi sampah yang diangkut lalu dibagi menjadi lima, diperkirakan dalam setahun ada timbunan 15 ton sampah.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Ternate, Tony S. Pontoh mengakui pihaknya tidak bisa menangani sampah laut. “Tahun ini kita mungkin anggarannya tidak ada, jadi apa adanya, kita hanya bisa menjalankan yang di darat sedangkan di laut tidak ada,” ungkap Tony di ruang kerjanya pada 22 April 2021.

DLH Kota Ternate menangani 32.880 ton sampah sepanjang 2020. Jika dirata-rata, maka setiap harinya pemerintah harus menangani setidaknya 90 ton sampah.

Kepala Bidang Persampahan dan Limbah B3 DLH Kota Ternate, Yus Karim, mengungkapkan bahwa rata-rata volume sampah yang diangkut per hari sebanyak 80 ton. Pada masa bulan Ramadan, jumlahnya bisa mencapai 150 ton per hari.

DLH Kota Ternate memiliki 6 unit kendaraan L300, 18 unit dump truck, serta motor roda tiga untuk mengangkut sampah tersebut. Saat ini, hanya 6 dari 18 dump truck yang bisa dipakai.

Sisanya tambal sulam (harus diperbaiki), karena kerja malam besoknya rusak. Jadi sampah sering tertinggal (tidak terangkut) itu karena armada rusak

Yus Karim, Kepala Bidang Persampahan dan Limbah B3 DLH Kota Ternate

“Sisanya tambal sulam (harus diperbaiki), karena kerja malam besoknya rusak. Jadi sampah sering tertinggal (tidak terangkut) itu karena armada rusak,” kata Yus.

Pada 2018, DLH Kota Ternate sempat mengusulkan adanya penambahan 15 petugas kebersihan serta  satuan tugas sungai. Namun usulan itu ditolak karena ketiadaan anggaran.

Seiring pandemi Covid-19, Yus menuturkan, satuan kerjanya kena kebijakan refocusing anggaran. Untuk tahun 2021, DLH Kota Ternate mendapat alokasi dana Rp18 miliar untuk urusan lingkungan hidup dan kebersihan. Yus tidak merincikan alokasi anggarannya secara detil. Namun dia menyatakan, ada pemangkasan sebesar Rp 40 miliar terkait penanganan pandemi.

“Yang besar ada di upah, BBM dan spare-part. Harusnya kalau dua SKPD digabung anggarannya besar. Tapi ini bahkan lingkungan hidup punya hilang, karena untuk memaksimalkan penanganan sampah kita harus tambah kendaraan dan tambah tenaga,” ujarnya.

Pelayanan publik urusan sampah yang belum tuntas ini diperburuk dengan sulitnya menerapkan sanksi bagi pencemar lingkungan. “Di ketentuan Perda nomor 1 tahun 2013 ada kurungan tiga bulan, denda Rp50 juta. Tapi selama perda itu keluar, nonsense. Tidak bisa jalan karena pelayanannya belum normal, kita masih kekurangan armada kecil yang bisa jangkau (sampah) ke lorong-lorong kecil,” ungkap Yus.

Saya sempat menyisir pantai antara 22 Februari–7 Mei 2021. Penyisiran dilakukan sewaktu hujan dan sehari pascahujan. Selama penyisiran, saya menemukan sedotan plastik, kemasan kopi, sampo sachet, botol, bungkusan detergen, botol plastik, bekas plastik makanan, karung, pakaian bekas, botol kaleng, hingga batang kayu berserakan di pesisir pantai Kecamatan Ternate Tengah dan Kecamatan Ternate Selatan.

Penumpukan sampah paling banyak terjadi hampir di sebagian besar jalur selokan dan kalimati yang terhubung langsung ke pesisir pantai. Volume timbulan sampah ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan peningkatan kegiatan jasa, industri, dan bisnis.

Data sensus penduduk tahun 2020 oleh BPS Malut menyebut total penduduk Kota Ternate sudah mencapai 205 ribu jiwa. Sementara fasilitas pendukung seperti tempat pembuangan sampah, armada pengangkut, serta jumlah petugas kebersihan masih dirasa kurang memadai.

Saat ini DLH Kota Ternate merancang pembangunan lima tempat pengolahan sampah terpadu. Lokasinya di Kelurahan Kalumat, Bastiong, Santiong, Dufa-Dufa, dan Tubo. Nantinya, petugas kebersihan akan menjemput langsung sampah dari rumah-rumah warga.

Rencana ini, kata Yus, mengikuti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan dalam penanganan sampah rumah tangga dan sejenis sampah rumah tangga.

“Kita harus saling peduli, Kelurahan tinggal mengatur jadwal pembuangan sampah, karena akan percuma kalau masyarakat tidak peduli,” katanya.

Penanganan dan pengelolaan sampah ini memerlukan sumbangsih dari setiap pihak. Masyarakat lebih bijak dalam konsumsi agar tidak memperbanyak timbulan sampah. Produsen juga bertanggung jawab atas produksi dan kemasannya yang potensial menjadi sampah, khususnya plastik.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Maluku Utara (Walhi Malut), Ahmad Rusyadi Rasjid meminta pemerintah komitmen dengan Peraturan Presiden nomor 83 tahun 2018 tentang penanganan sampah laut.

“Pemerintah juga harus menekan produsen-produsen agar bertanggung jawab atas produksi produk-produk yang menghasilkan sampah plastik, serta mengubah tata kelola produksi produk-produk kemasan plastik yang ramah bagi lingkungan,” tegas Ahmad.

Lembaga masyarakat sipil yang berjaringan internasional untuk isu lingkungan hidup, Greenpeace Indonesia, dalam laporan Plastik adalah Masalah Iklim, Kesehatan, Dan Keadilan Sosial menyatakan, penggunaan plastik yang tidak dikurangi berkontribusi pada perubahan iklim.

Hubungan ini terkait dengan bahan baku plastik yang mayoritas memanfaatkan ekstraksi bahan bakar fosil seperti gas hasil fraksi dan minyak. Plastik sudah menjadi racun bagi lingkungan hidup sejak proses pengambilan bahan bakunya.

Ruslan Bian, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Ternate, juga meminta DLH Kota Ternate segera menyusun regulasi mengenai pembatasan penggunaan sampah plastik. “Kalau sampah-sampah yang mengapung di atas air laut tenggelam sampai ke perairan-perairan tertentu, ini mengancam kelestarian terumbu karang dan kelestarian sumber daya hayati di perairan Ternate,”  akunya.

Mikroplastik bisa memicu kanker

Akumulasi mikrpoplastik pada ikan membayakan manusia. Mikroplastik berpindah ke dalam tubuh manusia saat dia mengkonsumsi ikan yang sudah terpapar.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Malut, Alwia Assagaf mengungkapkan, sejumlah riset menyimpulkan mikroplastik yang masuk ke tubuh manusia bisa menimbulkan gangguan sistem saraf, hormon, hingga janin pada perempuan hamil.

“Bisa saja mendatangkan bahaya untuk tubuh, bisa mengganggu imun manusia, karena kalau termakan kemudian mikroplastik masuk ke dalam tubuh, tentu dia melewati pencernaan manusia,” jelas Alwia.

Dampak jangka panjangnya adalah menderita gangguan paru-paru, alergi, sesak nafas, infeksi bahkan bisa sampai memicu kanker. Meski begitu, sampai sekarang IDI Malut belum menemukan keluhan masyarakat akibat mengkonsumsi mikroplastik.

“Kalau keluhan penyakit seperti saraf, hormon, kekebalan tubuh, dan sesak nafas, paru-paru itu ada. Tetapi kita tidak meneliti kalau itu disebabkan oleh mikroplastik, Saya tadi tanya-tanya ke teman-teman di Dinas Kesehatan yang ada bagian penyakit tidak menular, ternyata tidak pernah ada keluhan dari masyarakat,” ucap Alwia melalui sambungan telepon, Kamis, 20 Mei 2021.

*Liputan ini merupakan hasil dari serial kelas belajar “Journalist Fellowsea: Menjaga Laut dengan Jurnalisme Data”, yang didukung oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Yayasan EcoNusa.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.