Alya Mukaram, yang berusia 12 tahun, terlihat riang bermain bersama kawan-kawannya di pesisir pantai Kelurahan Gambesi, Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate, Maluku Utara, sore itu.
Pada sore hari tanggal 18 September 2021 itu, siswa kelas satu SMP Negeri 3 Kota Ternate itu, bersama teman-temanya Rara, Melati, Riska, Arfa, dan Mawar asyik mencari bekas toples, bokor, sendok plastik, dan barang bekas plastik lainnya untuk digunakan bermain rumah-rumahan di tepi pantai itu.
Alya mengatakan bahwa daerah pesisir tersebut sudah menjadi tempat bermainnya sepulangnya dari sekolah, dan barang barang bekas yang dicari tersebut dipungut mereka di pesisir pantai.
“Kalau kita bermain di sini kan gampang saja, mainan yang kita cari tidak begitu susah, tinggal ke sini langsung dapat,” ucap Alya.
Ali, Warga Kelurahan Gambesi, mengatakan, sampah yang bertebaran menutupi tepi pantai ini berasal dari daerah pegunungan, karena saat terjadi hujan sampah yang dibuang ke barangka atau kali mati terseret hingga ke laut.
Sampah juga datang dari Kelurahan Sasa dan Jambula Kecamatan Ternate Pulau, ikut terbawa arus laut hingga menumpuk di pantai di Gambesi.
“Tumpukan sampah ini tidak seperti biasanya, karena mungkin beberapa hari ini sering terjadi hujan, begitu juga kalau arus masuk, sampah yang berada di wilayah bawah sebagian langsung menumpuk di sini,” kata Ali ketika dijumpai Sabtu Sore,18 September 2021.
Lelaki berusia 54 tahun ini menyebutkan sampah yang terseret ke laut tidak saja sangat mengganggu keindahan laut dan pesisir tetapi juga mengancam ekosistem laut.
“Kalau limbah sampah keluar dari barangka (kali mati) ini kemudian sampai di laut, yang rasa dampaknya kan kita sendiri, apalagi di daerah sini kan ada rumput laut dan ikan-ikan yang biasa kita makan.”
Ali, Kelurahan Gambesi
Ali menyebutkan penumpukan sampah di pesisir pantai ini sudah terjadi sejak tahun 2013, namun pada saat itu hanya terjadi pada saat musim hujan. Hanya sedikit sampah yang terlihat di pantai di musim kemarau. Air pasang juga membantu menyeret sampah kembali ke laut.
Keberadaan sampah plastik di laut Kota Ternate, sering terlihat saat terjadi musim hujan. Sampah rumah tangga yang berasal dari dataran tinggi yang dibuang ke kali mati dan saluran drainase, biasanya berakhir di laut. Menurut data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Ternate, terdapat sebanyak 31 kali mati tersebar di Kota ternate.
Diantara sampah yang terseret ke laut ditemukan antara lain, sedotan plastik, botol plastik, botol kaleng, bungkusan mie instan, bokor, popok bayi hingga batang kayu dan juga jenis-jenis sampah lainnya. Pengamatan haliyora.id di lokasi pantai Kelurahan Bastiong dan Gambesi pada tanggal 18 September menemukan tumpukan sampah yang menutupi pesisir pantai maupun berada di laut.
Dampak sampah terhadap fitoplankton
Ridwan Lesi, Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair Kota Ternate, Maluku Utara, menyebutkan keberadaan sampah plastik di laut sangat berbahaya terutama bagi keanekaragaman hayati di laut. Sampah di laut mengandung bahan kimia senyawa inorganic yang akan terurai menjadi mikroplastik berukuran 5 mm. Menurut Ridwan, mikroplastik jauh lebih kecil dibandingkan dengan diameter sehelai rambut manusia.
“Mikroplastik ukurannya sangat kecil, sehingga plankton tersebut menganggap bahwa mikroplastik adalah makanannya, kalau sudah di dalam plankton, maka lebih mudah mengikuti rantai makanan, misalnya, dari plankton kemudian dimakan ikan hingga sampai pada tubuh manusia,” kata Ridwan begitu di sambangi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Selasa Sore. 21 September 2021.
Mengutip unggahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau LHK, fitoplankton adalah organisme jenis plankton atau sering disebut sebagai mikroalga. Fitoplankton mampu menghasilkan sekitar 50-85 persen oksigen di bumi per tahun, sedangkan tumbuhan (pohon) hanya menghasilkan sekitar 20 persen.
Ridwan menambahkan, fitoplankton di laut Kota Ternate masih bagus. Namun apabila dihitung volume sampah yang masih berada di laut, maka diperkirakan 20 sampai 30 tahun lagi fitoplankton akan terancam.
Menurut penelitian Scripps Institution of Oceanography di University of California San Diego yang dikutip oleh penulis dan peneliti Universitas Indonesia, Arjuna Putra Aldino, keberadaan sampah plastik di laut bisa berpengaruh pada keseimbangan karbon yang terjadi secara alami di laut. Bila sampah plastik yang akhirnya terfragmen menjadi mikroplastik ini tak ditanggulangi, fungsi laut sebagai penyimpan karbon secara biologi tersebut bisa berhenti.
Sampah plastik berbeda dengan sampah yang bisa diurai, misalnya sisa-sisa makanan, dedaunan maupun ranting pohon yang dapat menghasilkan makanan untuk fitoplankton, sementara sampah plastik justru menghambat pertumbuhan fitoplankton karena sampah yang di laut menutupi cahaya matahari, sementara fitoplankton membutuhkan cahaya matahari untuk tumbuh dan berkembang.
“Keberadaan sampah plastik terhadap fitoplankton mengurangi jumlah populasi. Ini disebabkan karena sampah plastic mengurangi cahaya matahari,” kata Yuliana, peneliti fitoplankton di Laut Kota Ternate, 27 September 2021.
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Khairun Ternate ini, menjelaskan fitoplankton menyerupai tanaman di darat, ia memiliki klorofil untuk menangkap cahaya matahari dan menggunakan fotosintesis untuk mengubahnya menjadi kimia. Ia berperan aktif sebagai produsen utama dalam perairan, pertumbuhan fitoplankton tergantung pada ketersediaan karbon dioksida, sinar matahari dan nutrisi.
“Kalau sampah plastik ini terus berada di laut, fitoplankton akan terancam, dan jelas berkurang. Paling tidak perlu ada edukasi kepada masyarakat, untuk tidak menjadikan laut sebagai tempat pembuangan akhir sampah, bagaimana dampak sampah ketika berakhir di laut, atau Pemkot Ternate harus mampu menyediakan mesin penghancur sampah plastik, sehingga sampah yang sudah dihancurkan ini, didesain sedemikian rupa, kemudian di jual, supaya sampah plastik bisa berkurang,” sambung Yuliana.
Keterbatasan fasilitas pengolahan sampah
Dinas Lingkungan Hidup Kota Ternate menyebutkan produksi sampah mencapai 70 sampai 80 ton perhari yang diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir atau TPA. Sampah yang diangkut ini belum terhitung dengan sampah di laut, sebab Pemerintah Kota Ternate hingga saat ini belum memiliki data sampah di laut.
Menurut data Sistem Informasi Pengolahan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah sampah plastik di Indonesia pada tahun 2020 sebanyak 5,67 juta ton atau 17,12 persen dari total timbunan sampah di seluruh Indonesia yang mencapai 33,113 juta ton. Sementara timbunan sampah di Kota Ternate Maluku Utara mencapai 26,38 ton per tahun; 12,5 persen dari jumlah tersebut adalah sampah plastik
Tonny Sachruddin Pontoh, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Ternate, menyatakan volume sampah meningkat seiring dengan pertambahan penduduk di kota yang kecil berbentuk kerucut ini.
Data sensus penduduk tahun 2020 oleh BPS Maluku Utara menyebutkan, total penduduk Kota Ternate mencapai 205 ribu jiwa. Jumlah penduduk ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Meski begitu volume sampah masih saja meningkat dan fasilitas pendukung seperti tempat pembuangan sampah, dan armada pengangkutnya terbatas.
Tonny mengatakan, Tempat Pembuangan Sampah atau TPS yang tersebar di Kota Ternate sebanyak 107. Jumlah ini terdapat di Kecamatan Ternate Utara 12, Ternate Tengah 32, Ternate Selatan 48, Ternate Pulau 15 TPS.
Di tahun 2022 Pihaknya mendapatkan bantuan berupa mesin pencacah sampah plastik, kontainer untuk tempat sampah, kaisar, truk pengangkut sampah dari Dana Alokasi Khusus atau DAK.
Ada lima lokasi pengolahan sampah yang nantinya akan difungsikan sebagai tempat pengolahan sampah terpadu atau tempat pengumpulan dan pemilahan sampah di Kelurahan Bastiong Talangame, Takoma, Dufa-dufa, Santiong, Tubo dan Kalumata.
Tonny mengaku hingga saat ini pihaknya belum mampu menangani sampah yang berada di laut Kota Ternate karena armada pengangkut sampah untuk di laut tidak ada. Armada pengangkut sampah di darat pun masih terkendala dalam hal jumlah.
Jumlah armadanya hanya 17 unit dump truck dengan rata-rata usia mobil diatas 10 tahun dan belum ada tambahan.
“Kita butuh maksimal 4 unit Long boat atau perahu panjang untuk penanganan sampah di laut, kalau armada ini sudah ada mungkin tidak bermasalah, karena setiap penanganan sampah dilakukan langkah demi langkah,” kata Tonny, Selasa 21 September.
Tonny melanjutkan untuk mencegah sampah mengalir ke laut saat terjadi curah hujan yang tinggi, disiapkan jaring di setiap barangka atau kalimati untuk menahan sampah yang akan terseret ke laut.
Tonny menambahkan, bahwa dalam mengatasi masalah sampah, masyarakat juga harus memiliki rasa kepedulian terhadap sampah, terutama pada tingkat kelurahan dan kecamatan.
“Setiap kelurahan dan kecamatan perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat, sampah ini bukan hanya masalah DLH Kota Ternate, tetapi kita semua,” tegas Tonny.
Plastik sekali pakai
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Maluku Utara, Ahmad Rusyadi Rasjid, mengatakan, peran Pemerintah Kota Ternate dalam mengatasi sampah sangat penting. Pemerintah wajib memiliki Peraturan Daerah tentang pembatasan penggunaan produk-produk plastik.
“Saat ini kita mengkampanyekan stop menggunakan plastik sekali pakai, tetapi masih saja terdapat sampah plastik yang bertebaran di darat maupun di laut, jadi produsen yang memproduksi produk yang bersifat plastik harus dibatasi, jika tidak, maka selamanya sampah plastik ini tidak bisa tertangani,” kata Ahmad, Selasa siang, 27 September 2021.
Ia menyebutkan kampanye pencegahan sampah plastik dan pendidikan lingkungan hidup dilakukan pada tahun 2019 terhadap anak sekolah dan pemuda agar mereka menyadari bahaya sampah plastik, serta berbagi pengalaman tentang bahaya ini. Namun, kata Ahmad, kampanye hanya bisa dilakukan dua kali. Di tahun berikutnya, aktivitas ini tertunda dikarenakan pandemi Covid-19.
“Alhamdulillah dengan kegiatan itu dapat membantu untuk membentuk kesadaran mereka, juga pada saat selesai pendidikan, kita kumpulkan sampah plastik untuk diolah atau dibuat semacam kreatifitas yang berbahan sampah plastik, jadi paling tidak dengan memulai hal keciL ini bisa mengurangi sampah plastik,” ujarnya.
Pengelolaan sampah plastik sudah tersirat dalam Peraturan Daerah Kota Ternate No. 1 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah. Perda ini mengatur larangan pembuangan sampah di berbagai lokasi dan tempat, serta ancaman pidana paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 50 juta bagi para pelanggar.
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah di laut lebih spesifik mengatur pengurangan sampah plastik di laut sampai 70 persen pada tahun 2025.
Namun, kelemahan dalam pengelolaan sampah adalah masih rendahnya kepedulian masyarakat terhadap isu sampah, Ridwan berpendapat. Aktivitas pengelolaan sampah harus ditangani terutama di wilayah darat, jika itu sudah tertangani maka di laut juga bisa tertangani.
Fitoplankton memiliki peran yang sangat penting dalam perubahan iklim, karena mampu menyerap karbon dari atmosfer untuk mengurangi emisi karbon.
“Kalau sampai sampah plastik ini banyak di laut, tidak ada fotosintesis dan karbondioksida tidak terserap dengan baik, maka akhirnya fitoplankton ini akan mati, jumlah karbon akan naik di permukaan laut dan akan jadi penyumbang perubahan iklim,” sambung Ridwan.
Komitmen Wali Kota Ternate dalam aksi perubahan iklim
Wali Kota Ternate, M. Tauhid Soleman, menyatakan untuk mencegah penurunan populasi fitoplankton di laut Kota Ternate akibat sampah plastik, Pemerintah Kota Ternate bakal mengeluarkan Peraturan Walikota tentang pembatasan penggunaan produk-produk plastik. Peraturan ini diberlakukan terutama di retail- retail besar dan pertokoan.
“Masyarakat juga akan dibatasi pada saat berbelanja, tidak lagi menggunakan tas plastik, tetapi menyediakan sendiri alat belanja yang bertahan lama dan bukan dari plastik,” ucap Tauhid, Kamis sore, 30 September 2021.
Tauhid mengatakan penanganan sampah plastik juga dapat melibatkan pihak Swasta dan BUMN dengan bantuan CSR (Corporate Social Responsibility) berupa motor kaisar roda tiga sebanyak 32 unit. Motor kaisar rodini bakal ditempatkan di tiap-tiap kelurahan serta ada tambahan 3 unit perahu panjang untuk mengatasi sampah di laut dan pesisir pantai Kecamatan Ternate Selatan, Ternate Tengah dan Utara.
Kota Ternate merupakan salah satu kota di Indonesia yang masuk dalam program Kota Inklusif Ketahanan Iklim atau Climate Resilient & Inclusive Cities (CRIC) periode 2021-2025. CRIC adalah salah satu proyek dari United Cities and Local Governments Asia Pacific (UCLG-ASPAC) yang didanai Uni Eropa dengan wilayah kemitraan berada di Asia Tenggara, Asia Selatan dan Eropa.
Program ini merupakan wadah untuk mengusulkan kerjasama unik dan berkepanjangan antara kota-kota dan pusat penelitian di Eropa, Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara, serta berkontribusi kepada pembangunan perkotaan yang terintegrasi dan berkelanjutan, good governance, dan adaptasi dan mitigasi iklim.
Melalui program yang difasilitasi oleh Asosiasi Pemerintah Kota Se-Asia Pasifik ini, Tauhid mengatakan dirinya berkomitmen untuk mengatasi permasalahan sampah dengan cara memberikan edukasi dan melalui kebijakan untuk mendorong perilaku masyarakat hidup bersih.
“Peran Kelompok ibu-ibu juga sangat penting, karena mereka merupakan ujung tombak PKK di tingkat Kelurahan sampai tingkat Kecamatan, untuk mengajak masyarakat hidup bersih serta melibatkan semua unsur, prinsipnya penanganan sampah ini harus serius, sehingga masyarakat lebih memahami lingkungan, bahwa pesisir itu bukan tempat akhir pembuangan sampah.”
M. Tauhid Soleman, Wali Kota Ternate
Tauhid bilang penanganan sampah sudah termasuk salah satu visi dan misi pemkot Ternate dalam lima tahun kedepan, untuk itu upaya penanganan sampah perlu segera dilakukan untuk mewujudkan lingkungan yang sehat dan menerapkan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Tauhid menambahkan dirinya bertanggung jawab dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Kepala Daerah untuk mewujudkan aksi perubahan iklim terutama pada penangan sampah.
Artikel ini merupakan bagian dari “Story Grant Peliputan Lingkungan Hidup” yang diadakan Ekuatorial dan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), dan terbit pertama kali di Haliyora.id pada tanggal 29 Oktober 2021.